Oleh: Idrus Abidin.
Argumentasi Rasional Ahlu Sunnah Atsariyah Seputar Rasio Sebagai Dasar Intelektual Kedua Setelah Fitrah Dalam Studi Akidah/Teologi (Mengenal Allah) – Bagian Pertama
Masalah-masalah utama yang merupakan wilayah kajian akidah mencakup:
- Masalah ketuhanan. Yaitu masalah yang terkait dengan Allah swt dari sisi rububiyah-Nya, keesaan, asma dan sifat-sifat-Nya.
- Masalah kenabian. Yaitu masalah seputar kenabian, keterbebasan mereka dari beragam kesalahan dan dosa (‘ismah), tingkat kebutuhan manusia terhadap pengarahan para nabi serta mukjisat dan kitab suci yang mereka bawa.
- Masalah ghaib. Yaitu masalah seputara malaikat, jin, ruh, kehidupan di alam barzakh, kahidupan di akhirat dan juga masalah takdir. Dalam kategori filsafat, biasanya maslah ini ditinjau dari persfektif metafisika.
Sebelum lebih jauh membicarakan kerja akal dalam ranah akidah, sebaiknya kita melihat pemetaan ilmu pengetahuan berdasarkan pada kemampuan akal untuk memperolehnya. Dalam hal ini, al-Syatibi dalam kitab al-I’tisham membagi ilmu yang bisa masuk dalam jangkauan rasio menjadi tiga bagian:
- Pengetahuan yang sangat mendasar (pengetahuan fitrawi) Yaitu pengetahuan yang tidak bisa daragukan lagi kebenarannya, karena ia dibenarkan oleh semua orang dan mereka sama sekali tidak bisa menolaknya; seperti pengetahuan manusia tentang keberadaannya sendiri, bahwa dua lebih dari satu, dan ketidakmungkinan menyatukan dua hal yang bertentangan, atau hilangnya dua hal tersebut sekaligus.
- Pengetahuan teoretis (pengetahuan rasional). Yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui seperangkat teori dan sejumlah alasan yang mendasarinya. Pengetahuan jenis ini menuntut adanya dukungan dari jenis pengetahuan pertama yang mendasar (fitrah) seperti pada poin pertama, untuk memferivikasi kebenarannya. Dalam kategori inilah ilmu pengetahuan yang ada, terutama yang sifatnya pengetahuan sains, perlu dimasukkan. Bahkan terdapat ilmu yang dirancang melalui pengetahuan rasional secara murni.
- Pengetahuan yang tidak bisa diketahui melalui perangkat rasio murni, tetapi dibutuhkan pengarahan wahyu untuk memahaminya seperti pengetahuan masalah yang bersifat ghaib.[5]
Dalam masalah akidah, Islam menjadikan referensi utamanya adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, fitrah, rasio, dan indera. Dan, jika masalah akidah hendak dibatasi, maka masalah utama yang menjadi perhatian khusus al-Qur’an adalah masalah ketuhanan dan hari kiamat. Karenanya, memandang kerja rasio dalam ranah akidah, pembahasan difokuskan pada masalah ketuhanan Allah Ta’ala mencakup tiga aspek tauhid, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid asma’ was sifat dan tauhid uluhiyah dan masalah keimanan secara mendalam terhadap hari kebangkitan.
Namun demikian, jika kita mau melihat secara global metodologi akal dalam wilayah akidah ini, maka ditemukan hal-hal berikut:
- Islam menjadikan fitrah sebagai landasan utama untuk memasuki wilayah ini. Yang mana, agama merupakan penjelasan yang bersifat fitrawi dan manusia dari sejak awal kelahirannya juga dalam kondisi fitrah. Dengan meyakini fitrah sebagai keaslian manusia dan wahyu sebagai navigasi untuk memandu manusia untuk sampai ke kondisi fitrahnya, maka pengetahuan akidah juga berisi banyak argumenasi rasional yang bisa dipahami oleh akal dan diakses secara luas.
- Jika fitrah manusia tersebut berubah, sebagaimana realitas sekuler-liberal hari ini, dan membuat pandangannya makin kabur dalam menentukan standar kebenaran akibat dari pengaruh luar yang menginterfensi keyakinan manusia yang benar, maka wahyu datang dengan seperangkat argumenasi rasional untuk membangunkan dan memperbaiki kembali kerusakan fitrah yang terjadi. Argumenasi rasional demikianlah yang hendak dibuktikan melalui studi ini.
- Juga akal bekerja dalam rangka memaparkan masalah-masalah akidah dengan berusaha mendapatkan persfektif wahyu pada setiap sistematika akidah dengan metodologi akal tentunya sesuai batas-batas kemampuan maksimal rasio.
- Kerja akal yang dimaksud pada bidang akidah ini hanya terbatas pada pembuktian keberadaan sesuatu tanpa harus berusaha mendalami hakikatnya dan berusaha mencari tahu bentuk dan gayanya (kaifiyah). Karena dalam kerja-kerja demikianlah rasio sering kali tepeleset karena memasuki wilayah yang tidak masuk dalam ukuran kemampuannya. Seperti yang banyak terjadi dalam kajian filsafat rasional dan dalam metodologi ketuhanan yang digunakan oleh ahli kalam.
- Juga disinggung bahwa metode rasio demikian bukanlah seperti yang banyak dipaparkan oleh ahli kalam, karena metodologi mereka banyak dipengaruhi oleh persfektif filsafat yang mengandalkan akal untuk membahas masalah metafisika dengan hanya mengandalkan akal murni.[6]
Semoga kita mendapatkan manfaat dari pemaparan singkat ini. Aamiinn. Wallahu Yatawallas Shalihin.
Bersambung……in syaa Allah
Depok, 15 Oktober 2019.
Sumber :
[1] Al-Qamus al-Muhith,
[2] Al-Zunaidi, Mashadir al-Ma’rifah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1992.
[3] Nabil al-Samaluthi, Bina al-Mujtama al-Islami wanuzhumih, (Libanon : Dar al-Syurug), cet.2, th. 1408 H/1988 M, hal.23.
[4] Risalah al-‘Aqaid, Hasan al-Banna, Dikutip oleh Sulaiman al-‘Asyqar dalam kitab al-‘Aqidah Fillah, (Yordan : Dar al-Nafais), cet.15, hal.11, th. 1423 H/2004 M.
[5] Al-Syatibi, al-I’tisham, vol. hal.318-322., Lihat pula kitab Manahij al-Istidlal, hal.176
[6] Lihat: Al-Zunaidi, Abdul Rahman Zaid, Mashadir al-Ma’rifah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1992. hal.415.