Oleh: Muhammad Hasan Syurrab (Sejarawan Asli Palestina)
Pada tanggal 18 bulan November, Syaikh Izzuddin al-Qassam dan para sahabatnya meninggalkan pegunungan Kafr Qud, dan menuju ke Khirbat al-Syaikh Zaid dekat Ya’bud, tempat tinggal Syaikh Said al-Hassan, salah satu anggota kelompok al-Qassam. Dalam perjalanan, seorang Arab Badui memperhatikan bahwa para mata-mata sedang mengikuti jejak mereka. Maka ia meminta al-Qassam untuk beristirahat sejenak guna membahas masalah para mata-mata ini.
Orang Badui itu berkata: “Al-Qassam sering mempertimbangkan pendapatku, meskipun usiaku masih muda. Aku memberitahu mereka bahwa desa-desa di sekitar sini dipenuhi oleh orang-orang yang mengikuti jejak kami. Aku mengusulkan agar kami membagi menjadi dua kelompok:
- Kelompok pertama menuju ke utara, kembali ke Haifa dan Nazaret, sambil menghancurkan rel kereta api dan memotong jalur telepon milik Inggris dan Yahudi. Kemudian mereka akan menuju ke Nuris, tempat tinggal Syaikh Farhan al-Sa’di, lalu kami semua akan berkumpul di Wadi al-Ahmar antara Nablus dan Lembah Yordan. Di sana kami akan lebih bebas bergerak dan pengawasan mata-mata lebih longgar.”
Al-Qassam menyukai ide ini, dan memerintahkan para mujahid untuk terbagi menjadi dua kelompok:
- Kelompok pertama pergi ke utara, terdiri dari 10 orang, dipandu oleh Syaikh Dawud al-Khattab.
- Kelompok kedua bergerak ke arah barat, menuju pinggiran Ya’bud. Mereka adalah: Syaikh Izzuddin al-Qassam, Hasan al-Bayr, Arab Badui, Ahmad Abdul Rahman Jaber, Muhammad Yusuf, Nimr al-Sa’di, Atiyyah al-Misri, As’ad al-Muflih, dan Yusuf al-Zaybawi.
Kata Arab Badui itu: “Dalam perjalanan, air kami habis, dan barang bawaan kami sangat berat. Setiap orang membawa senapan, enam puluh magazin peluru, bayonet yang dibuat sendiri oleh al-Qassam di bengkel pandai besi sebagai simbol senjata para sahabat Nabi, juga membawa selimut dan peralatan perjalanan serta makanan.
Malam itu kami sangat lelah dan kehausan. Aku minta kepada Syaikh agar kami istirahat untuk mencari air, tapi kami tak punya persediaan dan tak tahu di mana ada sumber air terdekat. Hasan al-Bayr yang sangat mengenal wilayah ini mengatakan bahwa sumber air terdekat berjarak sekitar 10 kilometer.
Maka Syaikh memerintahkan istirahat, dan mengutusku bersama dua orang lainnya untuk mencari air. Baru berjalan sekitar 60 meter, kami melihat sebuah batu besar dengan lubang seperti bekas tempat memeras zaitun, berukuran sekitar satu meter persegi, penuh air. Kami minum, mengisi wadah, lalu kembali. Semua saudara kami minum, lalu kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khirbat Syaikh Zaid.”
Pada tanggal 19 November, pergerakan kelompok mulai menemui kesulitan besar. Banyak agen intelijen dan mata-mata datang ke Jenin dan menyebar ke seluruh desa di daerah itu. Mereka menyamar sebagai pekerja, petani, pemulung, dan lainnya. Seorang wartawan surat kabar Palestina melaporkan bahwa kota Jenin dan sekitarnya menjadi seperti medan perang, karena meningkatnya persiapan polisi dan bertambahnya jumlah aparat, baik resmi maupun rahasia.
Pada hari yang sama, kota Jenin mengiringi pemakaman syahid Muhammad Abu al-Qasim Khalaf al-Halhuli. Polisi membiarkan jenazahnya tergeletak seharian penuh setelah ia gugur syahid, sampai proses pemeriksaan selesai. Banyak pedagang, tokoh masyarakat, dan pemuda kota Jenin ikut dalam pemakamannya. Masyarakat menunjukkan simpati besar, meskipun waktu itu belum diketahui bahwa orang-orang yang sedang diburu adalah sekelompok mujahidin. Polisi menyebarkan kabar bahwa korban adalah anggota gerombolan perampok. Namun, masyarakat tetap menghormatinya karena ia dianggap menentang hukum penjajah Inggris dengan senjata.
Bahkan jika seseorang disebut perampok yang menyerang kebun Yahudi atau kamp Inggris, masyarakat tetap mengaguminya karena ia hanya merampas milik musuh, dan tidak menyakiti sesama Arab.
Pada dekade 1930-an, masyarakat sangat mengikuti berita tentang Abu Jildeh, seorang perampok jalanan yang menyerang Inggris dan Yahudi. Ia menjadi pahlawan rakyat, walau sebenarnya tidak mengusung slogan nasionalisme. Tapi keberaniannya menebar ketakutan di hati penjajah membuatnya dikagumi, terlebih pada saat banyak tokoh nasional hanya bersembunyi di tempat aman.
Hari Terakhir Al-Qassam
Pertempuran dimulai saat fajar menyingsing, dan berakhir menjelang sore hari itu. Salah satu alasan lamanya pertempuran, meskipun ada ketidakseimbangan militer, adalah karena Al-Qassam mengikuti rencana untuk memperpanjang durasi pertempuran, untuk menimbulkan kerugian pada pihak Inggris, untuk membuktikan kemampuan para pejuang mujahidin dalam mengecoh musuh, dan untuk menunjukkan tingkat kesiapan militer mereka. Adapun alasan yang berkaitan dengan pihak Inggris, adalah rasa takut yang merasuki jiwa mereka, karena ketidaktahuan mereka akan jumlah dan persenjataan yang melawan mereka.
Mungkin alasan terkuat adalah bahwa Inggris menginginkan pemimpin Al-Qassam hidup-hidup, karena mereka tahu bahwa gugurnya seorang pemimpin akan menghidupkan kembali tradisi jihad di kalangan umat Islam, dan dia akan menjadi teladan yang terus diperbarui bagi para mujahidin. Oleh karena itu, mereka enggan membunuh para pemimpin jihad dan revolusi, agar mereka tidak menjadi obor yang menerangi jalan bagi rakyat.
Apa yang ditakutkan oleh Otoritas Inggris telah terjadi, yaitu apa yang diimpikan oleh Al-Qassam, maka baginya tempat yang jujur di sisi Allah SWT, Insya Allah, dan dia memperoleh bagian dari sebutan yang baik di kalangan kaumnya, yang tidak akan dia peroleh jika dia tetap hidup.
Al-Qassam gugur sebagai syahid, dan mereka menemukan di pakaiannya sebuah mushaf (Al-Qur’an), dan empat belas pound. Adapun keluarga, dia meninggalkannya kepada Allah, karena Dialah Al-Wakil (Yang Maha Mengurus), dan Dialah Al-Kafil (Yang Maha Menjamin).
Beberapa penulis mengklaim bahwa Al-Qassam menjual rumahnya di Haifa sebelum dia pergi. Saya bertanya kepada Profesor Abdul Rahman bin Muhammad Al-Hanafi, “Apakah Anda memiliki rumah?” Dia menjawab: “Sesungguhnya Al-Qassam tidak memiliki rumah, melainkan dia tinggal di rumah sewaan, demikian juga ayah saya: Muhammad Al-Hanafi, rekan Al-Qassam dari Jablah hingga Haifa, meskipun Al-Qassam dan Al-Hanafi, telah mencapai tangan mereka ribuan pound, namun mereka membelanjakannya untuk membeli senjata.”
Jadi, Al-Qassam wafat, dan -dengan izin Allah- dia mendapatkan apa yang Allah janjikan kepada para syuhada, dan dia meninggalkan kekayaan besar yang dia hadiahkan kepada umat, yaitu metodologi dan teladan. Metodologi yang benar untuk memerangi dan mengalahkan musuh, dan teladan praktis dalam menjauhi dunia, mengorbankan diri di jalan Allah, dan meninggikan kalimat umat Islam di tanah air mereka.
Para syuhada dipindahkan dari medan pertempuran ke Jenin, kemudian dikirim ke Haifa, untuk diserahkan kepada kerabat mereka. Otoritas Inggris menetapkan dua syarat: Pertama: Pemakaman harus dilakukan pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, Kamis, 21/11/1935 M. Kedua: Iring-iringan jenazah harus berjalan dari rumah Syekh Izzuddin Al-Qassam yang terletak di luar kota, ke pemakaman di Balad Al-Syaikh, sehingga tidak memungkinkan untuk membawa jenazah para syuhada berjalan di dalam kota.
Pers lokal memuat berita tentang gugurnya Al-Qassam di halaman depan mereka. Ketika berita itu sampai kepada orang-orang, Haifa menutup toko-tokonya, dan berbondong-bondong menuju rumah Al-Qassam, dan delegasi datang dari seluruh Palestina untuk ikut serta dalam iring-iringan jenazah, dan menara-menara masjid mengumandangkan berita tentang para syuhada di seluruh negeri.
Di rumah Syahid Al-Qassam, ketiga keranda dibungkus dengan bendera negara-negara Arab, sebagai simbol persatuan umat, dan massa membawa ketiga keranda itu, dan menuju ke Masjid Al-Jarina -Al-Nasr- di tengah Haifa, meskipun bertentangan dengan keinginan Otoritas Inggris. Setelah salat jenazah, Syekh Younis Al-Khatib -mantan qadi Mekah- memberikan pidato yang mengharukan untuk para syuhada, menjelaskan pahala para syuhada di sisi Tuhan mereka.
Upaya dilakukan hingga memungkinkan untuk mengeluarkan para syuhada dari masjid ke lapangan besar di depannya, dan di sini saya meminjam pena sastrawan brilian, Profesor Akram Zu’aiter, untuk menggambarkan iring-iringan para syuhada yang menemaninya dari masjid ke tempat peristirahatan terakhir yang suci: “Ribuan pelayat, dan jenazah diangkat di atas telapak tangan, berteriak: Allahu Akbar, Allahu Akbar, dan para wanita bersorak dari atap rumah, balkon, dan jendela, dan para pramuka menyanyikan lagu-lagu yang membangkitkan semangat, kemudian suara meninggi saat jenazah diangkat: Balas dendam, balas dendam! Dan ribuan orang menjawab dengan satu suara seperti guntur yang menggelegar: Balas dendam, balas dendam! Setelah upaya yang melelahkan, iring-iringan bergerak perlahan, dan suara-suara bergema: Allahu Akbar, Allahu Akbar… hingga kami mendekati kantor polisi.
Keterkejutan dan kegembiraan publik telah mencapai tingkat yang luar biasa, sehingga mereka mulai melempari kantor polisi dengan batu bata dan batu secara terus menerus, dan batu-batu itu menghantam kantor dan jendelanya, seperti hujan deras. Ada tiga mobil polisi yang diparkir di depan kantor, yang dihancurkan oleh publik yang marah. Semua ini terjadi sementara jenazah para syuhada berada di atas telapak tangan, dan kami berdiri, dengan rambut berdiri di kepala kami.
Setelah kesulitan… iring-iringan melanjutkan perjalanannya hingga kami mencapai ujung Jalan Al-Muluk (Raja-Raja), tempat Monumen Peringatan Raja Faisal I, untuk memperingati lewatnya jenazahnya dua tahun sebelumnya di Haifa, lalu kami berhenti dan membaca Al-Fatihah untuk روح (roh) Faisal bin Hussein, dan kami melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di dekat stasiun kereta api, lalu publik menyerangnya dengan batu, dan iring-iringan berhenti dengan jenazah di atas telapak tangan.
Sementara itu, satu batalyon tentara Inggris bersenjata lengkap tiba, dipimpin oleh perwira (James) dengan helm baja mereka, dan publik meletakkan jenazah di tanah, bukan karena melarikan diri atau takut, tetapi untuk terlibat dalam pertempuran dengan Inggris yang datang untuk menekan iring-iringan, dan mereka turun dari mobil dan bentrok dengan rakyat. Akram berkata: Dan saya melihat -Alhamdulillah- Perwira James jatuh ke tanah, dan saya melihat tentara lain dan yang ketiga terluka. Dan pasukan di bawah pimpinan James menyadari bahwa mereka tidak mampu melawan publik, sehingga mereka mundur dengan cepat, dan publik mengangkat jenazah di atas telapak tangan lagi sambil berteriak: Allahu Akbar, Balas dendam!
Iring-iringan melanjutkan perjalanannya, dan direncanakan agar jenazah berhenti di rumah Syahid Al-Qassam, dan keranda akan dikirim dengan mobil ke pemakaman (Balad Al-Syaikh) yang berjarak beberapa kilometer. Kami berhenti dan suasana tegang, dan musik memainkan lagu sedihnya, dan beberapa orang maju untuk meletakkan keranda di mobil, tetapi publik yang marah dan berapi-api mencegahnya, dan bersikeras untuk melanjutkan perjalanan dengan keranda di atas bahu ke pemakaman dengan berjalan kaki, sejauh lima kilometer, di mana jenazah dikuburkan, dalam keadaan alami mereka, dan dengan pakaian mereka yang berlumuran darah suci. Bayangkan bagaimana publik menyaksikan para syuhada pahlawan mereka dikuburkan dengan pakaian jihad mereka yang berlumuran darah, dan perjalanan iring-iringan jenazah dari Masjid Agung di Lapangan Al-Jarina ke pemakaman (Al-Yajur) memakan waktu tiga setengah jam.”
Sumber: Majalah Ansharun Nabi, edisi Oktober 2025, no. 41, hal. 172-181.
Sumber buku: Izzuddin Al-Qassam Syaikhul Mujahidin fii Filasthiin, karya Muhammad Hasan Syurrab, hal. 290 dan seterusnya.
Diterjemahkan oleh: Anshari Taslim.