Tanya:
Assalamu alaikum ustadz mau tanya, bayar fidyah itu satu kali makan ataukah satu hari makan?
KR. Jakarta.
Jawab:
Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama apakah boleh membayar fidyah dengan makanan jadi. Semua sepakat bahwa fidyah dibayarkan dengan bahan makanan pokok. Pendapat yang kami pilih adalah bolehnya membayar fidyah dengan makanan jadi siap santap. Dalilnya adalah atsar dari Anas bin Malik RA yang membayar fidyah di akhir Ramadhan dengan mengundang makan 30 orang miskin.
Riwayat Anas ini ada dalam Sunan Ad-Daraquthni bahwa Anas ketika sudah lemah tak mampu berpuasa maka dia membuat satu nampan tsarid (jenis makanan berat di masa itu) lalu mengundang 30 orang miskin dan memberi mereka makan sampai kenyang.”
Dalam kitab Mushannaf Ibni Abi Syaibah, dia meriwayatkan dengan kalimat yang tegas menyebut, “satu kali makan” (فَيُطْعِمُهُمْ خُبْزًا وَلَحْمًا أَكْلَةً وَاحِدَةً)
Dari atsar Anas ini jelas bahwa memberi makan untuk fidyah puasa cukup untuk sekali makan saja, tidak harus seharian.
Masalah ini jarang dibahas di kitab-kitab para ulama terdahulu (mutaqaddimin) tapi kami menemukan dalam kitab Masa`il Abu Daud yang merupakan pertanyaan Abu Daud kepada gurunya yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Di sana disebutkan bahwa seorang pernah bertanya tentang wanita yang punya hutang puasa dan belum sempat meng-qadha dia telah meninggal dunia. Imam Ahmad mengatakan disunnahkan baginya untuk membayar fidyah atas nama wanita itu. Lalu yang bertanya melanjutkan apakah boleh dengan makanan siap saji? Beliau menjawab boleh dan silakan undang 30 orang miskin lalu beri mereka makan satu kali sampai kenyang.
Pendapat ini pula yang didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya dengan tegas menyebutkan bahwa pemberian makanan sekali makan sudah mencukupi kaffarah sumpah. Kasus sumpah dan fidyah adalah sama karena sama-sama memberi makan kepada orang miskin.
Di kalangan ulama kontemporer yang tegas mengatakan bahwa memberi makan itu cukup satu porsi makanan lengkap adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagaimana dalam kitab As-Syarh Al-Mumti’, Syekh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam fatawanya.
Referensi:
- Masa`il Abi Daud hal. 134-135, tahqiq Dr Thariq ‘Awadhullah.
سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ عَنِ امْرَأَةٍ أَفْطَرَتْ مِنْ مَرَضٍ، ثُمَّ صَحَّتْ بَيْنَ ذَلِكَ، وَكَانَتْ تَخْرُجُ وَتَدْخُلُ وَلَا تَقْدِرُ تَصُومُ، فَجَاءَهَا رَمَضَانُ آخِرُ، فَأَفْطَرَتْ مِنْهُ يَوْمَيْنِ، ثُمَّ مَاتَتْ؟ قَالَ: إِذَا صَحَّتْ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهَا، قِيلَ: كَمْ يُطْعَمُ عَنْهَا؟ قَالَ: مُدٌّ لِكُلِّ مِسْكِينٍ، فَقَالَ: أُطْعِمُهُمْ؟ قَالَ: نَعَمْ، كَمْ أَفْطَرَتْ؟ قَالَ: ثَلَاثِينَ يَوْمًا، قَالَ: فَاجْمَعْ ثَلَاثِينَ مِسْكِينًا وَاطْعِمْهُمْ مَرَّةً وَاحِدَةً أَشْبِعْهِمْ، قَالَ: مَا أُطْعِمُهُمْ؟ قَالَ: إِنْ قَدِرْتَ خُبْزًا وَلَحْمًا، أَوْ مِنْ أَوْسَطِ طَعَامِكُمْ
Imam Ahmad ditanya ttg seorang wanita yang tidak puasa karena sakit lalu dia sehat dan beraktivitas, tapi dia tidak bisa mengganti puasa itu lalu datang Ramadhan berikutnya, dan dia juga tak puasa selama dua hari, lalu meninggal dunia.
Imam Ahmad menjawab, “Kalau dia sehat disunnahkan agar dibayarkan fidyah memberi makan orang miskin atas namanya.
Ditanya lagi, “Berapa jumlahnya?”
Beliau menjawab, “satu mud untuk setiap orang miskin.”
Dia bertanya lagi, “Saya harus memberi makanan kepada mereka?”
Beliau menjawab, “iya, berapa hari dia tidak puasa?”
Dijawab, “30 hari”
Beliau menjawab: “KUMPULKAN 30 ORANG MISKIN DAN BERI MAKANAN MEREKA SEBANYAK SATU KALI SAMPAI MEREKA KENYANG”
Ditanya lagi, “Apa yang harus saya berikan?”
Beliau menjawab, “Kalau kamu mampu kasikan roti dan daging atau pertengahan dari makanan kalian.”
- Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah jilid 35 hal. 352:
وَإِذَا جَمَعَ عَشَرَةَ مَسَاكِينَ وَعَشَّاهُمْ خُبْزًا وَأُدْمًا مِنْ أَوْسَطِ مَا يُطْعِمُ أَهْلَهُ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ عِنْدَ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ أَظْهَرُ الْقَوْلَيْنِ فِي الدَّلِيلِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِإِطْعَامِ؛ لَمْ يُوجِبْ التَّمْلِيكَ وَهَذَا إطْعَامٌ حَقِيقَةً
“Jika dia mengumpulkan sepuluh orang miskin lalu memberinya makan sore dengan roti dan lauk dengan makanan pertengahan yang biasa dia berikan kepada keluarganya maka itu sudah mencukupi menurut kebanyakan ulama salaf. Ini pula yang jadi pendapat madzhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat serta para ulama lain. Inilah pendapat yang lebih kuat dalilnya, karena Allah Ta’ala memerintahkan memberi makan dan tidak mengharusnya tamlik (memberi sebagai hak milik) kepada faqir miskin tersebut, padahal inilah bentuk ith’am (memberi makan) yang sebenarnya.”
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah jilid 7, hal. 533, nomor riwayat 12346:
12346- حَدَّثنا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ حميد؛ أَنَّ أَنَسًا مَرِضَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَصُومَ، فَكَانَ يَجْمَعُ ثَلاَثِينَ مِسْكِينًا، فَيُطْعِمُهُمْ خُبْزًا وَلَحْمًا أَكْلَةً وَاحِدَةً.
Dijawab dan disusun oleh
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta