Al-Imām Abū Bakr Al-Ajurrī (w. 360 H) berkata: telah menceritakan kepada kami [Al-Firyābī], telah menceritakan kepada kami [Al-‘Abbās bin Al-Walīd bin Mazyad], ia berkata: telah mengabarkan kepadaku [Ayahku], ia berkata: aku mendengar Al-Awzā‘ī mengatakan:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ، وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءِ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوا لَكَ بِالْقَوْلِ
“Wajib atasmu berpegang pada aṡār ulama Salaf, meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah kamu dari logika orang-orang, meskipun mereka menghiasi perkataan itu untukmu.” [Asy-Syarī‘ah, no. 127]
Dalam aṡar ini, Imam Abū ‘Amru ‘Abdurraḥman bin ‘Amr Al-Awzā‘ī (w. 157), seorang ulama terkemuka di Bumi Syam pada zamannya, beliau hendak berwasiat kepada kita agar berpegang teguh pada aṡar Salafsaleh (3 generasi terbaik yang dikabarkan Baginda Nabi), dan tidak terpesona dengan logika fatamorgana dari orang-orang yang pandai bermain kata-kata (baca: mbulet).
Misalnya, dalam isu Kalam Allah Bersuara. Kita wajib berpegang kepada ulama Salafsaleh, karena mereka lah yang sangat tepat untuk diikuti dan ditaklidi, bukan yang lain. Pada tulisan sebelumnya, sudah saya bawakan aṡar Imam Aḥmad yang menyebutkan bahwa Kalam Allah itu dengan suara. Hal senada juga disebutkan oleh Mahasantrinya Al-Bukhārī, setelah menyebutkan suatu hadis, beliau berkata:
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لَا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لِأَنَّ صَوْتَ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ
“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa SUARA ALLAH tidak menyerupai suara-suara makhluk, karena SUARA Allah ‘azza wa jalla dapat didengar oleh orang yang jauh sebagaimana orang yang dekat mendengarnya”. [Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād]
Lantas, bagaimana jika tidak percaya bahwa Kalam Allah tidak bersuara? Adakah resikonya?
Untuk menjawab ini, mari kita simak kitab Mukhtaṣar Aṣ-Ṣawā‘iq Al-Mursalah ‘alal-Jahmiyyah wal-Mu‘aṭṭilah karya Al-Imām Al-Faqīh Syamsuddīn Ibnul-Mūṣilī Asy-Syāfi‘ī (w. 774), pada halaman 1389 beliau menyebutkan:
وَكَذَلِكَ ابْنُ الْقَاسِمِ صَاحِبُ مَالِكٍ صَرَّحَ فِي رِسَالَتِهِ فِي السُّنَّةِ: إِنَّ اللَّهَ يَتَكَلَّمُ بِصَوْتٍ وَهَذَا لَفْظُهُ قَالَ: وَالْإِيمَانُ بِأَنَّ اللَّهَ كَلَّمَ مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ بِصَوْتٍ سَمِعَهُ مُوسَى مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لَا مِنْ غَيْرِهِ، فَمَنْ قَالَ غَيْرَ هَذَا أَوْ شَكَّ فَقَدْ كَفَرَ
Demikian juga Ibnul-Qāsim, sahabat Imam Mālik, menjelaskan dirisalahnya dalam As-Sunnah, sesungguhnya Allah berkalam dengan SUARA. Ini lafalnya Ibnul-Qāsim, ia berkata: “Beriman adalah bahwa Allah berkalam kepada Mūsa bin ‘Imrān dengan SUARA, Mūsa mendengarnya dari Allah taala, bukan dari yang lainnya. Maka barangsiapa berkata selain ini (kalam Allah tidak bersuara) atau ragu-ragu, sungguh dia telah kafir”.
Ibnul-Qāsim yang disebutkan diatas adalah Al-Imām ‘Abū ‘Abdillāh ‘Abdurraḥman bin Al-Qāsim Al-‘Utaqī Al-Māliki (w. 191 H). Hal senada dengan beliau, juga dikatakan oleh Al-Imām Abū Muḥammad Al-Ḥasan bin ‘Alī Al-Barbahārī Al-Ḥanbalī (w. 329 H) berikut ini:
والإيمان بأن الله تبارك وتعالى هو الذي كلم موسى بن عمران يوم الطور وموسى يسمع من الله الكلام بصوت وقع في مسامعه منه لا من غيره، فمن قال غير هذا فقد كفر.
“Dan beriman adalah bahwa Allah tabāraka wa ta‘āla berbicara kepada Mūsa bin ‘Imrān pada suatu hari di bukit Aṭ-Ṭūr, dan Mūsa mendengar perkataan Allah dengan SUARA melalui telinganya secara langsung, bukan dengan perantara dari selainnya. Barangsiapa yang mengatakan selain ini, sungguh ia telah kafir.” [Syarḥus-Sunnah, no. 73]
Dengan demikian, Kalam Allah itu bersuara, tapi suara-Nya tidak sama dengan suara makhluk-Nya. Dan hal penting yang menjadi perhatian bersama adalah resiko apabila mengatakan hal yang berbeda dengan ini, sebagaimana penjelasan diatas.
Salam Persahabatan,