Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya,
“Apakah mandi janabah sudah mencukupi wudhu?”
Beliau menjawab,
“Apabila seseorang junub lalu mandi maka itu sudah mencukupinya dari wudhu” berdasarkan firman Allah,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا
“Kalau kamu junub maka mandilah..” (Qs. Al Maidah : 6).
Dia tidak wajib berwudhu lagi setelah mandi itu kecuali kalau setelah mandi dia berhadats barulah dia wajib wudhu lagi. Tapi kalau dia tidak berhadats maka dia tidak perlu wudhu karena mandinya itu sudah mencukupi wudhu. Ini berlaku terlepas apakah yang bersangkutan itu sudah wudhu sebelum mandi ataupun tidak. Namun perlu diingat hendaklah dia berkumur-kumur dan beristinsyaq (menghirup air ke hidung) saat mandi wajib, karena hal itu wajib dilakukan ketika mandi maupun wudhu.”
Beliau juga ditanya,
“Apakah mandi biasa (yang bukan mandi wajib atau mandi yang disyariatkan) juga bisa menggantikan wudhu?”
Beliau menjawab,
“Mandi yang tidak disyariatkan (mandi biasa, bukan mandi wajib atau janabat) tidak bisa mencukupi wudhu karena mandi tersebut bukan ibadah.”
(Dari kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, tahqiq: Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaiman, terbitan Dar Al-Wathan dan Dar Ats-Tsurayya tahun 1413 H).
===============================
Jawaban syekh Muhammad Al-Utsaimin ini sesuai dengan apa yang biasa dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dimana Aisyah berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّى الرَّكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أُرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوءًا بَعْدَ الْغُسْلِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya mandi dan langsung shalat dua rakaat shalat Subuh dan aku tidak melihat beliau memperbarui wudhu kembali.” (Sunan Abu Daud, no. 250, Sunan At-Tirmidzi, no. 107 dengan redaksi, “Beliau tidak lagi berwudhu setelah mandi”).[1]
Al-Mubarakfuri memberi penjelasan tentang hadits At-Tirmidzi ini dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi bahwa hal tersebut dilakukan karena telah merasa cukup dengan mandi besar sehingga tidak lagi memerlukan wudhu untuk shalat.
Selanjutnya Al-Mubarakfuri menukil pernyataan dari ulama besar Malikiyyah Ibnu Al-‘Arabi dari kitab ‘Aridhatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi bahwa para ulama tidak ada yang berbeda pendapat (artinya mereka sepakat) bahwa wudhu sudah masuk ke dalam mandi dan niat mandi janabat berarti niat menghilangkan hadats baik yang kecil maupun besar. Itu menyebabkan bahwa cakupan larangan dalam janabah lebih besar daripada hadats kecil sehingga yang kecil masuk ke dalam yang lebih besar.[2]
Hal ini juga dilakukan dan difatwakan oleh para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
1). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
حَدَّثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ، عَنْ غُنَيْمِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ ابنِ عُمَرَ، قَالَ: سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ: وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟!
Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari Ashim Al-Ahwal, dari Ghunaim bin Qais dari Ibnu Umar bahwa dia pernah ditanya tentang wudhu setelah mandi wajib, maka dia menjawab, “Memangnya ada wudhu yang lebih lengkap dari pada mandi?” [3]
2). Ibnu Umar juga mendengar orang yang berwudhu lagi setelah mandi wajib maka dia berkata kepada orang itu, “Kamu ini berlebihan dalam mendalami.” [4] Artinya Ibnu Umar menganggap tidak lagi perlu wudhu setelah mandi wajib karena mandi itu sudah lebih lengkap daripada wudhu dan sama-sama menghilangkan hadats.
3). Abdurrazzaq juga meriwayatkan dalam kitabnya Al-Mushannaf dari Husyaim, dari Ja’far bin Abi Wahsyiyyah, dari Abu Sufyan, Jabir bin Abdullah ra pernah ditanya haruskah seorang yang telah mandi junub berwudhu lagi? Maka dia menjawab, “Tidak perlu, kecuali kalau dia mau. Mandi itu sudah cukup baginya.” [5] Menurut pendapat Jabir ini kalau dia mau berwudhu boleh saja, tapi tidak perlu.
Akan tetapi kalau keluar sesuatu dari kemaluan setelah mandi, misalnya wadi atau madzi atau keluar air seni kecil yang biasa setelah mengelap badan dari mandi maka harus wudhu lagi, sebab kalau sudah begitu berarti wudhunya batal dan dia kembali berhadats kecil. Hal yang sama kalau seseorang yang telah rampung mandinya kemudian menyentuh kemaluannya dengan telapak tangan atau mengorek lubang dubur, maka dia berhadats dan harus berwudhu lagi kalau mau shalat.
Ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar seperti yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq: Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Salim yang berkata, “Ayahku (Ibnu Umar ra) pernah mandi lalu berwudhu lagi. Maka aku bertanya kepadanya, “Bukankah sudah cukup bagi ayah mandi saja dan wudhu apa lagi yang lebih lengkap daripada mandi?” Ayahku itu menjawab, “Betul memang tidak ada wudhu yang lebih lengkap daripada mandi, hanya saja tadi aku kepikiran ada yang keluar dari kemaluanku maka akupun memegangnya, oleh sebab itulah aku berwudhu lagi.” [6]
Kesimpulan: sunnahnya adalah tidak berwudhu lagi setelah mandi wajib, karena toh hadatsnya sudah hilang maka tak ada lagi alasan untuk berwudhu, sebab berwudhu menjadi harus kalau ada hadats kecil. Ketika seseorang mandi maka hadatsnya kecil dan besar terhilangkan sekaligus. Tapi kalau setelah mandi berhadats kecil seperti keluar cairan dari kemaluan atau kentut atau memegang kemaluan karena merasa ada yang keluar maka wajiblah wudhu lagi. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim.
Bekasi, 8 Juni 2011 M.
Referensi:
- Hadits ini dianggap shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud (kitab induk) jilid 1, hal. 446, nomor hadits: 245. Juga dishahihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak berdasarkan syarat Al-Bukhari. Pernyataan Al-Hakim ini disetujui oleh Adz-Dzahabi.
- Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi jilid 1 hal. 304 terbitan Darul Fikr.
- Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah jilid 1 hal. 474, no. 748, tahqiq: Muhammad Awwamah, terbitan Dar A-Qiblah dan MAusu’ah Dar Al-Qur`an, terbitan tahun 2006 M.
- Ibnu Abi Syaibah, opcit. Hal. 475, no. 750.
- Al-Mushannaf oleh Abdurrazzaq 1/272, no. 1045, tahqiq Habiburrahman Al-A’zhami, terbitan Al-Maktab Al-Islami.
- Al-Mushannaf oleh Abdurrazzaq, no. 1038.