Meluruskan Kesalahpahaman Terhadap Ungkapan Imam Ahmad

Meluruskan Kesalahpahaman Terhadap Ungkapan Imam Ahmad, “Tanpa Kaif (Bentuk) Tanpa Makna”

Makna yang benar dari ucapan Imam Ahmad: “tanpa kaif (bagaimana) dan tanpa makna” — sebagai bantahan terhadap dua golongan:

Pertama:

Bantahan terhadap mereka yang menetapkan kaifiyyah (cara atau bentuk) bagi sifat-sifat Allah Ta‘ala, dengan dalih bahwa mereka mengetahui bagaimana hakikat sifat yang Allah kabarkan tentang diri-Nya. Imam Ahmad membantah mereka dengan ucapannya: “tanpa kaif” — yakni, tanpa mengetahui bagaimana hakikat sifat tersebut.

Kedua:

Bantahan terhadap mereka yang menakwilkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya — yaitu orang-orang yang memalingkan kalimat dari makna aslinya dan berkata: “Maknanya adalah begini dan begitu.” Imam Ahmad menolak perkataan mereka dengan ucapannya: “dan tanpa makna”.

Sungguh, alangkah tepat dan dalamnya pemahaman sang imam yang diberi taufik oleh Allah.

Ibnu Taimiyyah kemudian merangkum semua ini dengan ucapannya:

“Orang-orang yang mengaku berpegang pada Sunnah dari kalangan Hanabilah dan selain mereka, yang menganggap kata ta’wil mencakup dua jenis (yakni: penetapan dan penolakan sifat-sifat Allah Ta‘ala), berpegang pada apa yang mereka dapati dalam ucapan para imam tentang ayat-ayat mutasyabihat, seperti perkataan Ahmad dalam riwayat Hanbal, (ولا كيف ولا معنى)tanpa kaif dan tanpa makna’, mereka menyangka maksudnya adalah bahwa kita tidak mengetahui maknanya.

Padahal ucapan Ahmad secara jelas dalam banyak tempat menunjukkan kebalikannya. Ia menjelaskan bahwa yang ia tolak adalah ta’wil kaum Jahmiyyah dan semisalnya, yang menakwilkan Al-Qur’an dengan makna yang tidak benar. Ia menulis kitab dalam bantahan terhadap kaum zindiq dan Jahmiyyah yang menolak makna ayat-ayat mutasyabihat dan menakwilkannya dengan cara yang tidak benar.

Maka Imam Ahmad menolak ta’wil mereka terhadap Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan maksud Allah dan Rasul-Nya. Mereka jika menakwilkannya, berkata: ‘Makna ayat ini adalah begini’. Sedangkan kaum yang menetapkan kaifiyyah berkata bahwa mereka mengetahui bagaimana hakikat sifat-sifat Allah yang diberitakan-Nya.

Maka Ahmad menolak dua kelompok ini: kelompok yang menetapkan kaifiyyah (mukayyifah) — yang mengaku mengetahui bagaimana hakikat sifat Allah — dan kelompok yang memalingkan makna (muḥarrifah) — yang menyelewengkan kalimat dari makna aslinya dan berkata: ‘Maknanya begini dan begitu’.”1

Penjelasan lebih lanjut tentang keyakinan Imam Ahmad yang berbeda dengan kaum mufawwiḍah (yang menyerahkan seluruh makna tanpa memahami maknanya):

Imam Ahmad berpendapat bahwa sifat-sifat Allah dibawa pada makna lahiriah yang dimaksud, namun dengan makna yang layak bagi keagungan Allah — bukan seperti makna makhluk. Beliau juga menegaskan bahwa ia mengetahui tafsir dan makna dari sifat-sifat Allah — namun tanpa mengetahui bagaimana hakikatnya (kaifiyyah).

Abu Bakar al-Khallāl berkata:

ومذهب أبي عبد الله أحمد بن حنبل -رضي الله عنه- أن لله عز وجل وجهًا، لا كالصور المصورة والأعيان المخططة، بل وجهة وصفه بقوله: {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} [القصص: 88]، ومن غيَّر معناه فقد ألحد عنه، وذلك عنده وجه في الحقيقة دون المجاز، ووجه الله باقٍ لا يبلى، وصفة له لا تفنى، ومن ادعى أن وجهه نفسه فقد ألحد، ومن غيَّر معناه فقد كفر، وليس معنى وجه معنى جسد عنده، ولا صورة، ولا تخطيط، ومن قال ذلك فقد ابتدع

“Mazhab Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal ra. adalah bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki wajah, namun tidak seperti rupa yang digambarkan atau bentuk yang dilukiskan. Akan tetapi, wajah itu adalah sifat sebagaimana disebut dalam firman-Nya: ‘Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya’ (al-Qashash: 88). Barang siapa mengubah maknanya, maka ia telah menyimpang.

Menurut Imam Ahmad, ‘wajah’ itu hakiki, bukan majazi. Wajah Allah kekal, tidak binasa, merupakan sifat bagi-Nya yang tidak fana. Barang siapa mengatakan bahwa wajah-Nya adalah diri-Nya sendiri, maka ia telah menyimpang. Barang siapa mengubah maknanya, maka ia kafir. Dan makna ‘wajah’ menurut beliau bukan berarti jasad, gambar, atau bentuk. Barang siapa mengatakan demikian, maka ia telah berbuat bid‘ah.”2

Dari nukilan ini jelas ada makna yang telah diketahui tapi tak boleh diubah atau ditakwil melampaui zahirnya. Sehingga ini tidak bertentangan dengan kalimat “Tanpa makna” yang dijadikan pegangan bagi penuduh bahwa Imam Ahmad melakukan tafwidh makna, justru menjelaskan apa yang beliau maksud dengan kalimat itu. Begitulah caranya memahami perkataan seorang ulama, yaitu mengumpulkan semua pernyataannya lalu dikompromikan terlebih beliau sendiri melakukan praktik yang menunjukkan pengetahuan terhadap makna kata tersebut.

Ini diakui oleh Abu Ya’la sebagaimana disebutkannya dalam kitabnya Ibthal At-Ta`wiilaat bahwa Imam Ahmad memang menafsirkan dan memahami ayat dan hadits tentang shifat Allah:

“Diriwayatkan dari Ahmad dan selainnya hal-hal yang menunjukkan adanya tafsir (pemahaman makna). Ahmad berkata dalam riwayat ‘Abdus bin Malik al-‘Aththar: ‘Di antara sunnah yang wajib dipegang — siapa yang meninggalkan salah satunya, tidak diterima dan tidak dianggap beriman — adalah beriman kepada takdir baik dan buruk, dan membenarkan hadits-hadits tentangnya.

Barang siapa tidak mengetahui tafsir hadits dan akalnya tidak sampai kepadanya, maka cukuplah baginya apa yang telah dicukupkan oleh para ulama, dan wajib baginya beriman dan menerima.’

Abu Ya‘la berkata: ‘Ucapan Ahmad ini — bahwa jika seseorang tidak mengetahui tafsir hadits dan akalnya tidak sampai kepadanya, maka telah dicukupkan baginya oleh para ulama — menunjukkan bahwa menurut Ahmad memang ada tafsir (pemahaman makna) terhadap sifat-sifat itu.’”3

Kemudian Abu Ya’la menerangkan perkataan Imam Ahmad ini justru membantah ahli takwil yang merepotkan diri mencari tafsirnya, padahal sudah dicukupkan maknanya dengan kata itu sendiri, sehingga tidak usah dicari lagi takwilnya tapi cukup imani saja apa yang ada dalam teks itu.4

Ibn Taimiyyah berkata:

“Ibnu al-Mājisyūn, Ahmad bin Hanbal, dan selain keduanya dari kalangan salaf mengatakan: ‘Kami tidak mengetahui bagaimana (kaifiyyah) hakikat dari apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, meskipun kami mengetahui tafsir (penjelasan) dan maknanya.’”5

Ibn Rajab juga berkata:

“Golongan ketiga (dari mereka yang berselisih pendapat tentang makna nuzul — turunnya Allah) menetapkan sifat nuzul sebagaimana datang dalam nash, tidak menambahinya, dan meniadakan kaifiyyah (cara/bentuk) darinya. Mereka mengetahui bahwa turunnya Allah Ta‘ala tidak sama dengan turunnya makhluk. Inilah pendapat para imam salaf seperti Hammad bin Zaid, Ahmad, dan lainnya.”6

Maka dengan penjelasan ini — secara pasti tanpa keraguan — menjadi jelaslah makna yang dimaksud dari riwayat Hanbal: “tanpa kaif dan tanpa makna.”

Artinya:

Kita memutus keterkaitan akal dari memahami bagaimana (kaifiyyah) sifat-sifat Allah Ta‘ala, serta tidak memalingkan (menyelewengkan) maknanya dengan ta’wil-ta’wil yang rusak dengan berkata, “maknanya begini dan begitu.”

Ungkapan ini dari Imam Ahmad sepadan dengan ucapan sebagian salaf ketika berbicara tentang ayat-ayat sifat: “Biarkan sebagaimana datangnya, tanpa kaif (tanpa menanyakan bagaimana).”

Imam Ahmad tidak menafikan makna zahir (eksplisit) dari nash-nash Sifat (Allah), tetapi beliau menafikan makna-makna batil yang mereka takwilkan (tafsirkan secara menyimpang) kepadanya.

Mungkin ada yang bertanya: Sok tahu, sudah jelas kok Imam Ahmad mengatakan tidak memaknai, kok bisa-bisanya kalian ngeles?

Jawabannya adalah bahwa Imam Ahmad, rahimahullah, memiliki banyak nash (teks/kutipan) dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan dalam kitab beliau “Al-Radd ‘ala al-Jahmiyyah” (Bantahan terhadap Jahmiyyah), yang menjelaskan bahwa beliau meyakini bahwa zahir nash-nash itu memiliki makna-makna. Maka bagaimana kita mengabaikan nash-nash yang banyak ini yang memenuhi kitab-kitab beliau, rahimahullah, kemudian kita mengambil satu kata dan mengatakan: inilah mazhab beliau.

Baca Juga:  Rasionalitas Islam Versi Salaf & Khalaf - Sebuah Perbandingan Karakter

Ini adalah metode Ahlul Bid’ah (pengikut inovasi dalam agama) dan kesesatan, di mana mereka mendatangi seorang ulama dan mengambil sebagian dari perkataannya yang memiliki kemungkinan (ihtimal, ambiguitas), kemudian mereka memproklamirkan bahwa itulah mazhab sang imam. Mereka melupakan bahwa beliau memiliki perkataan-perkataan yang lugas, jelas, dan terang yang menolak keyakinan yang mereka sangka.

Oleh karena itu, Imam Ahmad, rahimahullah, memiliki kitab yang jelas, bernama: “Al-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Zanadiqah” (Bantahan terhadap Jahmiyyah dan Kaum Zindiq), dan jelas dari kitab beliau serta dari nash-nash yang dinukil dari beliau dalam kitab-kitab para Imam Ahlus Sunnah, bahwa beliau meyakini bahwa zahir nash-nash itu dimaksudkan, dan bahwa ia (dipahami) atas hakikatnya tanpa kayf (tanpa menanyakan atau menentukan bagaimana sifat tersebut).

Sehingga perkataan beliau “Dan tidak ada kayf dan tidak ada ma’na (makna)“, di dalamnya terdapat bantahan terhadap Musyabbihah (golongan yang menyerupakan) yang menentukan kayf (cara atau bentuk) sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dengan sifat-sifat makhluk-Nya, dan di dalamnya terdapat bantahan terhadap Mu’attilah (golongan yang menolak atau meniadakan) yang datang dengan takwil-takwil batil dari diri mereka sendiri, dan mereka menafsirkan makna-makna nash dengannya, dan datang dengan makna-makna batil.

(ولا معنى) (Dan tidak ada ma’na)”, bukanlah maksudnya nash-nash sifat tidak memiliki makna secara hakikat, bukan ini maksud beliau rahimahullah sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash beliau yang lain.

Juga ada perkataan beliau yang serupa yaitu manfikan tafsir dan makna untuk sesuatu yang sudah jelas apa maknanya, sebagaimana terdapat dalam kitab Syarh I’tiqad Ahlis Sunnah karya Al-Lalaka`iy jilid 1 hal. 163-164 mengeluarkan Riwayat dari Abdus bin Malik Al-Aththar berupa risalah Imam Ahmad bin Hanbal yang Panjang dan di dalamnya ada tulisan:

وهذه الاحاديث التي جاءت ثلاث من كن فيه فهو منافق هذا على التغليط نرويها كما جاءت ولا نفسرها
وقوله لا ترجعوا بعدي كفارا ضلالا يضرب بعضكم رقاب بعض، ومثل إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار، ومثل سباب المسلم فسوق وقتاله كفر، ومثل من قال لأخيه ياكافر فقد باء بها أحدهما
ومثل كفر بالله تبرؤ من نسب وان دق، ونحوه من الأحاديث مما قد صح وحفظ فإنا نسلم له وإن لم يعلم تفسيرها ولا يتكلم فيه ولا يجادل فيه ولا تفسر هذه الاحاديث الا مثل ما جاءت ولا نردها إلا بالحق منها

““Hadits-hadits yang datang seperti sabda Nabi ﷺ:

‘Tiga perkara, barang siapa terdapat padanya maka ia seorang munafik,’

– hadits-hadits seperti ini ditujukan untuk peringatan dan penegasan (bukan pengkafiran secara hakiki).

Kami meriwayatkannya sebagaimana adanya, tanpa menafsirkannya (dengan akal).

Demikian pula sabdanya ﷺ:

‘Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku — sebagian kalian memukul leher sebagian yang lain,’

dan sabdanya ﷺ:

‘Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya di neraka,’

serta sabdanya ﷺ:

‘Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran,’

dan sabdanya ﷺ:

‘Barang siapa berkata kepada saudaranya: “Wahai kafir!”, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya,’

dan sabdanya ﷺ:

‘Kufur kepada Allah ialah berlepas diri dari nasab (keturunan), walaupun sangat jauh (tingkatannya),’

serta hadits-hadits semakna dengannya — semua itu shahih dan terpelihara (diriwayatkan dengan benar).

Maka kami menerimanya sebagaimana adanya, meskipun kami tidak mengetahui tafsirnya. Kami tidak berbicara dan tidak berdebat tentangnya. Hadits-hadits seperti ini tidak boleh ditafsirkan kecuali sebagaimana ia datang, dan tidak boleh ditolak kecuali dengan kebenaran yang datang dari hadits itu sendiri.”

Perhatikan kalimat yang saya beri tanda merah itu, apakah hadits-hadits di atas semuanya tidak dipahami maknanya sehingga harus ditafwidl? Tak ada orang berakal yang mengatakan demikian, sehingga jelaslah bahwa maksud Imam Ahmad di sini adalah tidak membelokkan maknanya dalam bentuk takwil yang batil, bukan tidak tahu maknanya sama sekali.

Beberapa Contoh Kasus bahwa Imam Ahmad paham makna dan hanya mentafwidh kaifiyah:

  1. Memberi contoh sifat jemari bagi Allah berarti tahu arti kata ashabi’ (jemari)

Riwayat Abdullah putra beliau dalam As-Sunnah, hal. 264:

489 – سمعت ابي رحمه الله ثنا يحيى بن سعيد بحديث سفيان عن الاعمش عن منصور عن إبراهيم عن عبيدة عن عبدالله عن النبي صلى الله عليه و سلم أن الله يمسك السموات على أصبع قال أبي رحمه الله جعل يحيى يشير بأصابعه وأراني أبي كيف جعل يشير بأصبعه يضع أصبعا اصبعا حتى أتى على آخرها

“Ayahku, rahimahullah (semoga Allah merahmatinya), menceritakan kepadaku, Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami, dengan hadits Sufyan, dari Al-A’masy, dari Manshur, dari Ibrahim, dari ‘Ubaidah, dari Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya), bahwa “Sesungguhnya Allah memegang langit di atas satu jari.

Ayahku, rahimahullah, berkata: Yahya mulai menunjuk dengan jari-jarinya, dan Ayahku memperlihatkan kepadaku bagaimana ia mulai menunjuk dengan jarinya, ia meletakkan satu jari demi satu jari hingga ia sampai pada jari yang terakhir.”.

Catatan: Kutipan ini adalah bagian dari riwayat hadits Nabi ﷺ yang terkenal tentang Sifat Allah yang disebut “Memegang Langit di atas Jari” (Allah subhanahu wa ta’ala memegang langit dan bumi pada Hari Kiamat). Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud.

Dari teks tersebut menggambarkan bagaimana perawi hadits (Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, seorang ulama hadits yang besar) melakukan isyarat dengan jari-jarinya ketika meriwayatkan hadits tersebut (untuk menggambarkan urutan pemisahan penciptaan yang akan dipegang Allah ta’ala dengan jari-jari-Nya), dan bagaimana Imam Ahmad juga turut menirukan gerakan isyarat tersebut. Hal ini menegaskan bahwa mereka memahami makna jari yang ada dalam hadits tersebut, hanya saja mereka meniadakan pengetahuan akan kaifiyahnya dan menolak tasybih (penyerupaan) dengan makhluk.

  1. Imam Ahmad menetapkan bahwa Allah bicara dengan suara, ini menunjukkan beliau tahu akan makna shifat kalam Allah dan memberi kaifiyah sesuai dengan nash hadits.

Masih dari kitab As-Sunnah karya Abdullah putra beliau, hal. 280:

533 – سألت أبي رحمه الله عن قوم يقولون لما كلم الله عز و جل موسى لم يتكلم بصوت فقال أبي بلى إن ربك عزوجل تكلم بصوت هذه الاحاديث نرويها كما جاءت

“Aku bertanya kepada ayahku rahimahullah tentang suatu kaum yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla Ketika bicara kepada Musa alahis salam maka Dia bicara tanpa suara. Maka ayahku berkata, “Bukan begitu, justru Tuhanmu Azza wa Jalla bicara dengan suara. Hadits-hadits tentang itu kita riwayatkan sebagaimana datangnya.”

Lalu di hal berikutnya Abdullah meriwayatkan:

534 – وقال أبي رحمه الله حديث ابن مسعود رضي الله عنه إذا تكلم الله عز و جل سمع له صوت كجر السلسلة على الصفوان قال أبي وهذا الجهمية تنكره وقال أبي هؤلاء كفار يريدون ان يموهوا على الناس من زعم أن الله عز و جل لم يتكلم فهو كافر ألا إنا نروي هذه الاحاديث كما جاءت

Baca Juga:  Kisah Ibnu Umar dan Penggembala Kambing

“Ayahku rahimahullah berkata tentang hadits Ibnu Mas’ud RA

“Apabila Allah ‘azza wa jalla berbicara, terdengarlah bagi-Nya suara seperti gemerincing rantai besi di atas batu licin.”

Ayahku berkata: “Kaum Jahmiyyah mengingkari hal ini.”

Ayahku juga berkata: “Mereka itu orang-orang kafir; mereka ingin menipu manusia. Barang siapa menganggap bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak berbicara, maka ia kafir. Ketahuilah, sesungguhnya kami meriwayatkan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya (tanpa menolak atau menakwilkannya).”

Dari sini terlihat bahwa yang dimaksud meriwayatkan hadits sebagaimana datangnya adalah memahami maknanya sesuai dengan makna Zahir yang dipahami orang arab dengan kata itu dan bukan mencari takwil lain yang berbeda dengan zahirnya, bukan pula sama sekali tak paham maknanya sebagaimana tuduhan kalangan ahli tafwidl.

  1. Imam Ahmad meng-itsbat shifat nuzul Allah dan paham maknanya, tapi tidak tahu kaifiyahnya.

Abdul Ghani Al-Maqdisi meriwayatkan dalam Risalahnya Al-Aqidah:

وروينا عن عبد الله بن أحمد بن حنبل٤ قال كنت أنا وأبي عابرين في المسجد فسمع قاصاً يقص بحديث٥ النزول: فقال إذا كان ليلة النصف من شعبان ينزل الله عزوجل إلى سماء الدنيا بلا زوال ولا انتقال، ولا تغير حال، فارتعد أبي رحمه الله وأصفر لونه ولزم يدي وأمسكته حتى سكن، ثم قال: قف بنا على هذا المتخرص٦ فلما حاذاه قال: يا هذا رسول الله صلي الله عليه وسلم أغير على ربه عز وجل منك، قل كما قال رسول الله صلي الله عليه وسلم وانصرف.

“Kami meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata:

“Suatu ketika aku dan ayahku (Imam Ahmad) sedang berjalan melewati masjid. Lalu kami mendengar seorang penceramah sedang menyampaikan kisah (qashash) tentang hadits turunnya Allah (‘nuzūl’).

Ia berkata: ‘Apabila tiba malam pertengahan bulan Sya‘bān, Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia tanpa berpindah tempat, tanpa bergerak, dan tanpa berubah keadaan.

Maka ayahku – semoga Allah merahmatinya – gemetar, wajahnya berubah pucat, lalu beliau menggenggam tanganku, dan aku pun memeganginya hingga beliau tenang.

Setelah itu beliau berkata: ‘Mari kita berhenti sejenak di hadapan orang yang berbicara sembarangan ini.’

Maka ketika kami sampai di depannya, ayahku berkata:

‘Wahai orang ini! Apakah Rasulullah ﷺ lebih cemburu terhadap Tuhannya daripada engkau? Katakanlah sebagaimana Rasulullah ﷺ mengatakannya!’

Lalu beliau pun berpaling.

Dari kisah ini kita simpulkan bahwa Tafsir yang terlarang itu adalah menambah-nambah keterangan yang tidak terdapat dalam teks hadits. Karena itulah yang tidak kita ketahui, turunnya Allah ke langit dunia atau ke dunia itu bagaimana caranya kita tidak tahu karena tidak diterangkan dalam hadits, maka kita tak boleh berinisiatif menambahkan keterangan kaifiyatnya. Jadi jelaslah bahwa yang dilarang adalah membagaimanakan bentuk sifat itu, tapi bukan berarti tidak paham maknanya sama sekali.

Di sisi lain jelas bahwa Imam Ahmad mengetahui makna nuzul atau turun itu makanya beliau meng-itsbat atau menetapkannya sebagai sifat khusus bagi Allah, tapi tidak diketahui kaifiyatnya bukan tidak diketahui maknanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Lalaka`iy dalam Syarh I’tiqad Ahli Sunnah jilid 3 hal. 453:

777 – قال حنبل بن اسحاق قال سألت أبا عبد الله أحمد بن حنبل عن الأحاديث التي تروى عن النبي صلى الله عليه و سلم إن الله ينزل إلى السماء الدنيا

فقال ابو عبد الله نؤمن بها ونصدق بها ولا نرد شيئا منها إذا كانت اسانيد صحاح ولا نرد على رسول الله قوله ونعلم أن ما جاء به الرسول حق حتى قلت لأبي عبد الله ينزل الله إلى سماء الدنيا قال قلت نزوله بعلمه بماذا

فقال لي اسكت عن هذا مالك ولهذا امض الحديث على ما روي بلا كيف ولاحد وإنما جاءت به الأثار وبما جاء به الكتاب

قال الله عزوجل ولا تضربوا لله الأمثال

ينزل كيف يشاء بعلمه وقدرته وعظمته أحاط بكل شيء علما لا يبلغ قدره واصف ولا ينأى عنه هرب هارب

777 – Hanbal bin Ishaq berkata:

Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillāh Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa “Allah turun ke langit dunia.

Maka Abu ‘Abdillāh (Imam Ahmad) menjawab:

“Kami beriman kepadanya, kami membenarkannya, dan kami tidak menolak sedikit pun darinya selama sanadnya sahih. Kami tidak menolak sabda Rasulullah ﷺ, dan kami yakin bahwa apa yang dibawa oleh Rasul itu adalah kebenaran.”

Lalu aku (Hanbal) berkata kepada Abu ‘Abdillāh:

“Apakah Allah turun ke langit dunia dengan ilmu-Nya? Dengan apa turunnya itu?”

Maka beliau menjawab:

“Diamlah dari hal ini, apa urusanmu dengan hal itu? Jalankan (terima) hadits sebagaimana diriwayatkan — tanpa menanyakan bagaimana (bilā kayf) dan tanpa membatasi dengan suatu batasan (bilā ḥadd). Sesungguhnya hal itu datang melalui riwayat (atsar) dan sebagaimana yang dibawa oleh al-Qur’an.”

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ

‘Dan janganlah kamu membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah’ — QS. An-Nahl:74

“Dia turun sebagaimana Dia kehendaki, dengan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya. Dia meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya. Tidak ada seorang pun yang mampu menggambarkan kadar keagungan-Nya, dan tidak ada makhluk yang dapat menjauh dari-Nya dengan berlari.”

  1. Itsbat Shifat Uluw (Berada di atas Arsy).

Sudah tak diragukan bahwa Imam Ahmad termasuk yang paling tegas mengatakan bahwa Allah di atas Arsy terpisah dari makhluk. Penetapan arah atas berarti beliau paham makna istawa, fis samaa` dan semisalnya.

Al-Lalaka`iy meriwayatkan (3/401-402):

674 – وروى يوسف بن موسى البغدادي أنه قيل لأبي عبد الله أحمد بن حنبل الله عز و جل فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه في كل مكان
قال نعم على العرش وعلمه لا يخلو منه مكان

“Yusuf bin Musa al-Baghdadi meriwayatkan, bahwa ada yang bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad) Allah Azza wa Jalla di atas langit yang tujuh, di atas Arsya terpisah dari makhluk-Nya, sementara ilmu berada di semua tempat?

Dia menjawab, “Iya, di atas Arsy dan ilmu-Nya selalu ada di semua tempat.”

  1. Membantah Ahli Takwil yang menakwil sifat Yad (Tangan).

Ghulam Al-Khallal meriwayatkan dalam risalahnya “As-Sunnah” (hal. 58 terbitan Dar Nahj Salaf tahun 2020 M) dari Al-Maimuni, bahwa Imam Ahmad membantah orang yang menakwil tangan Allah menjadi nikmat Allah,

من زعم أن يديه نعماه فكيف يصنع بقوله تعالى (لما خلقت بيدي)؟

“Siapa yang mengatakan bahwa kedua tangan Allah berarti dua nikmat, maka bagaimana dia menakwil firman Allah “Apa yang Aku ciptakan dengan Kedua Tanganku”?

Ini menunjukkan bahwa Imam Ahmad paham makna yad, bahwa dia bukan nikmah bukan pula Qudrah. Sepertinya Abu Hasan Al-Asya’ari mengikuti beliau dalam cara berargumentasi seperti ini sebagaimana dalam kitab Al Ibanah.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta


  1. Majmu’ Al-Fatawa jilid 17, hal. 363-364.
  2. Aqidatu Imam Ahmad Riwayat Abu Fadhl At-Tamimi hal. 103-104.
  3. Ibthal At-Ta`wiilaat hal. 55.
  4. Ibid, hal. 57.
  5. Dar`u Ta’arudl Al-‘Aql wa An-Naql 1/207.
  6. Fath Al-Bari karya Ibnu Rajab jilid 6 hal. 535.
Bagikan Artikel:

==========================================

Yuks!, perbanyak amal jariyah dengan ikut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kualitas dakwah islamiyah bersama Pesantren Bina Insan Kamil, salurkan donasi terbaik Antum melalui rekening:

Bank Syariah Indonesia
7000 7555 00
a/n Bina Insan Kamil Pramuka

Kode Bank: 451

Konfirmasi Transfer:
https://wa.me/6282298441075 (Gita)

Ikuti juga konten lainnya di sosial media Pesantren Bina Insan Kamil:
Instagram: https://www.instagram.com/pesantrenbik
Fanspage: https://www.facebook.com/pesantrenbik
YouTube: https://www.youtube.com/c/PesantrenBIK

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *