Kemenangan dakwah tak selamanya dituai dalam hitungan waktu manusia, apalagi bila hitungannya berjangka pendek sependek usia pengembannya. Kemenangan dakwah adalah kemenangan risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu agama Islam. Ia terwujud dalam tegaknya sendi aqidah, hukum, ilmu, akhlak, dan yang paling puncaknya adalah khilafah islamiyah. Mencapainya harus melewati sebuah jalan panjang yang dapat melebihi usia para penitinya yang terpanjang sekalipun.
Jalanan panjang yang berliku, terjal, kering dan gersang tersebut wajib untuk ditempuh, sebab itulah jalan satu-satunya. Mencapai finisnya tak ada jalan alternatif, apalagi jalan lain yang mampu mengantarkan penitinya. Itulah jalan jihad. Menempuhnya harus dengan sikap mujahadah. Tidak ada istilah main-main, bercanda dan bergurau, apalagi asal-asalan yang disertai dengan perilaku seraya dan sembari. Sebab sikap seperti itu disebut mendua. Dan bila jihad adalah bagian dari ibadah, maka selamanya ia tak akan menerima apapun bentuk perselingkuhan.
Perselingkuhan dalam ibadah lahir akibat hilangnya kesabaran. Tak sabar ingin segera menuai hasil. Tak sabar ingin segera memanen kerja. Tak sabar ingin segera melihat orang-orang berterima kasih kepadanya. Tak sabar ingin segera meraup keuntungan ghanimah. Tak sabar ingin segera dielu pujian. Tak sabar ingin segera menunjukkan eksistensinya. Tak sabar ingin segera melihat orang-orang mengakui kebaikan-kebaikannya. Kemudian pada akhirnya ketidaksabaran tersebut mendorongnya menempuh dua jalan yang berbeda. Kadang ia masih bertahan di jalan yang benar, namun kadang ia tergoda berjalan di jalan lainnya. Sebab ia tak sabar.
Di antara bentuk ketidaksabaran itu adalah keinginan mencapai finish kemenangan dengan menempuh jalan materi yang berlebihan. Materi tak harus berwarna hijau, biru dan merah, namun bisa juga ia berbentuk manusia, yaitu manusia yang dianggap mampu memberikan kemenangan dengan cepat, namun tak bisa juga dipungkiri bahwa manusia model seperti ini kebanyakan memiliki dukungan materi yang melimpah. Meski keduanya yaitu benda mati tiga warna dan benda hidup berupa manusia tersebut termasuk dua elemen penting untuk mencapai kemenangan, namun yang pasti tak selamanya seperti itu.
Bahwa kemenangan risalah dakwah tak dapat diraih hanya dengan mengandalkan kekuatan materi. Sebesar apapun ia. Sebab materi adalah faktor pendukung luar. Ia akan berfungsi dengan sempurna tatkala pemilik dan pengelolanya adalah orang-orang yang memang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pengemban risalah.
Orang-orang pilihan Allah inilah yang disebut sebagai faktor dalam. Dan mereka harus dipersiapkan dan disediakan. Persiapan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan berkesinambungan. Sebab bila terputus, niscaya risalah juga akan terputus. Dan kemenangan pun tak akan mungkin diraih.
Keterputusan amal penyiapan faktor dalam ini paling utama disebabkan oleh ketidaksabaran. Sebab dalam hal apapun sabar adalah nyawa. Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata bahwa tatkala ditiupkan ruh kepada Adam ia bersin saat ruh baru melewati kepalanya, kemudian Adam bangkit sebelum ia sampai pada kakinya. Dikatakan kepada Adam: “Sungguh manusia diciptakan dari ketergesaan.”[1] Begitulah manusia sejak pertama ia diciptakan, telah terbenam dalam dirinya satu sifat kekurangan yaitu ketergesaan. Dan sungguh sifat inilah yang menjadi cikal bakal sifat zalim dan kebodohan, sebagaimana Allah ungkapkan dalam salah satu ayat-NYA:
“Sungguh manusia adalah makhluk yang amat zalim dan bodoh.”[2]
Sebab ketergesaannya maka ia berbuat zalim, dan sebab ketergesaannya pula ia berbuat hal-hal bodoh dalam hidupnya. Bukankah karena ingin segera mendapat kekayaan ada orang yang bertindak zalim dan bodoh? Bukankah karena ingin segera mendapatkan kekuasaan maka ada orang yang bertindak zalim dan bodoh? Bukankah karena ingin segera mendapatkan jodoh ada orang yang bertindak zalim dan bodoh? Bukankah pernah ada cerita orang di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang karena luka-lukanya akibat berperang lalu ia tak kuat menahan rasa sakit akhirnya bertindak zalim dan bodoh dengan bunuh diri dan akhirnya ia menjadi penghuni neraka?[3]
Bila ketergesaan adalah sifat dasar manusia, maka selayaknya setiap saat ia mampu mengambil pelajaran darinya. Salah satunya adalah sabar saat berjalan di atas jalan dakwah. Memenangkan risalah dakwah Nabi membutuhkan kesabaran, baik fisik maupun jiwa, namun kesabaran jiwalah yang paling utama, sebab jiwa dalam hal ini adalah nama lain dari hati, dan hati adalah kendali fisik, baik buruknya bergantung pada baik buruknya hati.
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan bila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, dialah hati.”[4]
Maka disinilah letak pertempuran sebenarnya. Musuh bebuyutan manusia yang bernama setan selalu mengincar hati sebagai target utama penghancuran manusia. Dan mereka senantiasa menebar jebakan ranjau untuk melumpuhkannya. Ranjau-ranjau yang dapat mematikan hati tersebut mereka kemas dengan kemasan menarik dan penuh pesona, hingga tunduklah hati-hati manusia kepadanya, sebab mereka telah mengira bahwa ranjau itu bukanlah ranjau, dan memang mereka melihatnya bukanlah dalam bentuk ranjau. Bukankah Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada kita betapa lihainya setan saat menipu manusia,
“Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka”[5].
Bila manusia sudah memandang baik perbuatan salahnya, maka itu tanda hati telah tertawan, saat hati manusia telah tertawan, maka setanlah pengendalinya. Itulah sebabnya kenapa mereka begitu faham bagaimana caranya menaklukkan hati, sang pengendali utama.
Bila hati sebagai kendali utama, maka baik buruknya tergantung pada asupannya. Kualitas dan kuantitas makanannya adalah hal yang juga utama untuk dipersiapkan. Sebab bila salah asupan maka ia akan terjangkit virus syahwat. Bila ia sudah terinfeksi maka akan menjalar ke akal hingga akal pun terjangkit dengan penyakit yang sama meski dengan nama yang berbeda yaitu virus syubhat, begitulah yang dikatakan oleh imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad.[6]
Dan obat bagi dua penyakit di atas kata imam Ibnu Qayyim adalah keyakinan dan kesabaran. Keyakinan akan meluruskan akal, sedang sesabaran akan mengokohkan hati. Bila hati sudah kokoh dan akal sudah lurus, maka salah satu dampaknya adalah munculnya sifat wara’, yaitu waspada dan kehati-hatian. Sifat wara’ atau waspada dan kehati-hatian ini akan senantiasa meletupkan antusiasme dalam mencari ilmu untuk memperoleh kebenaran. Sebab satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran adalah ilmu, karena ilmu berarti petunjuk. Sebagaimana Nabiyullah Adam alaihissalam yang dianugerahi (ditalaqqi) oleh Allah dengan “kalimaat” setelah ia terjatuh pada kemaksiatan akibat ketidaksabarannya dalam ketaatan kepada Allah. Dan kalimaat tersebut adalah ilmu, hingga akhirnya Adam mendapatkan kembali jalan petunjuk menuju taubatnya kepada Allah. Dan diriwayatkan bahwa perlu beberapa waktu lamanya Adam bersabar saat menanti turunnya kalimaat ini.
Bila kita membaca kisah Ka’ab bin Malik, Mirarah bin Ar Rabi’ dan Hilal bin Umayyah maka kita akan tahu kekuatan sabar mereka dalam menanti pengampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kesalahannya tidak ikut rombongan pasukan yang diberangkatkan ke Tabuk. Lima puluh malam dalam keikhlasan menerima hukuman dikucilkan bukanlah perkara mudah, apalagi di tengah penantian berat itu muncul godaan setan berupa tawaran suaka politik dari raja-raja dengan syarat mereka mau membelot. Namun sekali lagi kemenangan dalam meruntuhkan hawa nafsu mereka adalah sikap sabar. Mereka tidak tergiur dengan tawaran kemenangan cepat dari raja-raja. Sebab mereka tahu itu perselingkuhan. Pantang bagi jiwa-jiwa sabar mereka untuk berselingkuh dengan sosok raja dan juga harta bendanya. Mereka hanya tahu, bahwa menang memang harus mampu melawan ketergesaan. Dan itulah makna sabar yang Nabi jelaskan kepada para sahabatnya saat merasa berat atas siksaan kafir Quraisy, kenapa beliau tidak segera berdo’a saja kepada Allah agar menurunkan kemenangannya dengan cepat, maka beliau menjawab:
“Dahulu sebelum kalian ada yang sampai ditanam ke dalam tanah lalu kepalanya dibelah dua dengan gergaji, dan ada juga yang disisir kepalanya dengan sisir dari besi hingga terkelupas kulit dari tulangnya, akan tetapi siksaan itu tidak memalingkan mereka dari agamanya. Demi Allah, Dia akan memenangkan agama ini hingga ada seorang pengendara dari Shan’a ke Hadramaut, ia tidak merasa takut akan dirinya kecuali kepada Allah dan serigala yang menerkam dombanya, akan tetapi kalian sering tergesa-gesa.”[7]
Fairuz Ahmad.
Catatan perjalanan; Bintara-Pulo Gadung-Depok-Manggarai, 16 Dzulqa’dah 1434 H./ 22 September 2013 M.
————
Catatan:
[1] Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya 3/330.
[2] QS. Al Ahzaab : 72.
[3] Dari Abu Hurairah dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang melakukan peperangan menghadapi Hunain, maka beliau bersabda kepada seorang lelaki yang diakui sebagai seorang muslim: ‘Orang ini termasuk ke dalam golongan ahli Neraka’. Saat kami sedang dalam kancah, kami lihat lelaki itu berperang dengan bersungguh-sungguh hingga menyebabkan dia terluka parah. Lalu ada yang melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah! Lelaki yang anda katakan sebelum ini, bahwa dia merupakan ahli Neraka, pada hari ini ia telah berjuang dengan penuh semangat dan dia telah mati’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dia akan ke Neraka’. Sebagian kaum muslimin berada dalam keraguan atas hal tersebut. Tiba-tiba datang seseorang melaporkan bahwa dia tidak mati karena berjuang, tetapi luka parah. Pada malam itu, dia tidak sabar menghadapi kesakitan lukanya, maka dia membunuh dirinya sendiri, maka hal itu dilaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah terus bertakbir: ‘Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu Rasulullah menyuruh Bilal memberitahu semua orang bahwasanya tidak akan masuk Surga kecuali jiwa atau orang yang berserah diri (kepada Allah). Dan bahwa Allah akan menguatkan agama ini dengan seorang lelaki pendosa.” (HR. Muslim no.162, juga Bukhari no.2834).
[4] Muttafaq alaih dari jalan An Nu’man bin Basyir.
[5] QS. Al Angkabuut : 38.
[6] Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad 3/10 Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risalah.
[7] HR. Bukhari dari Abu Abdillah Khabbab bin Al Arat. Wallahu A’lam.