Fatwa Haramnya Menyerahkan Muslim Kepada Pemerintah Zalin untuk Dihukum Secara Zalim

Fatwa Haramnya Menyerahkan Muslim Kepada Pemerintah Zalim untuk Dihukum Secara Zalim

Prof. Dr. Fahdl bin Abdullah Murad.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Membalas para pelaku kezaliman; Yang memerintahkan agar kita berloyalitas kepada orang-orang beriman, menolong mereka, dan melindungi mereka.

Dan Dia melarang kita dalam kitab-Nya yang mulia untuk berloyalitas kepada orang-orang zalim atau condong kepada mereka.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi yang mulia, kepada keluarga beliau, dan seluruh sahabatnya; sebaik-baik manusia dalam menjaga kehormatan, melindungi yang tertindas, memadamkan kezaliman, meruntuhkan bangunan dan kekuasaannya, serta memperingatkan dari perbuatan zalim dan kedekatan dengannya.

Amma ba‘d:

Sesungguhnya darah dan kehormatan seorang Muslim itu terjaga (haram dilanggar). Dan apabila ia melarikan diri menuju negeri kaum Muslimin, maka wajib bagi negara itu untuk menolong dan melindunginya, atau paling tidak menyampaikannya ke tempat aman jika mereka tidak mampu.

Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para ulama—yang memutuskan hukum dengan benar dan adil—tentang masalah ini.

Adapun menyerahkan seorang Muslim kepada pihak yang menuntutnya dari kalangan para pelaku kezaliman, kebengisan, kejahatan, dan kerusakan di bumi, maka hal itu termasuk dosa besar yang sangat fatal, kemungkaran besar, dan kerusakan yang amat dahsyat.

Bagaimana mungkin seorang Muslim menyerahkan Muslim lain kepada orang yang zalim, perusak di bumi, dan pelaku kejahatan yang akan menodai kehormatan, darah, dan hartanya?

Ini jelas merupakan bentuk kerja sama dalam kezaliman, agresi, dan kerusakan di bumi. Dan hal itu secara pasti diharamkan, tanpa keraguan dan tanpa perbedaan pendapat di antara para ulama.

Dalil-Dalil Pengharamannya

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mengharamkan tindakan ini mencapai tingkat kepastian; dalil-dalil itu menggoncangkan hati, membuat tubuh bergetar, dan menegakkan bulu roma.

Berikut aku sebutkan tujuh belas sisi, dalil, dan hujjah dari bukti-bukti yang jelas:

  1. Termasuk kaidah besar syariat yang terjaga adalah keharaman darah, kehormatan, dan harta seorang Muslim

Dan hal ini merupakan perkara ma‘lûm minad-dîn bidh-dharûrah (diketahui secara pasti dalam agama).

Nabi ﷺ bersabda:

“Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram: darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” — HR. Muslim, dari Abu Hurairah

Dan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim (lafaz Bukhari no. 1739):

Bahwa Rasulullah ﷺ berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr, lalu bersabda:

“Wahai manusia, hari apakah ini?”

Mereka menjawab: “Hari yang suci.”

Beliau bersabda: “Negeri apakah ini?”

Mereka menjawab: “Negeri yang suci.”

Beliau bersabda: “Bulan apakah ini?”

Mereka menjawab: “Bulan yang suci.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana sucinya hari ini, di negeri ini, pada bulan ini.”

Beliau mengulanginya berkali-kali, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata:

“Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?”

Lalu Ibnu Abbas berkata:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ini adalah wasiat beliau kepada umatnya: hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.”

Hadis ini adalah dasar besar dalam Islam yang menjaga dan melindungi umat.

Maka siapa yang menyerahkan seorang Muslim yang aman kepada seorang zalim, ia telah membuka diri kepada kemurkaan dan laknat Allah.

Tindakannya itu adalah penentangan terhadap kaidah-kaidah besar ini yang mengharamkan darah, kehormatan, dan harta kaum Muslimin.

Dan penyerahan itu hakikatnya adalah menghancurkan kehormatan, darah, dan harta saudaranya, yang merupakan bentuk dosa besar paling berbahaya yang dilarang tegas oleh syariat.

  1. Islam mewajibkan perlindungan terhadap orang yang meminta perlindungan, bahkan jika ia dari kalangan orang kafir; dan mewajibkan mengantarkannya ke tempat aman, bukan menyerahkannya

Allah Ta‘ala berfirman:

“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia hingga ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” — QS. At-Taubah:6

Ayat ini menetapkan dua kewajiban:

  1. Memberinya perlindungan dan memperdengarkan kepadanya Al-Qur’an.
  2. Mengantarkannya ke tempat yang aman.

Itu berlaku bagi seorang musyrik. Maka bagaimana lagi dengan seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir?

Ayat ini merupakan nash muhkam (tegas dan tidak mansukh), termasuk bagian dari ayat-ayat terakhir yang turun, sehingga tidak ada penghapus atau pembatalnya.

Dalam Tafsir at-Tahrîr wat-Tanwîr karya Ibnu ‘Asyur (10/119) disebutkan:

“(Al-ma’man) adalah tempat aman, yaitu tempat di mana orang yang meminta perlindungan mendapatkan keamanan sebelumnya, yaitu negeri kaumnya, di mana tidak ada seorang pun yang mampu menyakitinya.”

Aku (penulis) berkata dalam Al-Muqaddimah fi Fiqh al-‘Ashr (1/291):

“Mengantarkannya ke tempat aman berarti memberikan jaminan keamanan baginya, baik di dalam negara, atau ke lokasi yang ia minta untuk dituju, karena keumuman lafaz ayat.”

Dan dalam kitab yang sama (1/291):

“Mereka (para pencari perlindungan) harus dipindahkan melalui jalur yang aman hingga tiba di tempat aman mereka, sebagaimana firman Allah: ‘kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya’, karena mereka berada dalam jaminan keamanan.”

Dalam Al-Muqaddimah fi Fiqh al-‘Ashr (2/703):

**“Hak suaka politik pada asalnya dijamin bagi setiap manusia. Allah berfirman: ‘Dan jika salah seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu…’ (At-Taubah: 6). Ini adalah nash tentang wajibnya memberikan perlindungan bagi siapa pun yang memintanya, bahkan jika ia musyrik. Ini mencakup hak suaka politik.

Dan puncaknya adalah firman-Nya: ‘kemudian antarkanlah dia ke tempat aman baginya’. Ini merupakan bentuk keamanan dan penjagaan terbaik bagi seorang pengungsi. Ia tidak boleh diserahkan kepada negeri yang darinya ia melarikan diri, tetapi harus diantarkan ke tempat aman di mana pun lokasinya. Tempat aman itu diketahui berdasarkan pengakuannya sendiri, karena biasanya seseorang lebih tahu tempat yang aman baginya. Tempat aman itu bisa berada dalam negara, atau sebagian wilayahnya, atau negeri lain di dunia. Semua itu wajib disediakan bagi orang yang meminta perlindungan, sekalipun ia seorang kafir.”**

  1. Telah tetap dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya.”

Dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa menghilangkan satu kesulitan dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” — HR. Bukhari 2442, 6951; Muslim 6670

Dari hadis ini dipahami bahwa siapa pun yang menyerahkan seorang Muslim kepada orang zalim yang akan menodai kehormatan dan darahnya, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi perintah keduanya, membantu orang-orang zalim, dan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bârî (5/97):

**“Sabda beliau: ‘Tidak menzaliminya’ adalah kalimat berita yang bermakna perintah, karena menzalimi Muslim adalah haram.

Sabda beliau: ‘dan tidak menyerahkannya’ maksudnya tidak membiarkannya bersama orang yang menyakitinya, atau dalam keadaan yang menyakitinya, tetapi harus menolong dan melindunginya.”**

Baca Juga:  Fiqih Puasa Ramadhan

Ibnu al-Atsir mengatakan dalam Jâmi‘ al-Ushûl (6/561):

“(Tidak menyerahkannya) maknanya: Ia tidak membiarkannya tanpa perlindungan sehingga musuhnya bisa membinasakannya.”

Ibnu Hazm menjelaskan bentuk-bentuknya dalam Al-Muhalla (4/282):

“Siapa yang membiarkan saudaranya kelaparan atau telanjang—padahal ia mampu menolongnya—maka ia telah ‘menyerahkannya’.”

Aku (penulis) berkata:

Siapa yang menyerahkan seorang Muslim kepada para penindas, maka ia telah menyerahkannya bukan hanya kepada rasa lapar dan telanjang, tetapi kepada pembunuhan, kebinasaan, penyiksaan, kelaparan, penelanjangan, dan penodaan kehormatan.

Dan dosanya melekat pada lehernya hingga hari kiamat.

  1. Allah memerintahkan untuk berloyalitas kepada kaum beriman dalam banyak nash yang sangat tegas, baik secara ilmu maupun amal

Dan menyerahkan seorang Muslim kepada para pelaku kezaliman dan agresi merupakan bentuk pemutusan hubungan, kezaliman, pengkhianatan, kerusakan, dan pembatalan kewajiban wala’ kepada kaum beriman.

Hal ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang rusak integritasnya, condong kepada para pelaku kezaliman, serta telah melepaskan diri dari prinsip-prinsip utama iman.

  1. Di antara kaidah besar dalam syariat adalah kewajiban menepati janji dan haramnya berkhianat, karena khianat termasuk dosa besar yang membinasakan

Dalam permasalahan ini, dosa khianat menjadi semakin besar karena besar pula perkara yang terkait dengannya. Dalam kasus ini, khianat berarti menumpahkan darah Muslim, merusak kehormatannya, menghilangkan nyawanya, dan menodai kemuliaannya.

Khianat adalah sifat orang-orang munafik—na‘udzubillāh. Maka siapa yang berkhianat kepada seorang Muslim, ia telah menyerupai orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan bahwa khianat adalah salah satu dosa besar. Menjauhi dosa besar adalah kewajiban setiap Muslim; dan membunuh jiwa termasuk dosa besar, begitu pula menyerahkan seorang Muslim kepada siapa yang akan membunuhnya.

Perhatikan firman Allah dalam surah An-Nisā’:

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.

Dan barang siapa melakukan hal itu secara melampaui batas dan aniaya, niscaya Kami akan memasukkannya ke dalam neraka. Dan itu mudah bagi Allah.

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang atas kalian, pasti Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia.” — QS. An-Nisā’:29–31

Maka pembunuhan jiwa adalah sesuatu yang diharamkan Allah. Setelah itu Allah memperingatkan dari dosa-dosa besar dan ancamannya. Karena itu, setiap Muslim wajib menjauhi diri sejauh-jauhnya dari dosa besar, terutama yang terkait dengan nyawa, kehormatan, darah, dan harta.

Adapun seorang penguasa, tanggung jawabnya lebih besar daripada Muslim biasa karena ia memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang. Maka betapa besarnya bencana yang akan menimpanya pada hari ketika para saksi ditegakkan, apabila ia menjadi sebab terbunuhnya seorang Muslim dengan menyerahkannya kepada orang zalim yang akan membunuhnya atau menodai kehormatannya.

  1. Para ulama menegaskan bahwa menakut-nakuti seorang mukmin adalah dosa besar

Al-Munāwī berkata dalam Faydh al-Qadīr:

“Menakut-nakuti seorang Muslim adalah haram, dengan keharaman yang sangat keras.”

Ibn Hajar al-Haytamī dan yang lainnya menegaskan bahwa tindakan menakut-nakuti termasuk dosa besar.

Dalam Syarh an-Nawawī ‘ala Muslim (16/170), saat menjelaskan hadis Nabi ﷺ:

“Barang siapa mengarahkan besi kepada saudaranya, maka malaikat melaknatnya, meskipun ia adalah saudaranya seayah-seibu.”

An-Nawawī berkata:

“Hadis ini menegaskan kehormatan seorang Muslim dan larangan keras menakut-nakutinya atau melakukan sesuatu yang dapat menyakitinya. Ungkapan ‘meskipun saudaranya seayah-seibu’ merupakan bentuk penekanan bahwa larangan ini berlaku terhadap siapa pun, baik yang dicurigai maupun tidak, dan baik dilakukan dengan serius atau bercanda, karena menakut-nakuti seorang Muslim itu haram dalam segala keadaan.”

Dan diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi ﷺ pernah dalam satu perjalanan, lalu salah seorang dari mereka tertidur. Sebagian sahabat mengambil tali miliknya sehingga ia terkejut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim lainnya.” — HR. Abu Dawud dan Ahmad – sahih

Jika menakut-nakuti dalam masalah sepele saja tidak halal, maka bagaimana dengan orang yang menakut-nakuti seorang Muslim dengan ketakutan yang sangat besar, membelenggunya, dan menyerahkannya kepada orang yang tidak mengenal kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran?

Demi Allah, ini adalah bentuk ketakutan paling besar dan paling keji.

Barang siapa menakut-nakuti seorang Muslim, Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia dan di akhirat, karena itu adalah bentuk kezaliman dan kesombongan di bumi. Allah berfirman:

“Kesombongan di bumi dan makar yang buruk itu tidak akan menimpa kecuali pelakunya sendiri…” — QS. Fāthir:43

Memperlakukan seorang pencari suaka yang datang ke negeri Muslim dengan cara ditangkap lalu dikirim kepada orang zalim adalah bentuk kesombongan di bumi dan makar yang buruk—dan makar buruk hanya akan menimpa pelakunya.

Ibn ‘Āsyūr menjelaskan bahwa balasan bagi pelaku makar adalah sunnatullah yang berlaku di alam ini:

“Karena perlakuan-perlakuan buruk seperti ini pada akhirnya akan menghancurkan rasa saling percaya di antara manusia… dan Allah tidak menyukai kerusakan.” — At-Tahrīr wat-Tanwīr, 22/335

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya di dunia—selain yang disimpan untuk akhirat—daripada kezaliman dan memutus tali silaturahmi.” — HR. Tirmidzi – hasan sahih

Aku katakan: Menyerahkan seorang Muslim kepada orang yang akan menzaliminya dan menodai kehormatannya adalah salah satu bentuk kezaliman terbesar, bentuk pemutusan persaudaraan Islam, penghianatan terhadap prinsip wala’–bara’, serta sifat hina yang hanya melekat pada seorang munafik yang tidak memiliki bagian dari akhlak mulia.

  1. Allah mewajibkan jihad bagi Muslim yang mampu untuk menolong kaum yang tertindas

Allah berfirman:

“Mengapa kalian tidak berperang di jalan Allah dan untuk (menolong) orang-orang yang tertindas dari kalangan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, keluarkan kami dari negeri ini yang penduduknya zalim.’” — QS. An-Nisā’:75

Menolong kaum tertindas, bahkan sampai berperang apabila mampu, adalah tujuan syariat. Maka dari itu, betapa nekat dan lancangnya seseorang yang justru menyerahkan kaum tertindas kepada orang-orang zalim. Sungguh ia sangat berani melawan hukum syariat dan melawan Allah.

  1. Seorang Muslim yang memasuki negeri Muslim berada dalam perlindungan negara itu, dan pemberian visa adalah bentuk jaminan keamanan

Terlebih lagi bila ia melarikan diri dari orang zalim yang merusak di bumi—sebagaimana kasus ini. Jika negara Muslim memberi visa kepada seorang kafir, baik yang memerangi maupun tidak, maka ia berada dalam keamanan; maka bagaimana lagi dengan seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir?

Para ulama telah sepakat bahwa ungkapan seperti “tidak apa-apa” termasuk pemberian keamanan (amān).

Ibn Qudāmah berkata dalam Al-Mughnī (13/193):

“Umar berkata kepada Al-Hurmuzān: ‘Bicaralah, tidak apa-apa bagimu.’

Setelah ia berbicara, Umar memerintahkan untuk membunuhnya. Maka Anas bin Malik berkata: ‘Tidak boleh bagimu melakukan itu; engkau telah memberinya keamanan.’

Umar berkata: ‘Tidak.’

Zubair berkata: ‘Engkau telah berkata kepadanya: Bicaralah, tidak apa-apa bagimu.’

Maka Umar mengurungkan hukuman itu.”

Tidak ada perselisihan di antara ulama mengenainya.

Demikian pula, isyarat yang dipahami sebagai keamanan adalah jaminan keamanan dan tidak boleh dikhianati.

Ibn Qudāmah berkata dalam Al-Mughnī (13/194):

Baca Juga:  Mertua Tiri Mahram atau Bukan?

“Jika seorang Muslim memberi isyarat yang dipahami musuh sebagai keamanan, lalu ia berkata: ‘Aku maksudkan itu sebagai keamanan,’ maka itu adalah keamanan.

Jika ia berkata: ‘Aku tidak berniat demikian,’ maka ucapannya diterima karena ia lebih mengetahui niatnya.

Namun apabila musuh keluar dari benteng atas dasar isyarat itu, maka tidak boleh membunuh mereka; mereka harus dikembalikan ke tempat aman.”

Umar berkata:

“Demi Allah, seandainya salah seorang dari kalian memberi isyarat dengan jarinya ke langit kepada seorang musyrik, lalu ia turun atas dasar merasa aman, lalu kalian membunuhnya, niscaya aku akan membunuh orang itu sebagai balasannya.”

Oleh karena itu, visa yang diberikan oleh negara adalah jaminan keamanan yang sah, termasuk dalam dalil-dalil ijma’, praktik para sahabat, dan putusan Umar.

Maka haram mengkhianatinya dan haram mengingkari keamanan tersebut.

Menyerahkan seseorang yang telah diberi keamanan berarti pengkhianatan, kefajiran, dan kejahatan; dan siapa pun yang melakukannya menanggung dosa dan tanggung jawab pidana atas tindakan itu.

  1. Khianat terhadap Ahlul Dhimmah, orang yang berperjanjian, atau yang diberi jaminan keamanan adalah dosa besar

Hal ini berlaku pada orang kafir, lalu bagaimana dengan seorang Muslim yang tertindas dan meminta perlindungan kepada saudaranya?!

  1. Dalam hadis Bukhari no. 1870 dan Muslim (Hajj 1370) disebutkan:

“Perlindungan (dhimmah) semua Muslim itu satu, dijaga oleh yang paling rendah di antara mereka. Barang siapa yang mengkhianati seorang Muslim, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya setara pembayaran atau penggantian.”

Aku katakan: Tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa menyerahkan seorang Muslim sama dengan pengkhianatan terbesar. Barang siapa melakukannya, maka laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia menimpanya.

  1. Mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa pembunuhan dengan sengaja termasuk beberapa bentuk

Salah satunya adalah “menyebabkan kematian,” yang termasuk pembunuhan sengaja yang menuntut qisas. Ibn Qudamah dalam Al-Mughni (11/450) mengatakan:

“Jenis keempat: melemparkannya ke dalam bahaya.”

Ia menyebutkan banyak contoh, termasuk melemparnya kepada binatang buas. Jika demikian, bagaimana dengan menyerahkan seorang Muslim yang dibelenggu kepada pembunuh zalim?

Ini jelas pembunuhan sengaja yang menuntut qisas, dan darah, kehormatan, serta hartanya akan menjadi tanggungan orang yang menyerahkannya kepada orang zalim itu di hari kiamat.

Dalam masalah seseorang menahan orang lain hingga terbunuh, Ibn Qudamah (Al-Mughni, 11/596) berkata:

“Tidak ada perselisihan bahwa pembunuh harus dibunuh, karena ia membunuh dengan sengaja tanpa hak. Adapun orang yang menahan, jika ia tidak tahu bahwa pembunuh akan membunuh, maka tidak ada dosa baginya karena ia hanya menjadi sebab. Namun jika ia menahannya untuk dibunuh—misalnya menahannya hingga dibunuh—maka ada perselisihan di antara ulama. Mayoritas sepakat bahwa keduanya harus dihukum, karena jika tidak ditahan, pembunuh tidak akan mampu membunuh. Menahan sama saja dengan memudahkan kematian, sehingga keduanya ikut bertanggung jawab.”

Dengan demikian, siapa yang menghalangi seorang pelarian dari pembunuh, ia berdosa besar, dan siapa yang menahannya dan menyerahkannya kepada pembunuh, lebih berat dosanya.

  1. Bekerja sama dalam dosa dan permusuhan adalah haram secara tegas

Allah berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah.” — QS. Al-Mā’idah:2

Kasus menyerahkan seorang Muslim kepada orang zalim termasuk bekerja sama dalam dosa dan permusuhan, tidak ada keraguan di antara para ulama. Jika ini bukan termasuk dosa dan permusuhan, lalu apa lagi? Ini termasuk dosa besar.

  1. Bergantung pada orang zalim adalah haram

Allah memperingatkan siapa pun yang melakukannya dengan siksa, dan para ulama menegaskan bahwa apa pun yang diancam dengan azab adalah dosa besar.

Siapa yang bekerja sama dengan orang zalim, ia berdosa lebih besar daripada hanya bergantung kepada mereka. Salah satu bentuk kerja sama ini adalah menyerahkan orang tertindas kepada orang zalim.

Allah berfirman:

“Tetaplah teguh sebagaimana diperintahkan, dan siapa yang bertaubat bersamamu, dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Janganlah kalian bergantung kepada orang-orang yang zalim, nanti api akan menyentuh kalian, dan kalian tidak memiliki pelindung selain Allah, kemudian kalian tidak akan ditolong.” — QS. Hud:112

Ayat ini menegaskan agar tetap teguh, menjauhi kemaksiatan, dan menjauhi orang zalim. Barang siapa melanggarnya, kakinya tergelincir ke dalam api, dan Allah akan meninggalkannya tanpa pertolongan.

  1. Menyakiti seorang Muslim adalah dosa besar

Allah berfirman:

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa alasan yang benar, mereka telah menanggung fitnah dan dosa yang nyata.” — QS. Al-Ahzāb:58

Salah satu bentuk penyiksaan terbesar adalah menyerahkan seorang Muslim kepada orang zalim, yang akan menindas dan menyiksanya. Barang siapa melakukannya, sungguh ia kembali kepada Allah, dan tidak diragukan bahwa Allah akan membalasnya dengan menundukkan orang-orang zalim kepadanya.

  1. Prinsip besar syariat: Tidak boleh merugikan dan membalas dengan merugikan

Kerugian harus dihilangkan, dan kerugian yang disebabkan oleh kerugian lain juga harus dihindari. Kerugian menjadi lebih besar ketika berkaitan dengan hal-hal pokok seperti agama, kehormatan, jiwa, dan harta. Semua ini dilanggar jika seorang Muslim diserahkan kepada orang yang zalim.

  1. Dari bukti ijma’: Menyelamatkan seorang yang terpaksa adalah wajib

Dan siapa pun yang menyalahi ijma’ ulama, ia sesat dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Dalam Ensiklopedia Fiqih Kuwait (5/196):

Para fuqaha sepakat bahwa wajib menolong orang yang membutuhkan makanan dan minuman untuk menjaga hidupnya, serta menyelamatkannya dari bahaya yang dapat membinasakannya. Jika seseorang mampu melakukannya sendiri, maka kewajiban menjadi fardhu ‘ain; jika ada orang lain, maka fardhu kifayah. Jika salah satu melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain; jika tidak, semuanya berdosa.

Aku katakan: Dari ijma’ ini terlihat jelas, menyerahkan seorang Muslim kepada orang zalim berarti membiarkannya menuju kehancuran, dan ini bertentangan dengan ijma’ salaf dan khalaf.

  1. Semua perjanjian yang memerintahkan penyerahan Muslim kepada orang kafir atau zalim adalah batal

Barang siapa menyerahkan Muslim kepada kafir atau zalim, itu haram mutlak. Dalam Muqaddimah Fiqh al-‘Asr (1/296) disebutkan:

“Haram menyerahkan Muslim dalam keadaan apa pun, termasuk perjanjian internasional yang memaksanya. Jika dilakukan, maka batal. Muslim adalah saudara Muslim, tidak boleh dikhianati. Penyerahan mengurangi kedaulatan negara dan melemahkan posisi Muslim. Negara-negara besar dunia pun tidak menyerahkan warga mereka. Muslim harus diadili dengan syariat dan hukum yang berasal darinya di negeri Muslim. Menyerahkan seorang penguasa Muslim, ulama, simbol agama, atau pemimpin adalah pengkhianatan, termasuk patuh pada orang kafir, dan membantu musuh; semua itu haram, karena merupakan kerja sama dalam dosa dan permusuhan.”

Bukan seperti kasus Hudaibiyah, yang khusus karena wahyu; para sahabat awalnya menolak, lalu diberi penjelasan bahwa itu perintah wahyu, sehingga tetap sah.

Disusun dengan pena dan tulisan oleh:
Prof. Dr. Fadhl bin Abdullah Murad (Pejabat Fatwa dan Ijtihad Pada Persatuan Ulama Muslimin Internasional).
Tanggal: 30 Jumada al-Ula 1447 H / 21 November 2025 M

Sumber: https://shuhoud.com/%d9%81%d8%aa%d9%88%d9%89-%d9%81%d9%8a-%d8%aa%d8%ad%d8%b1%d9%8a%d9%85-%d8%aa%d8%b3%d9%84%d9%8a%d9%85-%d8%a7%d9%84%d9%85%d8%b7%d9%84%d9%88%d8%a8%d9%8a%d9%86-%d9%84%d8%af%d9%88%d9%84-%d8%a7%d9%84%d8%b8/

Bagikan Artikel:

==========================================

Yuks!, perbanyak amal jariyah dengan ikut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kualitas dakwah islamiyah bersama Pesantren Bina Insan Kamil, salurkan donasi terbaik Antum melalui rekening:

Bank Syariah Indonesia
7000 7555 00
a/n Bina Insan Kamil Pramuka

Kode Bank: 451

Konfirmasi Transfer:
https://wa.me/6282298441075 (Gita)

Ikuti juga konten lainnya di sosial media Pesantren Bina Insan Kamil:
Instagram: https://www.instagram.com/pesantrenbik
Fanspage: https://www.facebook.com/pesantrenbik
YouTube: https://www.youtube.com/c/PesantrenBIK

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *