Al-Qurthubi di sini adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr yang terkenal dengan kitab tafsirnya, “Al-Jami’ fii Ahkam Al-Quran” atau yang lebih dikenal dengan nama tafsir Al-Qurthubi. Beliau adalah salah satu ulama tafsir rujukan bermadzhab Maliki dalam fikih. Akan tetapi dalam masalah tauhid asma’ dan sifat Allah, ulama kelahiran Andalusia (Spanyol) tahun 671 H ini beraliran takwil ala asya’irah. Itu semua bisa dilihat dari berbagai kitab beliau.
Namun demikian beliau membuat sebuah pengakuan bahwa dalam masalah ketinggian dan arah atas bagi Allah ternyata memang disepakati para ulama salaf. Mari kita simak penuturannya dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi:
قوله تعالى: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام
وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.
(Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah 1964)
Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa’. Para ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii syarh Asmaa’ Allah Al Husna”, di sana kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan mutaqaddimin dan muta’akhkhirin adalah bahwa Allah Allah harus dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan muta’khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.
Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama) –semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa’ (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu karena dia adalah makhluk Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah (bentuk) istiwa’ (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Asna fii syarh Asma’il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132[1] setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa dia berkata:
“Dan pendapat yang paling jelas adalah –meski aku tidak sependapat dan tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah pendapat semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya sampai kepada mereka.”
Perhatikan baik-baik kalimat Al-Qurthubi di atas. Dengan jelas dia mengakui bahwa penetapan Allah di atas Arsy itu adalah pendapat para ulama salaf. Anehnya, dia tidak menyetujui pendapat itu. Tapi yang penting di sini bukanlah pendapat Al-Qurthubi tapi pengakuannya bahwa itu adalah pendapat ulama salaf. Sehingga, kita tentu dapat memilih siapa yang lebih layak diikuti, Al-Qurthubi ataukah para ulama salafus shalih tersebut.
Anshari Taslim, 21 Oktober 2010.