Sunnah-Sunnah Yang Hampir Sulit Diamalkan

Siapa di antara kita yang pernah mengamalkan sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkaitan dengan bolehnya menolak tamu yang datang? Saya pastikan hampir tidak ada yang pernah. Sebab mengamalkan hadits tentang bolehnya menolak tamu ibarat mengusir tamu, padahal memang boleh.

Namun nyatanya kita masih menganggap bahwa menolak tamu adalah satu bentuk kesombongan. Saya pernah sekali mencobanya dan hasilnya sama persis dengan perkiraan dalam hati, pasti setelahnya ia akan acuh dan malas bertemu lagi, jangankan mampir.

Padahal sejatinya saat Nabi membolehkan menolak tamu adalah dalam rangka menghargai sang tamu, sebaliknya sang tamu juga menghargai sang tuan rumah. Tamu yang datang harus dimuliakan, namun di saat tuan rumah repot maka dikuatirkan bila tetap menerima tamu akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya diketahui oleh tamu.

Tentunya tidak afdhal bila akhirnya bertamu kemudian pulang dengan membawa oleh-oleh aib tuan rumah dalam hal kurang maksimalnya menerima tamu. Maka disinilah sang tamu harus mengerti bahwa ia pun sebenarnya diselamatkan oleh sunnah Nabinya agar pulang dalam keadaan bersih tanpa membawa aib tuan rumah. Sebab mulut kita diciptakan tanpa kunci, maka dari itu ia seringkali lepas kontrol alias dol.

Sunnah bolehnya menolak tamu adalah hadits muttafaq alaih dari jalan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Meminta izin itu tiga kali, bila diizinkan maka boleh bagimu dan bila tidak maka kembalilah.”

Dan tahukah kita bahwa meminta izin itu disyari’atkan oleh Nabi dalam rangka menjaga mata kita dari melihat aib tuan rumah. Begitulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan pada kita dalam hadits muttafaq alaih dari jalan Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu yang artinya,

Baca Juga:  Pahlawan Yang Tak Keluar Dari Aleppo

“Sesungguhnya meminta izin itu dibuat demi menjaga pandangan.”

Beruntung zaman kita sekarang ada teknologi telepon dan mengirim sms, hingga akhirnya tuan rumah bisa memberi alasan sibuk saat akan kedatangan tamu. Bayangkan bila teknologi tersebut tidak ada, pasti seringnya kita adalah berpura-pura ikhlas menerima tamu, padahal boleh kita menolaknya. Itu pun bila kita berani.

Dan keberanian itu karena kita, sebagai tuan rumah atau sebagai tamu telah mengerti bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita. Bila kita tidak tahu tentang sunnah mulia tersebut pastilah kita anggap sunnah mulia itu sebagai ajaran aneh bin nyeleneh, hingga akhirnya kita beranggapan bahwa kita lebih sopan dari beliau. Sebab menolak tamu menurut kita saat kita tidak tahu adalah suatu bentuk ketidaksopanan.

Dan siapakah di antara kita yang berani sekaligus ikhlas sepenuh hati mencelup lalat yang jatuh pada minuman kita sedang kita berada di hadapan orang-orang yang kita anggap orang? Tentu jarang yang berani. Meskipun ada yang berani pasti pertama-tama ia merasa harus bermuka tebal setebal-tebalnya. Padahal itu adalah sunnah Nabi kita. Beliau pun telah menjelaskan tentang wahyu dan kebenaran hikmah di balik pencelupan dan penenggelaman sementara sang lalat yang ia sendiri pasti tak sengaja nyemplung ke dalam minuman kita.

Sekali lagi, ketidaktahuan kita tentang sunnah mulia ini akan membuat diri kita menganggap bahwa perbuatan aneh tersebut adalah perkara yang menjijikkan dan ketidaksopanan yang sejatinya bila kita menganggapnya seperti itu, maka kita telah menahbiskan diri kita lebih sopan dan lebih bersih dari Nabi, panutan kita.

Dan tahukah kita bahwa dampak negatif paling nyata yang ditimbulkan dari ketidaktahuan akan perkara agama adalah seringnya kita membuat definisi sendiri tentang kebenaran dan kesalahan, juga kebaikan dan keburukan. Yang benar adalah menurut kita dan yang salah adalah juga menurut kita, yang baik adalah menurut kita dan yang buruk adalah juga menurut kita.

Baca Juga:  Pendaftaran Program Pendidikan Kader Dai Mandiri Pesantren BIK Bogor

Bila setiap saat kita membuat definisi sendiri tentang kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, kesantunan dan ketidaksantunan sesuai dengan anggapan kita dan bukan sesuai dengan agama kita, maka sejatinya kita telah mengacak-acak ajaran Nabi kita. Dan itu adalah bukti bahwa kita adalah orang-orang pendusta. Ya, berdusta telah mencintai Nabinya padahal kita tak mau mengikuti sunnah-sunnahnya.

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Fairuz Ahmad.
Bintara, 1 Rabi’ul Awwal 1435 H./2 Januari 2014 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *