Oleh: Ustadz Idrus Abidin.
Agar pemahaman kita lebih utuh terkait lahirnya polarisasi mazhab seputar Kalamullah – sebagaimana status sebelumnya – perlu juga kita mendalami sebab dan latar belakang terjadinya silang pendapat tersebut. Karena jika sebab perbedaan itu bisa disederhanakan, tentu kita akan bisa menentukan titik utama perdebatan (tahrir mahalli an-nizaa). Lalu, dari situ kita mungkin mencoba menengahi permasalahan ini secara adil. Tentunya berdasarkan penuturan ayat-ayat dan hadits yang secara lahiriah menunjukkan kesimpulan Ahlu Sunnah Atsariyah. Karena itulah kesimpulan era terbaik sebelum terjadinya belitan iblis via takwil, tahrif dan ta’thil. Era di mana, nama-nama Allah dan sifat-sifatNya ditegaskan (itsbat) tanpa tasybih. Segala kelemahan dan kekurangan dinafikan dari Allah (nafyu) tanpa mengeliminasi kandungan dan konsekwensi nama dan sifat-sifatNya tersebut (ta’thil).
Agar Sebab dan alasan perbedaan pendapat ini bisa lebih mudah diidentifikasi, pembahasan dibagi menjadi dua kategori:
- Perbedaan batasan dan cakupan makna “kalam”,
- Siapa sebenarnya yang dimaksud “Mutakkalim” yang sesungguhnya.
Dengan sistematika pembahasan demikian, semoga latar belakang perbedaan pendapat seputar Kalamullah lebih mudah kita petakan. Marilah kita menelusuri latar belakang perbedaan pendapat tersebut lebih detil:
- Perbedaan batasan dan cakupan makna “kalam”.
Dalam masalah ini, setidaknya ada empat pandangan:
- Muktazilah.
Mereka menganggap kalam sebagai nama atau istilah yang mencakup hurup semata. Adapun wujudnya berupa lafaz. Sedang makna tidak masuk kategori lafaz, tetapi makna itu merupakan hasil penunjukan lafadz. Jadinya, Kalam bagi Muktazilah adalah nama atau istilah bagi lafazh dengan syarat lafazh tersebut menunjukkan makna. Atas dasar ini, mereka mengatakan, “Kalamullah adalah makhluk yang terpisah dari Allah. Karena Kalam itu adalah lafaz dan huruf. Dan, tentu lafaz dan huruf itu tidak bisa melekat pada diri Allah, sehingga lebih pantas dianggap makhluk”.
- Kullabiyah dan Asy’ariyah.
Bagi mereka, Kalam merupakan nama atau istilah yang khusus mencakup makna saja. Kalam sering diidentikkan dengan lafaz dan huruf, namun itu hanya sebatas simbolik atau metaforis saja (majaz), karena Kalam memang menunjukkan keduanya. Dengan dasar ini, maka mereka mengatakan, “Kalam adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz.” Berdasarkan pendapat ini, mereka menyimpulkan tentang Kalamullah sebagai makna yang melekat pada diri Allah, tanpa huruf dan dan tanpa suara. Lalu mereka menyatakan tentang al-Qur’an yang sedang dibaca bahwa itu bukanlah Kalamullah. Tetapi itu hanya sebatas ungkapan (ibarah) atau cerita/hikayat (hikayah) tentang Kalamullah. Sebabnya, Kalam bagi mereka hanya sebatas makna. Sedang penyebutan lafaz terhadap al-Qur’an itu termasuk simbolik-metaforis semata (majaz).
- Asy’ariyah Yunior.
Mereka memodifikasi pandangan kalangan Asy’ariyah senior sebelumnya dengan menyimpulkan bahwa kalam mencakup lafaz dan makna melalui kesatuan lafaz (musytarak lafzhi). Harapan kalangan Asy’ariyah Yunior dengan modifikasi ini adalah agar bisa terhindar dari kontradiksi kalangan senior mereka. Modifikasi pendapat ini diprakarsai oleh al-Juwaini dan ar-Razi. Jika diamati dengan baik, ungkapan kesatuan lafaz yang disebutkan itu tidak mengharuskan adanya kedekatan makna. Tetapi yang dimaksud adalah seperti penggunaan kata “musytari” dalam bahasa Arab yang menunjukkan dua makna sekaligus secara mutlak; yaitu planet (kaukab) dan pembeli (mubta’) sekaligus.
- Ahlu Sunnah Atsariyah.
Mereka menyimpulkan, Kalam mencakup lafaz dan makna sekaligus, seperti lafaz manusia yang mencakup ruh dan badan sekaligus. Walaupun kata Kalam jika disebutkan secara terbatas (taqyid) kadang menunjukkan sebatas lafaz dan kadang pula hanya mencakup makna saja. Sesuai pemahaman ini, kalangan Atsariyah menyatakan seputar al-Qur’an maupun kalamullah lainnya bahwa semua itu mencakup makna dan lafaz sekaligus. Dan, bahwasannya al-Qur’an; baik huruf maupun maknanya adalah Kalamullah itu sendiri.
- Siapa sebenarnya yang dimaksud “Mutakkalim” yang sesungguhnya.
Setelah kita mengerti batasan dan cakupan kalam masing-masing kelompok teologis, mari kita tegaskan lagi siapa sebenarnya yang dianggap berbicara (Mutakkalim). Di sini ada tiga pandangan:
- Jahmiyah dan Muktazilah.
Bagi mereka, Mutakkalim adalah yang melakukan pembicaraan, sekalipun berpisah darinya, tapi dia melakukannya di tempat lain di luar dirinya. Mereka menegaskan, berbicara merupakan karakteristik perbuatan terpisah (sifah fi’liyah munfashilah) dari yang berbicara; sama sekali bukan karakteristik pribadi (sifah dzatiyah). Makanya, mereka ini mengingkari karakteristik berbicara yang sebenarnya kokoh dan paten pada diri Allah. Mereka ujungnya berkesimpulan, Kalamullah itu makhluk.
- Kullabiyah, Asy’ariyah dan Salimiyah dan yang sependapat dengan mereka.
Bagi mereka, mutakkalim adalah yang berbicara sekalipun bukan perbuatannya sendiri, bukan pula kehendak dan kemampuannya. Mereka ini berkesimpulan, berbicara itu karakteristik pribadi yang melekat pada diri sang pemilik karakter; sama sekali tidak terkait dengan kemauan dan kemampuannya. Itulah kenapa mereka berpendapat tentang Kalamullah sebagai kalam nafsi (sebatas ucapan jiwa) yang terjadi pada diri Allah. Dan, Allah sendiri tidak berbicara sesuai kehendakNya jika Dia mau. Tetapi ucapanNya bersifat qadim-azali pada diriNya, persis seperti kehidupan (hayah) dan pengetahuanNya (ilm) yang masuk kategori karakteristik pribadi (sifah dzatiyah).
- Ahlu Sunnah Atsariyah, sekelompok Jahmiyah dan Karamiyah.
Mereka berpandangan bahwa mutakkalim adalah yang menggabungkan kedua karakteristik. Sehingga berbicara terjadi pada dan dari dirinya sendiri berdasarkan kemampuannya. Sehingga mutakkalim adalah yang berbicara berdasarkan perbuatan, kehendak dan kemampuannya. Jadi, kesimpulan mereka, berbicara adalah karakteristik pribadi (sifah dzatiyah) dan karakteristik perbuatan (sifah fi’liyah) yang melekat pada diri si pembicara yang terkait dengan kehendak dan kemampuannya.
Perbedaan pandangan pada kedua masalah ini sangat terang menjelaskan kenapa terjadi keragaman mazhab dan polarisasi kelompok teologis seputar Kalamullah. Demikianlah secuil upaya untuk menegaskan pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah secara umum berdasarkan serial pembahasan berikut:
- Seputar Kalamullah Menurut Persfektif Ahlu Sunnah Atsariyah, bisa ditelusuri pada link berikut:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213296869935191&id=1800833197
- Syubhat Rasional Seputar Kalamullah, yang bisa dibaca pada link berikut:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213312404803553&id=1800833197
- Sebab dan Alasan Timbulnya Syubhat Rasional Seputar Kalamullah. Status yang sedang kita bahas ini.
- Jawaban Ringkas Terhadap Syubhat Rasional Seputar Kalamullah. Menyusul in syaa Allah.
Judul terakhir sedang dalam proses. Tapi jika mau disederhanakan, penolakan mereka semua terhadap Kalamullah yang mencakup huruf dan suara berdasarkan kehendak dan kemampuan Allah didasari oleh:
- Pengingkaran terhadap karakteristik perbuatan Allah yang bersifat pilihan (sifat ikhtiyariah), terutama yang berefek ke objek (muta’addi) seperti penciptaan, pemberi rezeki, cinta dan rahmatNya. Di kalangan Maturidiyah, sifat ini dikenal dengan sifat at-takwin (penciptaan) yang dibangun di atas 2 prinsip:
- Perbuatan atau tindakan sama sekali bukan dan tidak identik dengan hasil perbuatan/tindakan (al-Fi’il gairu al-Maf’ul). Atau, dg bahasa lain, Penciptaan bukanlah makhluk itu sendiri (at-Takwin gairu al-Mukawwan). Pendapat ini diterima oleh kalangan Atsariyah. Sehingga baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah, mereka sepakat dengan konsep azaliyatu at-Takwin (keazalian penciptaan). Bahkan, konsep inilah yang menjelaskan kemiripan Asy’ariyah dan Maturidiyah karena berasal dari satu guru ; Ibnu Kullab.
- Penciptaan yang bersifat qadim-azali dan tidak terkait dengan kehendak dan kemampuan Allah. Intinya, mereka mengakui Kalamullah yang bersifat qadim-azali, yang melekat pada diri Allah, tapi tidak terkait dengan kehendak dan kemampuanNya. Karena yang senantiasa berubah dan berkembang menurut mereka (mutajaddid dan hawadits) hanyalah objek perbuatan (maf’ul) yang berbentuk makhluk; bukan perbuatan Allah itu sendiri. Pandangan ini ditolak oleh Atsariyah karena dijadikan alasan untuk menolak pembicaraan Allah yang bersifat pilihan sesuai kehendak dan kemampuanNya.
Prinsip kedua Maturidiyah ini didasarkan oleh prinsip dasar mereka (bahkan ini merupakan prinsip utama semua ahlul Kalam yang mencakup Asy’ariyah, Maturidiyah, Muktazilah, Jahmiyah dll) yang menyatakan, kebaharuan alam dan keberadaan Tuhan tidak bisa ditegaskan tanpa membuktikan baharunya fisik (Jism). Sedang baharunya fisik tidak mungkin dibuktikan tanpa membuktikan pula baharunya sifat dan karakter yang senantiasa terjadi padanya. Sehingga nampak jelas, bahwa dasar penolakan mereka terhadap karakteristik/sifat ikhtiyariah adalah konsep tidakpantasnya sesuatu yang baharu melekat pada diri Allah dan tidakmugkinnya sifat tersebut terjadi terus menerus pada diri Allah ta’alaa (tasalsul). Semua syubhat ini akan dijawab secara ringkas pada status berikutnya in syaa Allah.
Depok, 20 Juli 2020 (Senin, 28 Zulqaidah 1441 H)