Oleh: Ustadz Idrus Abidin, Lc., MA.
Setelah kita mengerti peta perbedaan tentang Kalamullah; baik perbedaan tentang al-Qur’an maupun sebab yang melatarinya, seperti perbedaan tentang cakupan dan batasan ucapan (kalam) serta siapa yang dianggap sebagai pembicara (mutakkalim) yang sebenarnya. Maka kita bisa menyimpulkan alasan-alasan yang dijadikan argumen untuk menolak pandangan kalangan Salaf yang diserukan Ahlu Sunnah Atsariyah. Inti penolakan tersebut secara global seperti berikut:
- Allah tidak memiliki sifat apapun, yang dimiliki olehNya hanya sebatas nama. Karena jika Allah memiliki sifat yang berkategori qadim-azali -seperti layaknya nama-namaNya- berarti di sisi Allah terdapat beragam hal-hal qadim (Ta’addudul Quda’maa) yang berpotensi membuat manusia berkeyakinan syrik terhadap Allah. Sehingga solusinya, menurut mereka adalah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ini alasan penolakan Jahmiyah dan Muktazilah.
- Allah tidak memiliki perbuatan yang bersifat pilihan seperti berbicara, turun (nuzul), bersemayam di atas Arasy (istiwaa) dll, yang kesemuanya sesuai kehendak dan kemampuanNya (sifah ikhtiyariah). Ini argumentasi Asy’ariyah dan Maturidiyah.
- Ucapan jiwa yang disebut Kalam nafsi. Ini juga argumen Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Inti penolakan terhadap sifat pembicaraan Allah (Kalamullah) didasari oleh 2 prinsip berikut:
- Bahwasannya sifat-sifat pilihan (af’al ikhtiyariah) tidak mungkin melekat pada diri Allah, seperti Allah datang (maji’ dan ityan), turun (nuzul), termasuk berbicara (kalam). Yang mana, kesemua itu terjadi sesuai kehendak Allah (masyi’ah). Dari sini timbul lagi prinsip kedua;
- Kalamullah hanyalah makna yang terdapat pada diri Allah yang bernuansa qadim, bukan huruf dan bukan pula suara, serta tidak terkait dengan kehendak Allah. Tapi ucapan itu hanya seperti kehidupan (hayah) dan pengetahuan Allah (‘ilm) sendiri (sifah dzatiyah). Artinya, berbicara itu hanya karakter pribadi (sifah dzatiyah); sama sekali bukan karakter perbuatan (sifah fi’liyah).
Dengan kedua prinsip di atas, mereka tak sadar terjatuh pada konsekwensi rasional buruk terhadap Allah yang tidak mungkin tersembunyi dari kecerdasan orang-orang sportif. Kedua prinsip itu menegaskan bahwa Allah lemah, tidak mampu melakukan apa yang dikehendakiNya. Allah juga dianggap bisu, karena ada sesuatu yang dipendam dalam jiwaNya, yang tidak bisa diungkapkan oleh Allah kecuali melalui isyarat. Padahal, sangat dipahami bahwa kemampuan berbicara dan menjelaskan merupakan identitas kesempurnaan. Sedang sebaliknya, bisu dan lemah dipastikan sebagai kelemahan akut pada diri makhluk, apalagi di sisi Allah. Itulah kenapa Allah mendatangkan bukti nyata tentang ketidakpantasan lembu Bani Israil dianggap sebagai Tuhan akibat ketidakmampuannya menjawab pembicaraan dan tidak bisa pula berkomunikasi secara lisan (QS al-A’raf : 148 dan QS Thaha : 88-89)
Dengan penjelasan global di atas, diketahui bahwa pandangan Asy’ariyah sebagai yang paling dekat dengan pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah memuat hal-hal berikut:
- Bahwasannya tidak mungkin melekat pada diri Allah sifat-sifat yang sesuai kehendakNya, seperti perbuatan yang bernuansa pilihan (af’al ikhtiyariah). Pandangan ini serupa dengan pendapat kaum Muktazilah, hanya saja mereka menafikan sifat pribadi Allah (sifat dzatiyah) sekaligus. Kullabiyah pun senada dengan mereka, karena memang Ibnu Kullab adalah guru imam Asy’ari. Hanya saja, Kullabiyah menetapkan bolehnya perbuatan melekat pada diri Allah dengan menganggapnya qadim, yakni tidak terkait dengan kehendak Allah.
- Bahwasannya al-Qur’an hanyalah ungkapan jiwa yang bersifat qadim-azali, yang tidak terkait dengan kehendakNya. Ini juga pengaruh Ibnu Kullab yang diikuti pendapatnya oleh imam Asy’ari. As-Salimiyah juga sepakat dengan mereka dengan menegaskan qadimnya ucapan disertai penegasan terhadap huruf dan suara. Sehingga Kalamullah menurut As-Salimiyah ini adalah gabungan antara huruf dan suara yang qadim; baik jenisnya maupun bagian-bagiannya. Inti dan konsekwensi pendapat ini adalah bahwa Allah senantiasa berkata, “Wahai Adam, wahai Nuh, wahai Musa…” dan ucapan-ucapan serupa yang pernah diungkapkan oleh Allah.
Tentu pendapat ini mengandung nada penghinaan terhadap Allah karena menisbatkan kelemahan pada diriNya. Yaitu, bagaimana mungkin Allah berbicara pada zaman azali kepada makhluk yang belum tercipta. Apa mungkin Allah sejak azali berkata, “Wahai Adam….” sementara Adam sendiri dll belum tercipta. Belum lagi, pendapat ini bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan as-Sunnah yang memuat informasi bagaimana Allah mengingkari beberapa hamba-hambaNya. Di samping itu, pendapat ini juga bertentangan dengan rasio mendasar ; sehingga hal demikian tidak termasuk kesempurnaan.
Mereka semua yang menafikan terjadinya sifat pada diri Allah yang sesuai kehendakNya (sifah ikhtiyariah) mengidap penyakit syubhat lain, berupa prinsip bahwa tidak pantas terjadi pada diri Allah hal-hal baru (mahallul hawadits). Syubhat ini kami jawab bahwa:
- Terjadinya hal-hal baru (hulul hawadits) merupakan istilah umum yang tidak pernah dipertimbangkan syari’at; tidak dinafikan dan tidak pula ditegaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga ungkapan itu termasuk istilah baru yang mengandung makna baik dan makna buruk sekaligus.
- Istilah ini termasuk ucapan global yang mengandung makna baik dan makna buruk sekaligus. Jika yang dimaksudkan adalah bahwasanya tidak ada makhluk yang melekat pada diri Allah, tentu maknanya benar. Karena Allah memang berbeda dengan makhlukNya. Jika yang dimaksudkan adalah bahwa perbuatan yang bersifat pilihan tidak terjadi pada diri Allah sesuai kehendakNya, maka Ini makna batil. Karena ini menafikan informasi yang disampaikan oleh Allah tentang diriNya dan berita yang diinformasikan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam secara global maupun secara detail. Seperti firmanNya:
- Yaf’alu maa yasyaa (Dia melakukan apapun yang dikehendaki),
- Waja’a rabbuka (sungguh Tuhanmu telah datang).
- Yaqulu lahu Kun fayakun (Allah berkata, jadilah maka terjadilah) QS Al-Baqarah ayat 177.
- Fasayarallahu amalakum warasuluhu (Nanti Allah dan rasulNya akan melihat perbuatan dan karya kalian) QS at-Taubah ayat 105.
- Kulla yaumin huwa Fii sya’an (setiap saat Dia sibuk) QS ar-Rahman ayat 29.
Juga sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, yanzilu rabbunaa kulla lailah (Tuhan kita senantiasa turun tiap malam…). Demikian pula hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwasannya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam shalat jama’ah bersama para sahabatnya di Hudaibiyah di bawah teduhnya langit malam. Kemudian beliau bertanya,
“Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Allah tadi malam ?,” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dia beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binau’i kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan itu), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari 486, Muslim 240 dan yang lainnya).
Semua itu adalah dalil yang sangat jelas mendukung kesimpulan Ahlu Sunnah Atsariyah seputar Kalamullah. Tapi oleh kelompok teologis lain, dalil-dalil itu ditakwil dan dirubah pemaknaannya secara maksimal sesuai dengan syubhat rasional yang membelit jiwa mereka.
Termasuk syubhat Rasional yang dijadikan alasan untuk menolak karakteristik pilihan dari Allah adalah tidakbolehnya ada rangkaian kejadian baru pada diri Allah (tasalsul al-Hawadits). Pandangan ini berawal dari kelompok Jahmiyah yang mengatakan, sungguh berlangsungnya kejadian baru termasuk perkara yang tidak mungkin terjadi. Seharusnya setiap kejadian baru pasti ada awalnya, karena tidak mungkin ada peristiwa baru tanpa dimulai dari pencetus awal. Jadinya, Allah tidak mungkin tetap berbuat dan berbicara sesuai kehendakNya. Bahkan, tidak mungkin pula Allah mampu melakukan hal tersebut.
Pendapat ini termasuk pandangan batil. Karena Ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak mungkin terjadi padahal nyata kejadiannya. Sesuatu yang baru setelah tadinya belum ada, tentu masuk kategori “mungkin” terjadi. Kemungkinan ini tidak terbatasi oleh waktu. Artinya, tidak ada waktu yang ditetapkan kecuali pasti “kemungkinan” terjadinya sesuatu itu jelas berlaku. Sehingga kemungkinan, kebolehan dan sahnya suatu perbuatan terjadi tidak memiliki awal yang menjadi asal muasalnya. Dengan analisa rasional seperti ini, maka dipastikan perbuatan masih tetap boleh, berpeluang dan sah terjadinya. Konsekwensinya, Allah senantiasa mampu melakukan suatu perbuatan. Sehingga memungkinkan pula adanya rangkaian kejadian yang tidak memiliki ujung pangkal pencetusnya (laa Nihayah liawwaliha). Itulah perbuatan Allah yang sesuai kehendak dan kemampuanNya.
Catatan tambahan:
- Berdasarkan sejarah pemikiran, orang pertama yang menolak Kalamullah (pembicaraan Allah) dan menganggapnya sebagai makhluk adalah Ja’ad bin Dirham pada awal abad ke-2 Hijriah. Sehingga Khalid bin Abdullah selaku Amir di wilayah Iraq ketika itu menyembelih Ja’ad bin Dirham sebagai “qurban” di hari raya idul Adha setelah beliau bermusyawarah dengan kalangan ulama senior seperti Hasan Basri dll. Pada hari raya idul Adha, Khalid naik mimbar sambil berceramah, “Wahai para kaum muslimin, berqurbanlah – semoga Allah senantiasa menerima qurban kita semua- sungguh saya qurbankan Ja’ad bin Dirham. Dia meyakini Allah tidak menjadikan nabiyullah Ibrahim sebagai teman (Khalil) dan tidak pula berbicara dengan nabi Musa alaihissalam”. Lalu beliau turun dari mimbar dan menyembelih Ja’ad bin Dirham.
- Termasuk jawaban telak terhadap anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, baik yang dikatakan oleh Jahmiyah dan Muktazilah secara langsung, ataupun konsekwensi dan substansi pendapat kalangan Maturidiyah dan Asy’ariyah yang berujung pada kemakhlukan al-Qur’an, adalah kenyataan bahwa Allah senantiasa meminta kita berlindung (isti’adzah) dengan firman-firmanNya. Seandainya firman itu makhluk, tentunya kaum muslimin dilarang berlindung dengan Kalamullah tersebut.
عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةَ رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ: ((أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ)) لَمْ يَضُرَّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ … رواه مسلم.
Dari ‘Khaulah bintu Hakim as-Sulamiyyah rahimahullah beliau berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang singgah/menempati suatu tempat lalu dia membaca (dzikir) “ A’ûdzu bikalimâtillâhit tâmmâti min syarri ma khalaqa “ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari kejahatan yang ada pada makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang akan mengganggu/membahayakannya sampai dia pergi dari tempat itu”. (HR Muslim, no. 2708).
Demikianlah ringkasan jawaban Ahlu Sunnah Atsariyah seputar syubhat rasional yang menimpa Kalamullah. Semoga dengan memahami masalah ini kita menyadari betapa dalam pengaruh rasio membelit al-Qur’an dan as-Sunnah dalam bidang ilmu Kalam sehingga terus direduksi dengan beragam takwil, tahrif dan ta’thil. Atas dasar realitas seperti ini, Ahlu Sunnah Atsariyah mengajukan proposal reformasi pemikiran dan “manhaj” agar al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ bisa berbicara apa adanya tanpa setumpuk pencemaran logika sempit yang dihasilkan oleh ilmu Kalam di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Termasuk rangkaian pembahasan seputar Kalamullah ini yang memuat serial:
- Seputar Kalamullah Menurut Persfektif Ahlu Sunnah Atsariyah, bisa klik di sini.
- Syubhat Rasional Seputar Kalamullah, bisa klik di sini.
- Sebab dan Alasan Timbulnya Syubhat Rasional Seputar Kalamullah. bisa klik di sini.
- Jawaban Ringkas Terhadap Syubhat Rasional Seputar Kalamullah. Status yang sedang kita bahas ini.
Wallahu a’lam.
Depok, 25 Juli 2020 (Sabtu, 5 Zulhijjah 1441 Hijriah)