Pasal: Adapun hijrah di masa kita (masa Al-Mawardi tahun 972 M – 1058 M) dikhususkan untuk orang yang masuk Islam di negeri harb (kafir harbi) agar hijrah dari sana ke negeri Islam, dan bukan untuk negeri Al-Imam (negeri induk yang sudah Islam).
Keadaannya ada lima kemungkinan:
Kemungkinan Pertama, dia mampu untuk mempertahankan diri di negeri kafir harbi itu dengan memisahkan diri (dari orang kafir dalam hal identitas –penerj) serta sanggup untuk mendakwahkan Islam (kepada kafir) dan mampu pula untuk mengangkat senjata (menghadapi kemungkinan serangan dari kafir negeri tersebut –penerj) maka yang seperti ini WAJIB tetap tinggal di negeri harb, karena dengan islamnya dia serta terpisahnya kehidupannya (dari orang kafir) menyebabkan tempat tinggalnya itu menjadi Dar Islam (negeri islam). Wajib pula baginya untuk mendakwahi orang kafir masuk Islam semampunya baik dengan diskusi maupun dengan perang.
Kemungkinan Kedua, dia mampu bertahan dan menghindar tapi tidak mampu menyeru dan berjihad, maka dalam keadaan ini dia wajib bertahan dan tidak boleh hijrah. Karena dengan menghindar negerinya tetap akan jadi negeri Islam, tapi kalau dia keluar maka negerinya akan kembali menjadi negeri harbi. Dalam hal ini dia tidak wajib menyeru dan berperang karena tidak mampu.
Kemungkinan Ketiga, Dia mampu bertahan tapi tak mampu menghindar juga tak mampu berdakwah dan berperang. Dalam hal ini dia tidak wajib tetap tinggal, karena negaranya tidak menjadi negara Islam, tapi dia juga tidak wajib hijrah karena dia masih bisa bertahan. Kemungkinan ini punya tiga kondisi:
- Ada harapan bangkitnya Islam dengan tetap tinggalnya dia di negeri itu, maka dalam kondisi ini dia lebih baik tetap tinggal daripada hijrah.
- Dia berharap bisa membantu kaum muslimin dengan hijrahnya maka dalam hal ini dia lebih baik hijrah.
- Sama saja keadaannya Ketika dia hijrah maupun tetap tinggal, maka dia bebas memilih antara hijrah dan tetap tinggal.
Kemungkinan Keempat, dia tidak mampu bertahan tapi mampu untuk hijrah, maka dia wajib berhijrah dan jadi berdosa kalau tetap memilih tinggal. Dalam kondisi inilah berlaku sabda Rasulullah ﷺ “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal bersama orang kafir.” Beliau ditanya, “Kenapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tak terlihat api mereka.” Maksudnya, pandangan mereka tidak akan ketemu. Beliau mengungkapkan pandangan itu dengan api karena keduanya sama-sama dijadikan alat penerangan.
Ini juga seperti apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Jangan kalian minta penerangan dgn api orang musyrik ”Maksudnya jangan minta pendapat mereka.”
Kemungkinan kelima, dia tidak mampu bertahan tapi juga lemah untuk hijrah. Maka dalam hal ini gugur kewajibannya untuk hijrah lantaran kelemahannya. Dia boleh mempertahankan diri dgn menampakkan kekufuran tapi tetap Islam di sisi keyakinan dan tetap melaksanakan syariatnya. Sedangkan orang yg mampu hijrah tak boleh menampakkan kekufuran karena dia tidak dalam kondisi terpaksa. Berbeda dengan yang tak mampu hijrah, karena dia terpaksa. Maka kewajiban hijrah tetap ada bagi orang yang aman di dalamnya selama negeri syirik masih ada.
Perhatikan di sini: Al-Mawardi menegaskan aturan hijrah ini khusus dari negeri harbi ke negeri muslim bagi orang yg kebetulan masuk Islam di negeri itu. Sedangkan negeri yg asalnya sudah muslim lalu direbut paksa oleh kafir harbi maka tak ada jalan hijrah darinya kecuali jihad sampai mati, sebagaimana dinashkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fikih dalam bab jihad difa’i atau daf’u ash-sha`il. Insya Allah nanti akan menyusul pembahasannya.
