Dalam satu bulan ini Agustus-September 2024 negeri ini dikejutkan oleh dua kasus pemerkosaan disertai pembunuhan. Pertama di Palembang, kedua di Pariaman. Pelaku di Palembang telah ditangkap tapi terancam hukuman ringan karena masih di bawah umur padahal korbannya ditemukan tewas. Sementara di Pariaman korban juga ditemukan tewas terkubur tanpa pakaian, tapi belum diumumkan -sampai tulisan ini dibuat- apakah ada tanda pemerkosaan atau pelecehan seksual, serta pelaku sampai tulisan ini dibuat juga belum berhasil ditangkap.
Sebelumnya terjadi pencabulan diakhiri pembunuhan terhadap anak 9 tahun di Bekasi oleh kakek-kakek. Yang paling keji adalah kasus Yuyun tahun 2016 di Rejang Lebong Bengkulu, di mana gadis SMP ini diperkosa dan dibunuh oleh sepuluh orang sepulang sekolah dan mayatnya ditemukan mengenaskan.
Sebenarnya masih banyak lagi beberapa kasus pemerkosaan disertai pembunuhan yang terjadi di negeri ini, sementara pelaku hanya mendapatkan hukuman sekian tahun penjara dan jarang yang dihukum mati.
Hukuman yang mereka terima malah hanya penjara yang menyebabkan negara harus menanggung makan mereka selama sekian tahun. Belum lagi biaya untuk penjara yang menyedot dana APBN yang tak lain didapatkan dari pajak rakyat termasuk pajak keluarga korban. Sungguh ironi dan tak adil.
Lalu bagaimana dengan hukuman pemerkosa dalam syariat Islam?
Pemerkosaan adalah kejahatan yang sangat keji bahkan bisa dianggap lebih keji daripada pembunuhan biasa. Korban akan merasa tersiksa seumur hidup dan mengalami trauma berkepanjangan. Maka secara logika dan perasaan harus ada hukuman setimpal untuk pelaku yang bisa menimbulkan efek jera sehingga tak akan mudah ditemukan lagi kasus serupa dalam rentang waktu yang sangat lama.
Syariat Islam telah meletakkan dasar hukuman bagi kejahatan pemerkosaan. Dengan dasar inilah sebuah undang-undang harus disusun dan tidak boleh keluar dari batas minimal dasar itu. Yang kami maksud batas minimal adalah ketika para ahli fikih berbeda pandangan jenis hukuman apa yang tepat diterapkan untuk pemerkosa maka kita cari pendapat yang paling ringan dari mereka adalah had (hukuman)nya disamakan dengan pezina plus denda diyat ataupun yang disebut ursy untuk korban. Ada pula yang mengatakan ditambah lagi mahar mitsl bila telah merusak kemaluan korban.
Ada berbagai rincian madzhab dalam masalah ganti rugi yang harus dibayarkan pelaku kepada korban. Kalau kita mau ambil yang paling ringan saja setidaknya pelaku harus membayar diyat karena penyerangan terhadap satu anggota tubuh penting yaitu kemaluan. Bila memakai madzhab Hanafi dan Hanbali berarti kena satu diyat atau senilai 100 ekor unta yang kalau dirupiahkan bisa mencapai angka 2,5 milyar rupiah. Sementara di Arab Saudi ditetapkan denda pemerkosaan mencapai 80 rb US dollar.
Sebagaimana diketahui bahwa hukuman bagi pezina yang paling ringan adalah kepada yang belum pernah menikah yaitu dicambuk 100 kali di hadapan public dan bila sudah pernah menikah baik masih punya pasangan maupun sudah cerai maka dirajam sampai mati. Menurut mayoritas ulama, bujangan yang berzina selain didera 100 kali ditambah pula dengan pengasingan (taghrib) selama setahun dengan rincian dalam kitab-kitab madzhab.
Itu semua berlaku untuk kasus pemerkosaan paling ringan semisal merayu dan menipu anak di bawah umur, di mana yang seperti ini di beberapa negara yang menerapkan syariat Islam seperti di Arab Saudi termasuk pemerkosaan, sehingga biarpun itu terjadi suka sama suka bila anak perempuannya termasuk di bawah umur maka kasusnya adalah pemerkosaan sehingga yang wanita tidak akan kena hukuman dan dianggap korban. Atau dicekoki minuman keras atau obat terlarang sehingga mau mengikuti kemauan si pria maka ini termasuk pemerkosaan ringan. Bedanya dengan zina adalah kalau dalam zina maka dua-duanya dihukum, sementara kalau pemerkosaan hanya prianya saja yang akan dihukum.
Tapi bila pemerkosaan ini menyebabkan kematian korban atau ada tindakan pembunuhan baik setelah maupun sebelum pemerkosaan maka tentu pelaku akan dijerat paling ringan dengan hukuman qisas plus had zina. Ini menurut pendapat yang paling ringan.
Tapi bila mengambil pendapat yang lebih berat seperti madzhab Maliki yang memasukkan kasus pemerkosaan dengan kekerasan dan pengancaman atau disertai penyergapan adalah had hirabah sesuai surah Al-Maidah ayat 33, berarti pelakunya akan dihukum mati, lalu mayatnya dipertontonkan di alun-alun kota seharian sebelum dikuburkan.
Intinya, dalam fikih jinayah Islam bila ada tindakan penyergapan lalu ada pemerkosaan sampai korban meninggal maka para ulama sepakat hukumannya adalah mati, masuk kategori had hirabah mengambil hukuman terberat dalam surah Al Maidah ayat 33 yaitu dibunuh lalu mayatnya dipancang di kayu salib atau semisalnya dan dipertontonkan ke halayak ramai.
Inilah yang pernah difatwakan oleh Ibnu Al-‘Arabi dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur`an ketika membahas tafsir surah Al-Maidah ayat 33:
وَلَقَدْ كُنْت أَيَّامَ تَوْلِيَةِ الْقَضَاءِ قَدْ رُفِعَ إلَيَّ قَوْمٌ خَرَجُوا مُحَارِبِينَ إلَى رُفْقَةٍ، فَأَخَذُوا مِنْهُمْ امْرَأَةً مُغَالَبَةً عَلَى نَفْسِهَا مِنْ زَوْجِهَا وَمِنْ جُمْلَةِ الْمُسْلِمِينَ مَعَهُ فِيهَا فَاحْتَمَلُوهَا، ثُمَّ جَدَّ فِيهِمْ الطَّلَبُ فَأُخِذُوا وَجِيءَ بِهِمْ، فَسَأَلْتُ مَنْ كَانَ ابْتَلَانِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْمُفْتِينَ، فَقَالُوا: لَيْسُوا مُحَارِبِينَ؛ لِأَنَّ الْحِرَابَةَ إنَّمَا تَكُونُ فِي الْأَمْوَالِ لَا فِي الْفُرُوجِ. فَقُلْت لَهُمْ: إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، أَلَم تَعْلَمُوا أَنَّ الْحِرَابَةَ فِي الْفُرُوجِ أَفْحَشُ مِنْهَا فِي الْأَمْوَالِ، وَأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ لَيَرْضَوْنَ أَنْ تَذْهَبَ أَمْوَالُهُمْ وَتُحْرَبَ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهمْ وَلَا يُحْرَبُ الْمَرْءُ مِنْ زَوْجَتِهِ وَبِنْتِهِ، وَلَوْ كَانَ فَوْقَ مَا قَالَ اللَّهُ عُقُوبَةٌ لَكَانَتْ لِمَنْ يَسْلُبُ الْفُرُوجَ، وَحَسْبُكُمْ مِنْ بَلَاءٍ صُحْبَةُ الْجُهَّالِ، وَخُصُوصًا فِي الْفُتْيَا وَالْقَضَاءِ.
“Sewaktu masih menjadi hakim pernah dibawakan kasus kepada saya di mana muharib mendatangi sekumpulan orang lalu menculik wanita mereka dan berhasil membawanya. Setelah berusaha ditangkap akhirnya mereka berhasil dibawa. Maka saya pun bertanya kepada teman-teman yg biasa berfatwa, “Siapa yg bisa berfatwa ttg status hukum mereka? Mereka menjawab, “Ini bukan muharib,, karena yg dinamakan hirabah itu hanya kalau mencuri harta bukan mencuri wanita.”
Maka kukatakan kepada mereka: “Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun, tidakkah kalian tahu bahwa kemaluan lebih berharga daripada harta? Manusia ini rela hartanya diambil di depannya tanpa perlawanan tapi tak akan diam bila anak dan istrinya diperkosa?! Kalau sekiranya ada hukuman yg lebih dari apa yg telah Allah tetapkan di atas tentu itu cocok untuk kasus pemerkosaan.”
Capek deh berteman dengan orang-orang dungu terutama kalau mereka menjadi mufti dan hakim.”
(Ahkam Al-Qur`an, jilid 2 hal. 70-71, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi cetakan tahun 2000).
Inilah yang kemudian diterapkan di negara yang memberlakukan syariat Islam dalam hukum jinayat atau pidananya seperti Arab Saudi. Hal ini tertuang dalam kepurusan Hai`at Kibar Ulama (Dewan Ulama Besar) pada Keputusan nomor 85 11 Dzul Qa’dah 1401 H:
Berkenaan dengan kasus perampokan, penculikan dengan tujuan mengambil harta, kehormatan:
إن جرائم الخطف والسطو لانتهاك حرمات المسلمين على سبيل المكابرة والمجاهرة من ضروب المحاربة والسعي في الأرض فسادا، المستحقة للعقاب الذي ذكره الله سبحانه في آية المائدة، سواء وقع ذلك على النفس أو المال أو العرض، أو أحدث إخافة السبيل وقطع الطريق، ولا فرق في ذلك بين وقوعه في المدن والقرى أو في الصحاري والقفار، كما هو الراجح من آراء العلماء
“Pidana penculikan, perampokan untuk merampas kehormatan kaum muslimin dengan cara pemaksaan dan terang-terangan termasuk muharabah dan berbuat kerusakan di bumi, sehingga pantas dikenai hukuman yang disebutkan Allah dalam surah Al Maidah. Sama saja apakah itu terjadi pada nyawa, harta, atau kemaluan, atau melakukan tindakan mengusik keamanan serta mencegat di jalanan. Sama saja apakah itu terjadi di kota, perkampungan ataupun di padang pasir tak berpenghuni, atau dalam komplek bangunan sebagaimana pendapat yang rajih.”
Kemudian Dewan mengatakan hukuman diserahkan kepada pihak berwenang untuk memilih dari hukuman yang disediakan di surah Al-Maidah tersebut yaitu, dibunuh, atau disalib, atau dipotong kaki tangan secara selang seling, atau diusir dari negeri selamanya. Tapi bila korban sampai meninggal atau terjadi pembunuhan maka tidak ada pilihan lain kecuali hukuman mati. (Lihat Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi 12 hal. 75-77).
Kasus serupa terjadi di Herat Afghanistan pada era pemerintahan Imarah Islamiyyah Taliban Juli 2024 lalu. Kasus penculikan yang memang marak sejak pemerintahan boneka Amerika sempat masih terjadi di era IEA dan ketika pelaku berhasil ditangkap maka mereka dijatuhi hukuman mati lalu mayatnya digantung di bulldozer diarak keliling kota Herat.
Bila hukuman seperti ini yang diberlakukan insya Allah menimbulkan efek jera sehingga tidak akan ada yang berpikir untuk melakukan tindakan keji pemerkosaan apalagi dengan entengnya membunuh korban seperti yang dilakukan oleh anak-anak remaja di negeri ini, yang makin hari makin menjadi. Enteng sekali mereka membunuh korban seperti membunuh seekor tikus yang mayatnya bisa dicampakkan di jurang seperti pada kasus Yuyun. Ada pula yang ditinggalkan begitu saja setelah diperkosa lalu dengan bangga cerita kepada temannya sudah berhasil memperkosa korban seperti kasus di Palembang, atau dikubur seperti kasus Bekasi dan Pariaman.
Semua ini salah satu sebabnya karena bukan syariat Islam yang diterapkan melainkan hukuman pidana warisan kafir colonial, sehingga mendapatkan hukuman dari Allah sesuai hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda,
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Ketika para pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah dan tidak memilih apa yang diturunkan Allah maka akan terjadi peperangan antar sesama mereka sendiri.”
Terakhir marilah renungkan peringatan Allah dalam Al-Qur`an:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (Qs. Al-Maidah : 50)
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta
16 September 2024