Polemik ilmiah di kalangan para ulama merupakan perkara ma’lum dan biasa. Bahkan, terkadang dalam polemik tersebut mungkin saja terlontar ibarat-ibarat menyakitkan. Akan tetapi, yang istimewa dari sifat mulia mereka adalah, menyikapi polemik ilmiah tersebut dengan lapang dada. Meletakkan pada tempatnya, serta tidak menyeretnya dalam ranah pribadi apalagi sampai memutuskan ikatan ukhuwah dan silaturahmi.
Yunus al-Shadafi rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah menyaksikan seorang yang lebih berakal dari pada al-Syafi’i. Pernah suatu hari aku berdebat dengannya dalam satu persoalan, lalu kami berpisah (dalam keadaan berselisih). Beliau (al-Syafi’i) lantas menemuiku dan memegang tanganku seraya berkata: Wahai Abu Musa, tidakkah lebih baik kita tetap bersaudara kendati tidak bersepakat dalam satu persoalan (hukum)?” (1)
Demikian pula sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap musuh besarnya Ibnu Makhluf. Kendati ia (Ibnu Makhluf) telah mengkafirkan dan menghalalkan darah beliau. Di hari kematian Ibnu Makhluf, murid beliau, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah datang dengan wajah berseri dan menyampaikan “berita gembira” tersebut. Namun Syaikhul Islam mengingkari sikap Ibnul Qoyyim itu. Menghardiknya, seraya mengucapkan istirja’ lalu bergegas mengunjungi rumah Ibnu Makhluf. Setelah mengucapkan ta’ziyah, beliau berkata kepada sanak keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf: “Ketahuilah, saat ini status aku seperti bapak kalian. Tidak ada sesuatu apapun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhinya…”. (2)
Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Hubairah (guru Ibnul Jauzi) seorang Imam dan Faqih besar di zamannya. Majelis ilmunya ramai dipadati para ulama dari seluruh mazhab yang empat.
Suatu hari terjadi perdebatan antara beliau dengan salah satu peserta majelisnya. Yakni seorang fuqaha’ (ahli fikih) Malikiyah, Abu Muhammad al-Asyiri. Perdebatan keduanya seputar persoalan yang merupakan mufradat Imam Ahmad. Al-Asyiri ngotot menyatakan bahwa masalah itu juga ada dalam mazhab Maliki. Ibnu Hubairah terpaksa menghadirkan banyak kitab-kitab untuk membuktikan penyataannya. Demikian pula para ulama yang hadir, mereka berusaha menyakinkan al-Asyiri. Namun al-Asyiri tetap pada pendiriannya. Karena kesal, Ibnu Hubairah lantas menghardiknya: “Apakah Anda ini binatang?! Tidakkah anda mendengar pernyataan para ulama bahwa ini termasuk mufradat Imam Ahmad, dan kitab-kitab ini juga menjadi saksi?! Bagaimana anda tetap bersikukuh pada pendapat anda?!”. Setelah itu majelis pun bubar.
Di hari berikutnya, saat Ibnu Hubairah duduk di majelisnya dan hadir pula para ulama, satu persatu nama ulama yang hadir disebutkan oleh pembantu beliau melalui absen. Tatkala nama Abu Muhammad al-Asyiri disebut, Ibnu Hubairah tertegung lalu berseru: “Tolong berhenti sejenak!, Kemarin al-Faqih Abu Muhammad al-Asyiri mengeluarkan satu penyataan, dan akupun mengucapkan satu kalimat yang kurang pantas terhadapnya. Olehnya, saya mohon pada anda wahai Abu Muhammad agar mengatakan hal yang sama terhadapku seperti yang aku ucapkan kemarin”. Majelis pun penuh dengan isak tangis. Mereka terharu dengan akhlak Ibnu Hubairah yang mulia ini. Dan karena itu pula, Abu Muhammad al-Asyiri pun mengakui kekeliruannya dan minta maaf kepada beliau. (3)
Saudaraku, sebenarnya yang menjadi fokus kami di sini adalah, kebesaran hati al-Faqih Abu Muhammad al-Asyiri tersebut. Beliau seorang ulama besar mazhab Maliki. Kendati mendapat hardikan kurang pantas dari Imam Ibnu Hubairah di depan para fuqaha’, beliau sedikitpun tidak mendendam, memusuhi, apalagi memasukkannya dalam polemik pribadi beliau. Buktinya, di hari berikutnya beliau tetap hadir dalam majelis Ibnu Hubairah, seolah tidak pernah ada persoalan di antara mereka berdua. Semoga Allah merahmati mereka semua. Wallahu A’lam.
Rappung Samuddin
Referensi:
- Lihat: Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, 10/15, al-Maktabah al-Syamilah.
- Dr. Khalid al-Sabt, Akhlak al-Kibar, kaset ceramah Side A.
- Lihat: Ibnu Rajab al-Hambali, Dzail Thabaqat al-Hanabilah, al-Maktabah al-Syamilah, 1/227, secara ringkas dan sedikit perubahan.
Sumber: https://www.facebook.com/notes/rappung-samuddin/begini-semestinya-kita-berbeda/10152678835103501/