Warisan Dari Seorang Suami Muallaf

Warisan Suami Muallaf

Tanya:

Saya pernah menikah dengan seorang pria muallaf. Hanya dia yang muslim dalam keluarganya. Kami dikaruniai seorang anak perempuan dalam pernikahan itu. Sekarang suami say aini baru saja meninggal dunia dengan meninggalkan harta berupa rumah, mobil, uang tabungan dan tanah yang memang telah ia miliki SEBELUM kami menikah.

Sebagian harta itu adalah pemberian orang tuanya sebelum kami menikah dan sebelum dia masuk Islam.

Kini, keluarganya yang semuanya masih noin muslim minta jatah warisan, berapakah bagian yang berhak saya dan anak saya ambil dan berapa pula bagian buat mereka?

Jawab:

Ibu yang dirahmati Allah, kami turut berduka cita atas meninggalnya suami ibu, semoga amal ibadahnya diterima Allah dan diampuni dosa-dosanya. Tak ada yang paling besar dari amal ibadahnya melebihi masuk Islam.

Dalam kasus di atas maka harta warisan suami anda semuanya jatuh ke tangan anda dan anak perempuan anda. Anda mendapatkan 1/8 karena di sini mayyit meninggalkan anak sesuai petunjuk al-Quran surah An-Nisa ayat 12, dan anak perempuan mendapatkan ½ plus sisa berdasarkan pembagian radd (penghabisan sisa untuk ash-hab al-furudh)

Keluarga suami yang non muslim sama sekali tidak berhak dari harta warisan al-marhum karena mereka berbeda agama. Ini berdasarkan hadits Usamah bin Zaid, Rasulullah bersabda,

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Seorang muslim tidak mewarisi kafir dan kafir juga tidak mewarisi muslim.” — HR. Al-Bukhari dan Muslim

Pada dasarnya anak perempuan yang sendirian tanpa saudara hanya mendapatkan setengah dari harta tapi karena dalam kasus ini tidak ada ahli waris lain selain anda sebagai istri yang hanya mendapat 1/8, lalu anak perempuan mendapat 4/8 sehingga masih ada sisa 3/8. Berdasarkan madzhab yang kami pilih maka sisa harta itu dikembalikan kepada anak perempuan sebagai radd.

Baca Juga:  Cebok Dengan Air Sabun

Madzhab yang menganut radd ini adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi dan diadopsi oleh Hanafi dan Hanbali, bahkan menurut para ulama Syafi’iyyah pun bila tidak ada Baitul Maal maka dilakukan radd. Wallahu a’lam.

Anshari Taslim
Dari majalah Sabiliku edisi 7/April 2015.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *