Oleh: Taufik M Yusuf Njong
“Ketika ingin merebut kembali Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi membiarkan kerajaan-kerajaan Salibis eksis sementara waktu di Palestina dan Syam. Pahlawan Islam itu justru memulai langkah pertama penakhlukannya dengan menghancurkan musuh dalam selimut yang merongrong Islam dari dalam yaitu Daulah Syi’ah Fathimiyah yang berkuasa di Mesir.”
Diksi diatas jamak dideskripsikan oleh banyak masyaikh Salafiyah atau Wahabiah (ortodoks dan kontemporer dengan segala varietasnya) ketika menarasikan penakhlukan Mesir oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Tak hanya masyaikh Salafiyah, narasi yang sama juga digaungkan oleh sebagian masyaikh harakah islamiyah dan para aktivis-aktivisnya, terutama mereka yang hidup di negara-negara yang mengalami benturan langsung dengan sekte Syi’ah.
Namun, apakah diksi dan narasi berbau sektarian tersebut sepenuhnya sesuai dengan hakekat sejarah tanpa framing dan tanpa bersikap masa bodoh dengan sebagian fakta sejarah lainnya? Ataukah diksi tersebut sejatinya hanyalah memori kolektif yang bias lalu dibiarkan berkembang dari satu generasi ke generasi yang lain? atau jangan-jangan hal itu justru ditulis oleh sejarawan yang sedikit banyaknya memiliki keberpihakan dan bertujuan membangun identitas kelompok, mazhab, bangsa, serta membuat garis batas antar entitas tersebut sekalipun garis batas tersebut kadang terkesan dibuat-buat?
Sebagai contoh, ketika hampir semua sejarawan Sunni memuji dan mengagungkan kepahlawanan Shalahuddin hingga mendekati pengkultusan, sebagian sejarawan Syi’ah justru menganggap Shalahuddin adalah pribadi licik yang mengkhianati Khalifah Fathimiyah Al-‘Adhid Li Dinillah yang mengangkatnya menjadi menteri di Mesir. Oleh sebagian sejarawan Syi’ah kontemporer, Shalahuddin yang dituduh membakar kitab-kitab di perpustakaan Dinasti Fathimiyah bahkan dijuluki dengan “Hulagu-ddin Al-Ayyubi”.
Kritik terhadap Shalahuddin tidak hanya dilakukan oleh sejarawan Syi’ah, Ibnu Atsir yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Zankiyah dan Dinasti Ayyubiyah adalah salah satu sejarawan Sunni yang mengkritisi dengan keras sikap Shalahuddin Al-Ayyubi. Ibnu Atsir (disamping pujiannya terhadap Shalahuddin) mengkritik keras sikap pendiri Daulah Ayyubiyah itu yang memerangi para penguasa Dinasti Zankiyah (anak-anak dan saudara Nuruddin Az-Zanki) selama 7 tahun yang menjadi salah satu sebab penting terhapusnya Zengid Dynasty dari panggung sejarah. Padahal Shalahuddin dan karir militernya ‘dibesarkan’ oleh Nuruddin yang oleh sebagian sejarawan (termasuk Dr. Ali As-Shallaby) dianggap sebagai pemimpin terbaik setelah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Atsir yang dianggap terlalu loyal kepada Dinasti Zankiyah juga mengritik sikap Shalahuddin yang terlampau toleran dengan kerajaan-kerajaan Salib di Palestina dan Syam.
Jika Salafiyah menampilkan Shalahuddin dalam diksi seorang Salafi yang berjihad diatas Kitab dan Sunnah serta berhasil meruntuhkan Daulah Syi’ah Bathiniyah di Mesir (cek tulisan Dr. Safar Al-Hawaly, “At-Tawathu’ Ar-Rafidhy Wa Al-Bathiniy Ma’a As-Shalibiyyin Liihtilal Bait Al-Maqdis” dalam websitenya), memori kolektif yang berkembang di Aswaja tentang Shalahuddin adalah penonjolannya sebagai seorang tokoh Aswaja yang berakidah Asy’ari, bermazhab Syafi’i dan bertarekat Shufi yang berhasil mengembalikan Mesir ke pangkuan Sunni dan merubah Al-Azhar menjadi mercusuar ilmu ahlussunah. Setidaknya, demikianlah kesaksian Ibnu Syaddad dan Imam As-Suyuthi dalam karya-karyanya. Dan begitulah secara umum sejarah ditulis dan kadang dipengaruhi oleh bias subjektif penulisnya lalu berkembang menjadi memori kolektif dari generasi ke generasi.
Namun faktanya adalah: Ketika Al-‘Adhid Li Dinillah dibai’at menjadi khalifah, saat itu ia masih berusia 11 tahun, dan belum baligh. Sementara dinasti Fathimiyah berada di fasenya yang sangat lemah sehingga kekuasaan secara de facto dipegang oleh para menteri fathimiyah dan diperebutkan diantara mereka, khususnya antara Shawar As-Sa’diy dan Dhargham Al-Lakhmi. Dhargham berkoalisi dengan pasukan Salib untuk menghabisi saingannya sementara Shawar meminta bantuan Nuruddin Az-Zanki dari Syam untuk menyelamatkan kekuasaannya. Maka pada tahun 559 H, Nuruddin mengirim ekspedisi pertama pasukan Syam dibawah pimpinan Asaduddin Syirkuh, paman dari Shalahuddin Al-Ayyubi. Asaduddin ikut menyertakan keponakannya dalam ekspedisi ini meskipun Shalahuddin sedikit enggan.
Setelah membantu mengalahkan Dhargham, Shawar justru main mata dengan pasukan salib dan balik mengusir pasukan Syam dari Mesir hingga mereka terpaksa menarik diri kembali ke Damaskus. Pengkhianatan ini membuat Nuruddin Az-Zanki kembali mengirimkan ekspedisi kedua ke Mesir dibawah pimpinan Asaduddin dan keponakannya. Perangpun terjadi antara pasukan Syam melawan pasukan salib yang berkoalisi dengan Shawar dan berakhir dengan gencatan senjata dimana pasukan Syam kembali menarik diri dari Mesir tahun 562 H.
Dua tahun kemudian , pasukan salib yang berang dengan Shawar karena tidak membayar upeti, berencana menaklukkan Mesir secara total. Saat itu, Khalifah Fathimiyah Al-‘Adhid Li Dinillah memutuskan meminta bantuan Nuruddin Az-Zanki untuk kembali mengirimkan pasukannya ke Mesir. Asaduddin dan Shalahuddin kembali berangkat dalam ekspedisi ketiga ke Mesir untuk berjihad bersama pasukan Syi’ah Fathimiyah melawan tentara salib. Siasat licik Shawar yang sering bermain mata dengan pasukan salib membuat Asaduddin kemudian menangkapnya dan atas perintah Al-‘Adhid Li Dinillah, Shawar dihukum mati dan Asaduddin diangkat menjadi menteri Kekhalifahan Fathimiyah di Mesir. Tak lama setelah itu, Asaduddin wafat dan Al-‘Adhid mengangkat Shalahuddin sebagai menterinya dan sejak saat itu, Shalahuddin berkuasa secara de facto di Mesir.
Ketika Shalahuddin berhasil menguasai Mesir dan Nuruddin Az-Zanki memintanya untuk merubah doa khutbah Jum’at dengan mendo’akan Khalifah Abbasiyah sebagai ganti doa untuk Al-‘Adhid, Shalahuddin menolaknya dan berdalih hal tersebut akan menimbulkan kekacauan di Mesir. Ia menunggu sampai Al-‘Adhid sakit parah, barulah ia menjalankan titah Nuruddin. Namun, setelah Al-‘Adhid meninggal, Shalahuddin menyesal dengan keputusannya. Andai ia tau bahwa Al-‘Adhid akan mati karena sakitnya tersebut, sungguh dia tidak akan meminta para khatib Jum’at untuk merubah doa dengan mendoakan Khalifah Abbasiyah sebagaimana diceritakan Abu Syamah. Kesetiaan Shalahuddin terhadap Al-‘Adhid Li Dinillah juga dibuktikan ketika Khalifah terakhir dinasti Fathimiyah itu meninggal di usia muda. Shalahuddin ikut berbelasungkawa atas kematiannya, ia menangis dan turut mengantar Al-‘Adhid ke kuburannya. Shalahuddin juga menjalankan wasiat Al-‘Adhid untuk melindungi dan memuliakan anak-anak dan keluarganya.
Begitulah toleransi Shalahuddin Al-Ayyubi saat berinteraksi dengan Syi’ah Fathimiyah di Mesir. Sebagai seorang pengikut Mazhab Syafi’i dan dekat dengan era Al-Ghazali yang menjatuhkan vonis keras terhadap Syi’ah Bathiniyah dengan segala jenisnya, sepertinya tidak tersembunyi bagi Shalahuddin kerusakan-kerusakan Dinasti Fathimiyah (Ubaydiyin) yang bahkan menganggap pengajian Shahih Bukhari sebagai suatu kegiatan yang melanggar hukum. Namun Shalahuddin menyikapinya dengan bijak, ia tidak membunuh atau memerangi seseorang karena orang tersebut syi’iy atau sunni, tapi Shalahuddin menindak dengan tegas siapapun yang merintangi jalannya mempersatukan kekuatan umat Islam, karena menurutnya, hanya itu jalan untuk kembali merebut Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib. Shalahuddin juga mengakhiri kekuasaan Al-‘Adhid dan keturunannya karena memang pemerintahannya tak lebih dari pemerintahan boneka korup yang tidak mampu melindungi umat Islam di Mesir dari serangan-serangan pasukan salib.
Benar bahwa Shalahudin memerangi Syi’iy seperti Shawar yang berkhianat dan bersekongkol dengan pasukan salib hanya demi melanggengkan kekuasaannya. Tapi jangan lupa tentang fakta lain bahwa Shalahudin juga memerangi Umarah Al-Yamani, seorang ahli fiqih mazhab Syafi’i. Sejarawan dan sastrawan Sunni itu dihukum mati oleh Shalahuddin karena mencoba mengkudeta kekuasaannya dengan berkonspirasi dengan pasukan salib. Jangan kesampingkan juga fakta bahwa Shalahuddin memerangi penguasa Zankiyah yang Sunni (Anak-anak Nuruddin Az-Zanki dan Saudaranya), karena perebutan kekuasaan diantara mereka dianggap memecah belah umat islam dan menjadi batu sandungan penyatuan kekuatan umat Islam untuk merebut kembali Baitul Maqdis.
Sebaliknya, menurut Ibnu Jubair, seorang penjelajah Andalus yang semasa dengan Shalahuddin, mayoritas penduduk Damaskus dan Aleppo di era perang salib adalah penganut Syi’ah Imamiyah dan juz’un la yatajazza’ atau bagian yang tak terpisahkan dari pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi yang menaklukkan Al-Quds. Perlu juga dicatat bahwa sejarawan pertama yang menulis tentang Shalahuddin yaitu Yahya ibn Thay Al-Halaby adalah seorang syi’iy yang sangat loyal kepada dinasti Ayyubiyah. Saya membayangkan seandainya Shalahuddin bukan seorang Asy’ari yang berhati-hati mengkafirkan ahlul kiblat (sebagaimana hal tersebut menjadi salah satu prinsip penting dalam madrasah asya’irah) dan ternyata Shalahuddin adalah seorang Salafi ekstrim yang gencar membid’ahkan para Shufi dan mengkafirkan Syi’ah secara mutlak, mungkin akan sulit bagi Shalahuddin untuk menyatukan umat dan merebut kembali Al-Quds, wallahu A’lam.
Memori Kolektif adalah pondasi penting bagi identitas sebuah agama, bangsa, masyarakat ataupun komunitas. Namun, jika memori kolektif ini terdistorsi, ia akan melahirkan identitas yang terdistorsi, identitas yang terdistorsi akan melahirkan umat yang gagal menentukan prioritasnya, gagal memetakan dan mendeskripsikan siapa musuhnya yang sebenarnya,l lalu sibuk berperang dengan ‘dirinya sendiri’ di kondisi-kondisi emergency yang seharusnya disikapi dengan bijak dan matang serta jauh dari bias sektarian.
Sikap hikmah Shalahuddin yang mau berjihad satu barisan dengan Syi’ah Fathimiyah di Mesir merupakan sikap yang selayaknya diteladani oleh setiap orang yang mendambakan kembalinya Al-Quds ke pangkuan umat Islam. Shalahuddin Al-Ayyubi memahami dengan baik ru’yah syar’iyah dan mauqif siyasiyah terhadap sekte Syi’ah bahkan terhadap Syi’ah Isma’iliyah yang sangat jauh dari ajaran islam. Maka, sejatinya apa yang dilakukan oleh para pejuang Filastin hari ini dalam berinteraksi dengan sekte Syi’ah Imamiyah adalah sebuah sikap yang sangat proporsional jika kita mau belajar dari pemimpin besar Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sikap proporsional terutama dalam kondisi darurat ini tidak berarti bahwa kita mengingkari adanya pribadi-pribadi pengkhianat dari kelompok Syi’ah ataupun Sunni yang menjadi penyebab kejatuhan umat Islam. Kejatuhan Baitul Maqdis di abad pertengahan misalnya, keputusan gubernur Fathimiyah, Iftikhar Ad-Daulah yang memutuskan hijrah dari Al-Quds dengan alasan tidak imbangnya antara pasukan Islam dan pasukan salib lalu menyerahkan Al-Quds ke pasukan salib adalah sebuah keputusan fatal yang sangat disayangkan. Dan naifnya, sikap seperti ini hari ini digaungkan kembali oleh sebagian orang yang membenci Syi’ah setengah mati dan berlindung dibawah bendera Salafiyah.
Tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa kekuatan Sunni yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah (yang larut dalam sikap hedonisnya) serta para penguasa Dinasti Seljuk (yang saling berkonflik) juga merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kejatuhan Al-Quds. Kita tidak boleh mengesampingkan bahwa selama 40 hari, hamiyah Syi’ah pernah ikut berdarah-darah mempertahankan Al-Quds. Begitu juga 20 hari paska jatuhnya Alquds, pasukan Fathimiyah juga bertempur sampai titik darah penghabisan melawan tentara salib dalam pertempuran Asqelon meskipun akhirnya mereka menderita kekalahan.
Dalam kejatuhan Al-Quds di era kontemporer, dari sebelum Nakbah sampai hari ini, deretan pengkhianatan dari penguasa-penguasa Sunni Arab merupakan pengkhianatan yang sangat terang benderang bagi mereka yang mau mempelajari sejarah. Merupakan hal yang sedikit memalukan ketika kita mengkritik Iran, Hizbullah dan proxy-proxinya karena tidak menyerang Daulah Ihtilal dan menganggap konfrontasi mereka dengan Daulah Ihtilal hanya sebatas gimmick belaka, namun kita bungkam dengan para pengkhianat dari negara-negara Sunni Arab yang berbatasan langsung atau sangat dekat dengan Filastin yang terjajah namun mereka justru bermesraan dengan penjajah dan ikut mencekik dan menikam para pejuang dari depan dan belakang.
Amma Ba’du, dengan semua fakta yang sudah disebutkan, saya tidak bermaksud menggiring siapapun untuk bersikap lugu terhadap Syi’ah seolah mereka hanyalah mazhab akidah dan fiqih an sich tanpa agenda-agenda politik tertentu. Saya tidak bermaksud agar kita bersikap husnuddhon melulu di depan proyek bulan sabit Iran yang membentang dari Lebanon hingga ke Yaman. Saya tidak bermaksud agar kita melupakan pembantaian-pembantaian yang mereka lakukan mulai dari pembantaian Hama di Suriah tahun 80an yang menelan korban +- 40.000 jiwa hingga saat ini. Kita tak mungkin melupakan apa yang mereka lakukan terhadap muslim Sunni di Irak, Yaman dan tempat-tempat lain.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita pernah berada di satu parit yang sama melawan musuh bersama disaat-saat genting yang mengancam eksistensi bersama.
Bahwa pengkhianatan yang pernah dilakukan oleh sebagian mereka, juga pernah dilakukan oleh sebagian penguasa yang semazhab dengan kita.
Agar kita membedakan dan mendudukan secara proporsional antara pandangan syar’i terhadap mereka dan sikap politik dengan mereka.
Agar setidaknya kita memaklumi dan memberikan uzur kepada para pejuang kita yang berkoalisi dengan mereka.
Agar kita tidak terlalu mudah menjulurkan lidah dan memvonis Syi’ah kepada setiap orang yang berinteraksi dan menerima bantuan dari mereka atau membela mereka pada kondisi yang memang harus dibela.
Wallahu A’lam Bisshawab.