Al-Qadhi Iyadh berkata:
وذكر مسلم فى الباب أحاديث فى السمع والطاعة فى منشطك ومكرهك وأثرة عليك. فيه وجوبها فيما يشق ويكره فى باب الدنيا لا فيما يخالف أمر الله، كما قال فى الحديث الآخر: ” إلا أن يأمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة “، وبهذا يجمع بين الأحاديث، وهذا يفسر عموم الحديث المتقدم.
قال الطبرى: فيه أنه لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق، وأخبار رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا تضاد، وإنما أحاديث السمع والطاعة مجملة تفسرها الأحاديث الأخر المفسرة ما لم يخالف أمر الله، وهذا قول عامة السلف.
وقوله: “فى عسرك ويسرك” يحتمل أن يكون مثل ما تقدم من حاله، ويحتمل أن يختص بالمال.
وقوله: “اسمع وأطع وإن كان عبداً حبشياً مُجَدَّع الأطراف” الجدع: القطع. وإنما أشار بهذا الوصف إلى أدنى العبيد السود، ووحشهم ووغدهم لاستعمالهم فى الرعية للإبل وغليظ الخدمة، فقد تنقطع أصابع أرجلهم من خشونة الأرض وشديد الأعمال، على طريق المبالغة فى طاعة الأمراء كيف ما كانوا من شرف أو ضعة. وفى قوله فى آخر الحديث: ” يقودكم بكتاب الله ” تفسير لما تقدم؛ إذ الطاعة فى هذا فيما لم يخالف أمر الله.
Muslim menyebutkan dalam bab ini beberapa hadits tentang mendengar dan taat baik dalam keadaan senang maupun susah serta meskipun ketika kepentinganmu dikesampingkan. Dalam hadits itu ada kewajiban taat meski dalam keadaan berat dan tidak disukai dalam masalah dunia, tapi tidak dalam hal yang bertentangan dengan perintah Allah sebagaimana dalam hadits yang lain, “Kecuali kalau dia (pemimpin) itu memerintahkan maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” Dengan demikian terkompromikanlah hadits-hadits dalam masalah ini sekaligus menafsirkan keumuman hadits sebelumnya.
Ath-Thabari berkata, “Dalam hadits ini berarti tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada sang Khaliq.” Hadits-hadits Rasulullah tidak mungkin saling bertentangan. Hadits-hadits yang memerintahkan dengar dan taat sifartnya mujmal (global) dan dirinci oleh hadits-hadits lain yang menerangkan bahwa ketaatan itu hanya berlaku bila tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Inilah pendapat umumnya para ulama salaf.
Perkataan, “Dalam keadaan berat dan ringanmu” bisa mengandung arti seperti keterangan di atas bisa pula khusus dalam masalah harta.
Perkataan, “Dengar dan taatlah meski seorang budak habasyi yang buntung anggota tubuhnya. Biasanya itu dialami oleh budak yang dipekerjakan dengan begitu berat sehingga bisa buntung jemari tangan dan kakinya. Digambarkan sedemikian karena meski bentuknya serendah itu dari kalangan budak belian maka tetap harus taat kepada pemimpin bagaimanapun hidupnya entah dari bangsawan mulai ataukah dari budak jelata.
Perkataan, “Memimpin kalian dengan kitab Allah” merupakan tafsir rincian dari semua tadi, karena ketaatan hanya dibolehkan bila tidak bertentangan dengan perintah Allah.
Selesai nukilan dari al-Qadhi Iyadh.
(Ikmal Mu’lim bi Fawa`id Muslim jilid 6 hal. 242)
Demikianlah penjelasan dari hadits mendengar dan taat kepada penguasa bukan secara mutlak, melainkan bersyarat yaitu selama dia memimpin dengan kitab Allah. Kalau bukan memimpin berdasarkan kitab Allah yang berarti syariat-Nya berarti tidak boleh ditaati karena otomatis maksiat.
Artinya, Al-Qadhi Iyadh termasuk yang mengakui berlakunya mafhum mukhalafah dalam hadits Mu’awiyah dan Ummu Hushain Ahmasiyyah. Berlakunya mafhum mukhalafah itu sudah kami jelaskan di artikel kami yang lain yang bisa dibaca di sini:
Makanya tidak boleh mendasari suatu pendapat hanya dengan satu dua hadits tanpa mengumpulkan semua jalur dan isinya di satu bab bahasan yang sama. Karena sebagaimana kata Imam Ahmad
الحديث اذا لم تجمع طرقه لم تفهمه والحديث يفسر بعضه بعضا
“Hadits itu kalau belum kamu kumpulkan semua jalurnya maka kamu tidak akan paham, hadits itu saling menafsirkan satu sama lain.”
(Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami’, karya Al-Khathib Al-Baghdadi jilid 2 hal. 212).
Akibat tidak menelusuri semua jalur dan hadits-hadits yang membahas bab yang sama, maka ada segolongan orang tersesat sehingga menyamakan pemimpin sekuler yang memang mengganti hukum syariat dengan hukum jahiliyyah termasuk pemimpin yang harus ditaati dalam hadits-hadits ini. Itu karena kejahilan dan keteledoran mereka yang kurang teliti, termasuk kurang teliti menelaah kalam ulama tentang berlakunya mafhum mukhalafah pada hadits-hadits tersebut.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
5 Agustus 2024