Ada pertanyaan masuk ke saya dengan menampilkan salah satu SS kitab yang berisikan bahwa bila seseorang punya istri di satu kampung yang jarak dari rumahnya melebihi jarak safar maka dia tidak boleh lagi meng-qashr dan harus itmam shalat.
Kebetulan yang bertanya memang ahlu ta’addud dan punya istri di luar daerah yang biasa dia kunjungi berkala.
Sebenarnya masih ada khilafiyyah para ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali mengatakan seseorang yang memiliki istri di suatu negeri maka dia dianggap penduduk negeri itu sehingga bila dia sampai di sana maka tak lagi berlaku hukum safar atas dirinya dan dia tak boleh lagi meng-qashr shalat. Dalilnya dalam hal ini adalah hadits Utsman bin Affan yang ada dalam Musnad Ahmad dan al-Humaidi juga dalam musnadnya, semua melalui jalur Ikrimah bin Ibrahim Al-Azdi, dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Dzubab, dari ayahnya di mana Utsman melakukan itmam (shalat empat rakaat) Ketika di Mina dan itu dipermasalahkan orang. Maka Utsman pun berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, aku ini sudah punya istri di Mekah sejak aku datang, dan aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,
مَنْ تَأَهَّلَ فِي بَلَدٍ فَلْيُصَلِّ صَلاةَ الْمُقِيمِ
“Siapa yang beristri di suatu negeri maka hendaklah dia shalat sebagaimana orang muqim.”
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’I menganggap hal ini tidak mempengaruhi status safar. Jadi selama dia memang tidak tinggal di situ meski ada istrinya di situ maka dia tetap berstatus musafir dan terikat hukum safar, kalau mau dia bisa meng-qashr, kalau tidak ya silakan itmam. Itulah yang dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’I dalam Al-Umm (silakan lihat jilid 2 hal. 369 terbitan Dar Al-Wafa`).
Adapun Riwayat Utsman di atas dianggap dhaif oleh Al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifatus Sunan wa Al-Atsar (jilid 4 hal. 261) karena terputus sanadnya dan juga ada rawi Bernama Ikrimah bin Ibrahim Al-Azdi yang dhaif. Selengkapnya tentang Ikrimah bin Ibrahim di sini diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Ta’jil Al-Mafa’ah jilid 2 hal. 21. Karena statusnya dhaif maka tak bisa dijadikan hujjah.
Tapi kalau mau lebih selamat sih begitu sampai tidak usah qashr lagi, mengikuti jumhur dan juga keluar dari khilafiyyah. Apalagi Ibnu Al-Qayyim dalam Zaad Al-Ma’ad mengatakan ini juga fatwa Ibnu Abbas, tapi saya belum nemu di mana Ibnu Abbas mengatakan demikian. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
25 Juli 2021