Pada bulan Januari tahun 1956 M, Komite Fatwa di Al-Azhar yang Mulia, di bawah kepemimpinan Syekh Ḥasnan Muḥammad Makhlūf, mengeluarkan fatwanya mengenai sikap Islam terhadap pendirian apa yang disebut “Negara Israel”, terhadap negara-negara kolonial yang mendukungnya, dan terhadap perjanjian damai dengannya.
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Jawaban Komite Fatwa Al-Azhar yang Mulia
Komite Fatwa di Jami’ Al-Azhar bersidang pada hari Ahad, 18 Jumadil Ula tahun 1375 H, bertepatan dengan (1 Januari 1956 M).
Dipimpin oleh: Yang Mulia, Profesor Syekh Hasanain Muḥammad Makhlūf (Anggota Dewan Ulama Senior dan mantan Mufti Negeri Mesir).
Dan Keanggotaan Tuan-tuan Yang Mulia:
- Syekh ‘Īsā Mannūn (Anggota Dewan Ulama Senior dan mantan dekan Fakultas Syariah – Mazhab Syafi’i).
- Syekh Muḥammad Syaltūt (Anggota Dewan Ulama Senior – Mazhab Hanafi).
- Syekh Muḥammad Aṭ-Ṭunīkhī (Anggota Dewan Ulama Senior dan Direktur Pemberi Nasihat dan Bimbingan – Mazhab Maliki).
- Syekh Muḥammad ‘Abdul Laṭīf As-Sabṭī (Anggota Dewan Ulama Senior dan Direktur Inspeksi di Al-Azhar – Mazhab Hambali).
Serta dihadiri oleh: Syekh Zakariyā Al-Barī (Sekretaris Fatwa).
Komite menelaah permohonan fatwa berikut dan mengeluarkan fatwa sebagai berikut:
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, selawat dan salam atas pemimpin para utusan, junjungan kita Muhammad, serta keluarga dan sahabatnya semua.

Komite Fatwa Al-Azhar yang Mulia telah menelaah permohonan fatwa yang diajukan kepadanya mengenai hukum Syariat Islam dalam hal menandatangani perjanjian damai dengan Israel—yang telah merampas Palestina dari penduduknya, mengusir mereka dari kampung halaman, dan menelantarkan mereka, baik wanita, anak-anak, orang tua, maupun pemuda, ke berbagai penjuru bumi. Israel juga merampas harta benda mereka dan melakukan dosa-dosa paling keji di tempat-tempat ibadah, situs-situs bersejarah, dan tempat-tempat suci Islam.
[Fatwa juga diminta] mengenai hukum berkasih sayang dan bekerja sama dengan negara-negara kolonial yang mendukung dan terus mendukung agresi keji ini, serta memberikan bantuan politik dan materi untuk mendirikan negara Yahudi di wilayah Islam ini, di antara negara-negara Islam.
[Fatwa juga diminta] mengenai hukum aliansi-aliansi yang diserukan oleh negara-negara kolonial, yang salah satu tujuannya adalah memungkinkan Israel untuk memperluas wilayahnya dan menarik imigran ke sana. Hal-hal ini bertujuan untuk menguatkan eksistensinya dan memperkuat kekuasaannya; yang pada akhirnya akan mencekik negara-negara tetangganya dan meningkatkan ancaman terhadap mereka, serta mempersiapkan diri untuk memusnahkan mereka.
Hukum Berdamai Sebagaimana yang Dikehendaki Para Penyerunya
Komite menyatakan bahwa berdamai dengan Israel—sebagaimana yang diinginkan oleh para penyerunya—tidak diperbolehkan secara syariat, karena di dalamnya terdapat persetujuan bagi perampas untuk melanjutkan perampasannya, pengakuan atas keabsahan tangannya atas apa yang telah ia rampas, dan justifikasi bagi penjajah untuk melanjutkan klaimnya.
Semua syariat, baik yang bersifat samawi maupun waḍh’iyyah (buatan manusia), telah sepakat mengenai keharaman perampasan dan kewajiban mengembalikan barang yang dirampas kepada pemiliknya. Syariat juga mendorong pemilik hak untuk membela dan menuntut haknya.
Dalam hadis mulia disebutkan:
- “Barangsiapa yang terbunuh demi hartanya, maka dia adalah syahid, dan barangsiapa yang terbunuh demi kehormatannya, maka dia adalah syahid.”
- Dalam hadis lain: “Pada tangan itu terdapat apa yang diambilnya hingga ia mengembalikannya.”
Apa yang Wajib Dilakukan Umat Islam
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi umat Islam untuk berdamai dengan orang-orang Yahudi ini yang telah merampas tanah Palestina dan melakukan agresi terhadap penduduk dan harta benda mereka, dalam bentuk apa pun yang memungkinkan Yahudi untuk tetap menjadi negara di tanah Islam yang suci ini.
Sebaliknya, wajib bagi mereka untuk bekerja sama—dari berbagai bahasa, warna kulit, dan ras mereka—untuk mengembalikan negeri ini kepada penduduknya, dan untuk menjaga Masjid Al-Aqsa—tempat turunnya wahyu dan tempat salat para Nabi yang diberkahi Allah di sekitarnya—serta menjaga situs-situs bersejarah dan tempat-tempat suci Islam dari tangan para perampas ini.
Wajib bagi mereka untuk membantu para mujahidin dengan senjata dan segala kekuatan lain untuk berjihad di jalan ini dan mengerahkan segala kemampuan mereka hingga negeri itu dibersihkan dari jejak-jejak para tiran dan penyerang ini.
Hukum Mengabaikan Kewajiban Ini dan Konsekuensinya
Allah berfirman:
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; padahal Allah mengetahuinya.” — QS. Al-Anfal:60
Barangsiapa yang lalai, atau mengabaikannya, atau menciutkan nyali kaum Muslimin darinya, atau menyerukan kepada hal-hal yang dapat memecah belah kesatuan dan memungkinkan negara-negara penjajah dan Zionisme untuk melaksanakan rencana mereka terhadap bangsa Arab dan Islam, serta terhadap wilayah Arab dan Islam ini; maka menurut hukum Islam dia adalah: “Orang yang memisahkan diri dari jamaah Muslim dan melakukan dosa terbesar.”
Sifat Permusuhan Yahudi: Dahulu dan Sekarang
Bagaimana mungkin [ia berbuat demikian], padahal semua orang tahu bahwa Yahudi telah melakukan makar yang paling keras terhadap Islam, penduduknya, dan wilayahnya, sejak masa kenabian hingga sekarang, dan bahwa mereka berniat untuk tidak berhenti pada agresi terhadap Palestina dan Masjid Al-Aqsa saja. Melainkan, rencana terencana mereka meluas hingga menguasai negeri-negeri Islam yang terletak di antara Sungai Nil dan Eufrat.
Jika kaum Muslimin secara keseluruhan—dalam pandangan Islam—adalah “satu kesatuan yang tidak terpisahkan” dalam hal membela kehormatan Islam; maka wajib secara syariat bagi mereka untuk menyatukan suara demi menghalau bahaya ini dan membela serta membebaskan negeri ini dari tangan para perampas.
Allah berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai berai.” — QS. Ali Imran:103
Juga Firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang agung.” — QS. At-Taubah:111
Firman-Nya pula:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut (syaitan dan sekutunya). Oleh karena itu, perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” — QS. An-Nisa’:76

Hukum bekerja sama dengan negara-negara yang membantu entitas Zionis
Adapun bekerja sama dengan negara-negara yang mendukung kelompok zalim ini, memberi mereka uang dan persenjataan, serta memungkinkan mereka bertahan di negeri-negeri ini, maka hal itu tidak diperbolehkan secara syar’i (secara hukum Islam), karena hal itu termasuk membantu mereka dalam kezaliman dan mendukung posisi permusuhan mereka terhadap Islam dan negeri-negeri kaum Muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu untuk bergaul dengan orang-orang yang memerangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari kampung halamanmu, dan mereka membantu (orang lain) untuk mengusirmu.” — QS. Al-Mumtahanah:9
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, serta memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah bahwa golongan Allah itu adalah orang-orang yang beruntung.” — QS. Al-Mujadalah:22
Membatalkan alasan untuk bersandar kepada musuh
Allah mengumpulkan dalam satu ayat semua alasan yang mungkin dimiliki manusia seperti rasa cinta kepada keluarga, hubungan kekeluargaan, kekhawatiran atas harta dan perdagangan yang takut rugi, dan sebagainya, kemudian memerintahkan untuk memutuskan hubungan dengan musuh dan melarang orang beriman untuk terpengaruh oleh alasan-alasan tersebut sehingga memihak musuh, firman Allah:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kerabat kalian, harta yang kalian peroleh, perdagangan yang kalian khawatirkan akan rugi, dan tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” — QS. At-Taubah:24
Bentuk-bentuk dukungan terhadap musuh yang dilarang
Tidak diragukan lagi bahwa mendukung musuh dan bersahabat dengan mereka sama saja, baik dalam bentuk pemberian bantuan materi yang memperkuat posisi mereka, pikiran, ideologi, senjata, kekuatan, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya haram bagi Muslim, meskipun ada berbagai alasan dan pembenaran.
Dari sini dapat dipahami bahwa aliansi yang diprakarsai oleh negara-negara penjajah dan yang berusaha menyebarkan perpecahan di antara negara-negara Islam serta memperkuat posisi mereka di wilayah Islam untuk melaksanakan kebijakan mereka terhadap umat Islam:
Tidak boleh bagi negara Islam mana pun untuk menerima atau ikut serta dalam aliansi semacam itu karena bahayanya yang sangat besar terhadap negeri-negeri Islam, terutama Palestina yang menjadi saksi dan korban, yang diserahkan oleh negara-negara penjajah kepada kelompok Zionis yang aniaya, sebagai bentuk permusuhan terhadap Islam dan umatnya serta untuk membentuk negara Zionis di tengah-tengah wilayah Islam sebagai pijakan bagi mereka untuk melaksanakan tujuan penjajahan yang merugikan umat Islam, harta benda, dan tanah mereka.
Hal ini juga merupakan bentuk nyata dari moalah (loyalitas) yang dilarang secara syar’i, sebagaimana firman Allah:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang mengambil mereka menjadi wali dari kalanganmu, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” — QS. Al-Ma’idah:51
Peringatan tentang penyakit hati yang menyebabkan loyalitas kepada musuh
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa loyalitas kepada musuh adalah akibat dari penyakit hati yang membuat pelakunya tunduk dan menyerah kepada musuh, firman Allah:
“Maka engkau lihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, mereka bergegas dalam (mendukung) mereka seraya berkata, ‘Kami takut akan ditimpa bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keputusan dari sisi-Nya, lalu mereka menyesal atas apa yang mereka rahasiakan dalam hati mereka.” — QS. Al-Ma’idah:52
Kewajiban Persatuan serta menghalangi segala bentuk kekuatan yang dimiliki oleh entitas penjajah.
Demikian pula, secara syar’i (hukum Islam) haram bagi kaum Muslimin untuk memudahkan Israel dan negara-negara penjajah di belakangnya yang menjamin perlindungan dan kelangsungan hidupnya, dalam melaksanakan proyek-proyek yang bertujuan memajukan negara Yahudi dan membuatnya hidup dalam kemewahan serta subur di bumi, sehingga menjadi negara yang memusuhi bangsa Arab dan Islam di tanah-tanah mereka yang paling berharga, serta merusak negeri-negeri dengan kerusakan yang sangat parah lalu merencanakan keburukan bagi kaum Muslimin di berbagai wilayah mereka.
Kaum Muslimin wajib menghalangi hal tersebut dengan sekuat tenaga dan berdiri sebagai satu barisan dalam membela wilayah Islam serta menggagalkan konspirasi jahat yang bermula dari proyek-proyek berbahaya ini. Barang siapa yang lalai dalam hal ini, membantu pelaksanaannya, atau bersikap pasif terhadapnya, maka dia telah melakukan dosa besar.
Hukum Penekanan Ekonomi terhadap Entitas Penjajah
Kaum Muslimin harus mengikuti jejak Rasulullah ﷺ dan meneladani beliau, yang menjadi teladan terbaik dalam sikap beliau terhadap kaum Quraisy dan kesewenang-wenangan mereka setelah mengusir beliau dan para sahabatnya — semoga Allah meridhoi mereka — dari tanah air mereka, menghalangi mereka dari harta benda mereka dan pelaksanaan ibadah mereka, serta menajiskan Ka’bah dengan penyembahan berhala dan patung.
Allah memerintahkan beliau untuk menyiapkan perlengkapan guna membebaskan rumah sucinya dari tangan para penyerang, serta mengekang kehidupan mereka yang menjadi sumber kekuatan mereka. Rasulullah ﷺ mulai mengekang kekuatan ekonomi mereka yang menjadi tumpuan mereka, hingga terjadilah peperangan antara pasukan petunjuk dan pasukan kesesatan, hingga Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada beliau dan membukakan Makkah yang dulunya merupakan benteng orang-orang musyrik, sehingga beliau menyelamatkan orang-orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, membersihkan rumah sucinya dari najis berhala, memberantas syirik dan kezaliman.
Perbedaan Kasus Makkah dan Palestina
Namun ada perbedaan yang penting untuk diperhatikan, yaitu bahwa Makkah dulunya merupakan negeri yang menjadi tempat tinggal bersama antara orang beriman dan orang musyrik; sedangkan tanah Palestina adalah milik kaum Muslimin dan bukan milik Yahudi, yang tidak memiliki pemerintahan atau negara di sana. Namun demikian, Allah Ta’ala tidak membiarkan Makkah tanpa tegaknya kebenaran, menghancurkan kebatilan, mengembalikan negeri itu kepada kaum Muslimin, dan menundukkan kesyirikan dan para musyrik di dalamnya.
Allah memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk memerangi para penyerang, firman-Nya:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu.” — QS. Al-Baqarah:191
Perintah Syari’at untuk Membalas Serangan dan Menolak Kezaliman serta Menyingkirkan Kemungkaran
Allah Ta’ala mengingatkan kaum Muslimin untuk membalas serangan sebagaimana firman-Nya:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“Maka barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia dengan serangan yang setimpal dengan serangannya terhadap kamu.” — QS. Al-Baqarah:194
Salah satu prinsip Islam adalah memerangi setiap kemungkaran yang membahayakan manusia dan negeri, dan jika penghilangan kemungkaran itu wajib dalam semua keadaan, maka dalam kondisi serangan ini wajib hukumnya dan lebih wajib lagi; sebab para penyerang ini tidak hanya mengusir kaum Muslimin dari tanah mereka, merampas harta benda mereka, dan mengusir mereka ke pengungsian, tetapi juga melampaui itu dengan menyerang sesuatu yang diagungkan oleh semua agama samawi, yaitu penghormatan terhadap masjid dan tempat ibadah.
Allah berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang masjid-masjid Allah untuk disebut di dalamnya nama-Nya, serta berusaha merusaknya? Mereka itu tidak seharusnya memasukinya kecuali dalam keadaan takut. Mereka akan mendapat kehinaan di dunia dan bagi mereka siksa yang besar di akhirat.” — QS. Al-Baqarah:114
Penutup
Demikianlah hukum Islam mengenai masalah Palestina, Israel, dan para pendukungnya dari negara-negara penjajah dan lainnya, serta apa yang diinginkan Israel dan pendukungnya dari proyek-proyek yang mengangkat derajat mereka, dan kewajiban kaum Muslimin terhadap hal itu.
Ini dijelaskan oleh Komite Fatwa Al-Azhar yang menyerukan kepada seluruh kaum Muslimin agar berpegang teguh pada tali Allah yang kokoh, bangkit untuk meraih kehormatan dan martabat, menolak kelemahan dan kepasrahan di hadapan serangan para aniaya dan tipu daya musuh, serta menyatukan langkah untuk menegakkan hak Allah dan hak generasi yang akan datang demi mengangkat agama mereka yang lurus.
Kami memohon kepada Allah agar meneguhkan hati mereka dengan iman kepada-Nya, membela agama-Nya, dan mengerjakan apa yang diridhai-Nya. Dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui.
Sumber Fatwa:
Majalah Al-Azhar jlid 27 tahun 1955-1956 M, hal. 682-686.
Sumber Buku: Fatawa Al-Azhar fii Wujub Al-Jihad wa Tahrim At-Ta’amul ma’al Kiyan Ash-Shahyuni, Editor: Syekh Jawwad Riyadh, hal. 57-64.