Tanya:
Izin bertanya ustadz, di kampung kami ad imam tertentu yang mengucapkan allahummafighrlii setelah kalimat waladdhooollliin, dan sebelum kalimat amiiin.
Bagaimana hukumya ustadz? Syukron ustadz
Eko B.
Jawab:
Ini memang ada Sebagian ulama yang menyunnahkan terutama di kalangan madzhab Syafi’I belakangan. Misalnya kita temukan dalam kitab Tuhfatul Muhtaaj (jilid 1 hal. 49) Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:
(تَنْبِيهٌ) أَفْهَمَ قَوْلُهُ عَقِبَ فَوْتَ التَّأْمِينِ بِالتَّلَفُّظِ بِغَيْرِهِ وَلَوْ سَهْوًا كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ وَإِنْ قَلَّ، نَعَمْ يَنْبَغِي اسْتِثْنَاءُ نَحْوِ رَبِّ اغْفِرْ لِي لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ «أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ عَقِبَ الضَّالِّينَ رَبِّ اغْفِرْ لِي آمِينَ»
“Peringatan: Perkataannya (An-Nawawi dalam Al-Minhaj -penerj) “aqiba” (setelah) memberi pemahaman terluputnya ucapan amin bila didahului ucapan lain meski lupa sebagaimana disebutan dalam kitab al-Majmu’ dari para ash-haab (pemuka khusus madzhab) meski ucapan itu sedikit. Memang, harus dikecualikan dari keluputan ini adalah bolehnya mengucapkan “Rabbighfirlii” (Tuhan ampuni aku) karena ada riwayat berstatus hasan bahwa Nabi saw mengucapkannya setelah bacaan “waladh dhaalliin”, maka beliau membaca (رَبِّ اغْفِرْ لِي آمِينَ).”
Maksud Al-Haitami di atas bahwa ucapan Rabbigh firlii sebelum amin boleh diucapkan bagi imam karena ada riwayatnya yang berstatus hasan dari Nabi. Nah apakah riwayat itu dan benarkan statusnya hasan?
Tapi Ar-Ramli dalam Nihatul Muhtaaj (jilid 1 hal. 489) tidak menyinggung hal ini bahkan dia mengatakan,
وَمُرَادُهُ بِالْعَقِبِ أَنْ لَا يَتَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا لَفْظٌ
“Maksud beliau (An-Nawawi) dengan kata ‘aqiba adalah jangan sampai ada penyela antara al-fatihah dengan ucapan amin dari ucapan apapun.”
Lalu ini dikoreksi oleh Asy-Syabramallisi dalam Hasyiyahnya terhadap Nihayatul Muhtaaj,
يَنْبَغِي اسْتِثْنَاءُ نَحْوِ رَبِّ اغْفِرْ لِي لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ
“Ini harus dikecualikan ucapan rabbighfirlii karena ada riwayat yang hasan yang membolehkannya.”
Riwayat itu ada dalam Al-Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 107:
107- حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَطَّابِيُّ ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ الْعُطَارِدِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبِي ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ النَّهْشَلِيِّ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ الْيَحْصِبِيِّ ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالَ : {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ} قَالَ : رَبِّ اغْفِرْ لِي آمِينَ.
“Al-Qasim bin Abbad Al-Khaththabi menceritkan kepada kami, Ahmad bin Abdil Jabbaar al-‘Utharidy menceritakan kepada kepada kami, Ayahku menceritakan kepadaku, dari Abi Bakr an-Nahsyaliy, dari Abi Ishaq, dari Abi Abdillah al-Yahsibiy, dari Waa`il bin Hujr RA, dia mendengar Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam ketika membaca : “غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ”, lantas beliau mengucapkan, (رَبِّ اغْفِرْ لِي آمِينَ) “Yaa Rabb, ampunilah aku, Aaamin”.
Al-Baihaqi juga mengeluarkannya dalam Al-Kubra bertemu di Ahmad bin Abdul Jabbar Al-Utaharidy.
Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Az-Zawa`id: “Dalam sanadnya ada Ahmad bin Abdul Jabbar Al-Utharidi yang dianggap tsiqah oleh Ad-Daraquthni, dipuji oleh Abu Kuraib, tapi banyak ulama yang melemahkannya. Sementara Ibnu ‘Adi mengatakan, Aku tak menemukan haditsnya yang munkar.”
Maka mari kita telusuri keadaan Ahmad bin Abdul Jabbar ini berdasarkan pendapat para kritikus hadits. Cukuplah kita lihat apa yang ditulis oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal (1/137, cetakan muassasah Ar-Risalah):
“Banyak yang mendhaifkannya, Ibnu Adi mengatakan, “Aku melihat mereka (para ulama) melemahkannya tapi aku belum menemukan adanya hadits munkar darinya. Mereka melemahkan karena dia menceritakan dari orang yang belum pernah dia temui.”
Muthayyin mengatakan, “Dia itu pendusta”.
Ad-Daraquthni mengatakan, “Tidak mengapa dengannya, Abu Kuraib telah memujinya. Tapi para guru kami berbeda pendapat tentang dia ini dan memang orangnya bukanlah ahli hadits.
Abu Hatim mengatakan, Tidak kuat.
Putranya yaitu Abdurrahman bin Abi Hatim mengatakan, “Aku menulis hadits darinya, tapi aku tak jadi meriwayatkan darinya karena orang-orang pada membicarakan negative.”
Ibnu Adi juga menambahkan, “Ibnu Uqdah tak mau meriwayatkan hadits darinya. Dia menyebutkan bahwa dia punya qamthar (semacam rak buku) bahwa dia ini sembarangan saja meriwayatkan dari siapapun.”
Dengan begitu riwayatnya adalah dha’if.
Ternyata kalau kita teliti riwayat ini bukan hanya dha’if tapi juga munkar, karena bertentangan dengan riwayat lain yang kesemuanya shahih meriwayatkan dari Wa`il bin Hujr tanpa menyebutkan adanya tambahan doa rabbighfirlii itu, dan hanya menyebut bahwa Rasulullah setelah menyebut (وَلَا الضَّالِّينَ) maka langsung mengucapkan amin.
Oleh karena itulah Al-Iraqi dalam kitabnya Tharh At-Tatsrib tidak menyunnahkan ucapan ini dibaca sebelum amin sebagaimana tulisannya:
المستحب الاقتصار على التأمين عقب الفاتحة من غير زيادة عليه اتباعا للحديث وأما ما رواه البيهقي من حديث وائل بن حجر أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قال غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال رب اغفر لي آمين فإن في إسناده أبا بكر النهشلي وهو ضعيف
“Bagusnya tidak cukup membaca amin setelah Al-Fatihah tanpa tambahan ucapan apapun demi mengikuti hadits yang ada. Adapun riwayat Al-Baihaqi dari hadits Wa`il bin Hujr bahwa dia mendengar Rasulullah saw mengucapkan (رب اغفر لي) setelah (وَلَا الضَّالِّينَ) maka dalam sanadnya ada Abu Bakar An-Nahsyali dan dia dhaif.”
Di sini Al-Iraqi malah menyalahkan Abu Bakar An-Nahsyali yang memang ada yang mendhaifkannya. Tapi bisa jadi memang dia biangnya karena bertentangan dengan riwayat orang yang lebih kuat yang juga meriwayatkan dari Abu Ishaq. Juga tidak ditemukan tambahan itu dalam semua yang meriwayatkan dari Wa`il bin Hujr tentang masalah amin ini, sehingga jelaslah itu riwayat berstatus munkar.
Dengan demikian gugurlah istidlal Ibnu Hajar Al-Haitami dan lainnya yang menyunnahkan ucapan itu karena mereka berasumsi riwayat itu hasan, padahal faktanya tidak.
Kesimpulannya, hendaknya tidak mengucapkan itu baik imam maupun makmum demi menjaga orisinalitas shalat, tapi bila ada yang mengamalkannya karena bertaqlid kepada pendapat para ulama yang menyatakan bolehnya maka tak perlu diingkari dengan keras. Lagi pula semua sepakat itu tidak membatalkan shalat.
Wallahu a’lam.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta
27 September 2024