Looking Melihat Allah Laksana Melihat Bulan Purnama

Looking Melihat Allah Laksana Melihat Bulan Purnama

Oleh: Muhammad Ode Wahyu

Bismillahirrahmanirrahim.

Salah satu nikmat terbesar yang akan didapatkan oleh para penghuni surga pada hari kiamat kelak adalah melihat wajah Allah Azza wajalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa mereka akan melihatnya dengan menggunakan mata kepala mereka sendiri, laksana melihat rembulan saat purnama.

Dalam Sahih al-Bukhari, disebutkan bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ القِيَامَةِ؟ قَالَ: «هَلْ تُمَارُونَ فِي القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ لَيْسَ دُونَهُ سَحَابٌ» قَالُوا: لاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «فَهَلْ تُمَارُونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ» قَالُوا: لاَ، قَالَ: ” فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ

“Wahai utusan Allah, apakah kami akan melihat Tuhan kami pada hari kiamat?” Beliau bersabda, “Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) bulan pada malam purnama, bila tidak ada awan yang menghalanginya?” Mereka menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) matahari, bila tidak ada awan yang menghalanginya?” Mereka menjawab: “Tidak.” Lantas beliau bersabda: “Sungguh kalian akan dapat melihat-Nya seperti itu juga.” (HR Bukhari)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا

“Sesungguhnnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits ini, para ulama sepakat bahwa para penghuni surga akan melihat wujud Allah di surga kelak. Tidak ada yang menyelisihinya melainkan kelompok ahli bid’ah yang sesat.

Para ulama menjelaskan bahwa pada hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyerupakan cara melihat kepada Allah Azza wajalla dengan cara melihat kepada bulan, yaitu dengan menghadap. Dengan kata lain, pandangan manusia akan mengarah pada Allah azza wajalla. Sebab lafal “كما” dalam bahasa arab bermakna tasybih atau penyerupaan.

Akan tetapi, penyerupaan yang disebutkan dalam hadits ini bukanlah penyerupaan Allah dengan rembulan, melainkan penyerupaan cara memandang atau melihat.

Imam as-Safarini rahimahullah berkata:

قال العلماء : كَانَ التَّشْبِيهُ لِلرُّؤْيَا، وَهُوَ فِعْلُ الرَّائِي لَا الْمَرْئِيِّ

“Para ulama berkata, tasybih (penyerupaan) ditujukan untuk “melihat” yang merupakan perbuatan seorang manusia yang melihat bukan penyerupaan terhadap apa yang dilihat.” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 3, hal. 254, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H.)

Beranjak dari hal ini, para ulama meyakini bahwa Allah Azza wajalla akan dilihat oleh manusia dengan menghadap padaNya pada arah atas, sebagaimana manusia melihat rembulan di atas mereka.

Baca Juga:  Jika Tidak Percaya Bahwa Allah Berkalam Dengan Suara

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, setelah menyebutkan dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjadi hujjah bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat, beliau berkata:

فإن كان لما اخبر به الله ورسوله عنه من ذلك حقيقة وان له والله حق الحقيقة فلا يمكن أن يروه إلا من فوقهم لاستحالة إن يروه من أسفل منهم أو خلفهم أو إمامهم أو عن يمينهم أو عن شمالهم

“Jika apa yang dikabarkan oleh Allah dan RasulNya tentang melihat Allah itu merupakan kenyataan, dan sungguh memang benar bahwa hal itu merupakan kenyataan, maka manusia tidak bisa melihatnya melainkan dari atas mereka. Sebab mustahil mereka akan melihatnya dari arah bawah, belakang, depan , kanan atau kiri mereka.”

(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Hadiy al-Arwah Ila Bilad al-Afrah, Tahqiq Zaid bin Ahmad an-Nusyairi, Jilid 2, hal. 714, Daar ‘Aalam al-Fawaid-Makkah, cet. 3, 1437 H.)

Hanya saja, memang benar bahwa ada diantara ulama islam yang namanya sangat populer dengan keluasan ilmunya, seperti Imam an-Nawawi rahimahullah dan imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, yang terpengaruh oleh pemahaman Asya’irah hingga meyakini bahwa Allah Azza wajalla akan dilihat pada hari kiamat dengan mata namun tidak memiliki arah. Dengan kata lain, saat manusia melihatnya di surga tidak menghadap pada Allah. Namun, begitulah, Allah tidak ingin menjadikan kesempurnaanm kecuali pada diriNya sendiri. Sehingga kesalahan bisa terjadi pada siapa saja melainkan diriNya.

Keyakinan bahwa Allah Azza wajalla dapat dilihat dengan tanpa menghadap kepadaNya dan tanpa arah, ditolak oleh para ulama, sebab hal itu bertolak belakang dengan kandungan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyamakan proses melihat Allah sama dengan proses melihat rembulan.

Imam Abu Nashr Ubaidillah as-Sijzi rahimahullah berkata:

إذا قال: إنه يرى بالأبصار لم يجز في العقل أن تكون عن غير مقابلة

“Jika dia (Al-Asy’ari) mengatakan bahwa Allah Azza wajalla akan dilihat dengan menggunakanm mata, maka tidak dipahami oleh akal, kecuali dengan menghadap (kepadaNya).”

(Abu Nahsr Ubaidillah as-Sijzi, ar-Raddu ‘ala Man Ankara al-Harfa wa Ash-Shauth, Tahqiq Muhammad Muhibbuddin Abu Zaid, hal. 72, al-Maktabah al-Umriyyah-Kairo, cet. 1, 1442 H.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

Baca Juga:  Argumentasi Rasional Ahlu Sunnah Atsariyah Tentang Posisi Rasio Dalam Studi Akidah/Teologi (Mengenal Allah) – Bagian Pertama

فَشَبَّهَ الرُّؤْيَةَ بِالرُّؤْيَةِ وَلَمْ يُشَبِّهْ الْمَرْئِيَّ بِالْمَرْئِيِّ؛ فَإِنَّ الْكَافَ – حَرْفَ لتَّشْبِيهِ – دَخَلَ عَلَى الرُّؤْيَةِ. وَفِي لَفْظٍ لِلْبُخَارِيِّ {يَرَوْنَهُ عِيَانًا} . وَمَعْلُومٌ أَنَّا نَرَى الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ عِيَانًا مُوَاجَهَةً فَيَجِبُ أَنْ نَرَاهُ كَذَلِكَ. وَأَمَّا رُؤْيَةُ مَا لَا نُعَايِنُ وَلَا نُوَاجِهُهُ فَهَذِهِ غَيْرُ مُتَصَوَّرَةٍ فِي الْعَقْلِ فَضْلًا عَنْ أَنْ تَكُونَ كَرُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mentasybih sesuatu proses melihat dengan proses melihat, bukan mentasybih sesuatu yang dilihat dengan sesuatu yang dilihat. Sebab huruf “kaf” merupakan huruf yang berfungsi untruk menjelaskan tasybih, yang berkaitan dengan proses melihat. Dalam lafal imam al-Bukhari rahimahullah disebutkan “Melihat dengan mata”. Dan merupakan sesuatu yang telah dipahami bahwa kita melihat matahari dan bulan dengan menggunakan mata dalam keadaan menghadap pada matahari dan bulan itu, maka berarti kita juga melihat Allah seperti itu. Adapun melihat dengan tanpa menghadap maka cara ini tidak dipahami oleh akal, apalagi sebagaimana (penyerupaan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) kita melihat matahari dan rembulan.”

(Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 8, hal. 296, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)

Imam al-Qadhi Ibnu Abi al-Izz rahimahullah berkata:

وَلَيْسَ تَشْبِيهُ رُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِرُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ تَشْبِيهًا لِلَّهِ، بَلْ هُوَ تَشْبِيهُ الرُّؤْيَةِ بِالرُّؤْيَةِ، لَا تَشْبِيهُ الْمَرْئِيِّ بِالْمَرْئِيِّ، وَلَكِنْ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى عُلُوِّ اللَّهِ عَلَى خَلْقِهِ, وَإِلَّا فَهَلْ تُعْقَلُ رُؤْيَةٌ بِلَا مُقَابَلَةٍ؟ وَمَنْ قَالَ: يُرَى لَا فِي جِهَةٍ, فَلْيُرَاجِعْ عَقْلَهُ!!

“(Pada hadits tersebut) bukanlah penyerupaan melihat Allah dengan melihat matahari dan bulan sebagai penyerupaan kepada Allah, akan tetapi penyerupaan proses melihat dengan proses melihat, bukan penyerupaan sesuatu yang dilihat terhadap sesuatu yang dilihat. Justru pada hadits tersebut menjadi dalil akan sifat uluw (Kemaha tinggian) bagi Allah terhadap makhlukNya. Jika bukan demikian, maka masuk akalkah melihat tanpa menghadap? Maka barangsiapa mengatakan bahwa Allah Azza wjalla dilihat dengan tanpa mengarah pada arah, maka silahkan ia memeriksakan akalnya.”

(Ibnu Abi al-Izz, Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, Tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, jilid 1, hal 295, Daar Risalah al-Alamiyah-Damaskus, cet. 2, 1433 H)

Semoga Allah Azza wajalla memberikan kita pemahaman yang baik dan menunjukkan kita semua pada jalan hidayah. Aamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *