Di dalam peperangan, ada yang namanya Tactical Objective (taktis) vs Strategic Objective (strategis).
- Tujuan taktis itu bersifat jangka pendek, lokal, dan terbatas, yang dicapai melalui aksi langsung di medan tempur, di mana biasanya punya ciri: fokus pada pertempuran tertentu dicapai oleh unit-unit tingkatan batalyon, brigade, atau divisi, dan dampaknya terbatas secara geografis serta bersifat temporal.
- Tujuan strategis itu bersifat jangka panjang dan berskala nasional, dan kaitannya adalah dengan hasil akhir peperangan atau perubahan politik dan militer secara menyeluruh, di mana cirinya adalah: menentukan arah keseluruhan perang, diputuskan di level pemimpin negara atau komando tertinggi militer, dan mempengaruhi politik, ekonomi, dan moril bangsa.
Kalah di dalam pertempuran tetapi menang di dalam peperangan – terkadang secara taktis mungkin suatu operasi militer itu tampaknya “kalah” atau “merugikan”, akan tetapi secara strategis justru “kemenangan” yang besar.
Contohnya adalah:
Serangan Oemoem 1 Maret 1949
Ini adalah operasi militer yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap pendudukan Belanda di Djogdjakarta, yang saat itu merupakan ibu kota Republik Indonesia yang sedang dalam kekuasaan Belanda (setelah Agresi Militer II / Operatie Kraai pada 19 Desember 1948). Operasi ini adalah atas inisiatif dari Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX, direstui oleh Panglima Besar Djendral Soedirman, dan sebagai pelaksana lapangan Overste Soeharto (Komandan Brigade X / Wehrkreis III).
Di dalam serangan ini, pasukan TNI berhasil merebut kota Djogdjakarta selama sekitar 6 jam, sebelum kemudian akhirnya dipukul mundur kembali ke luar kota oleh pasukan KNIL.
Meski secara taktiks militer bisa dikatakan operasi ini sangat minim (karena hanya berhasil menguasai Djogdjakarta selama 6 jam), namun dampaknya secara strategis sangatlah besar, yaitu:
- Dalam Negeri
- Meningkatkan semangat perjuangan rakyat semesta, karena ini membuktikan bahwa TNI masih kuat dan mampu melakukan suatu serangan terbuka.
- Memperkuat legitimasi Pemerintah Republik Indonesia di mata rakyat, walau Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta berhasil ditangkap Belanda, namun masih ada Pemerintahan Daroerat Repoeblik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Buya Sjafroeddin Prawiranegara رحمه اللـه تعالى di pedalaman Ranah Minang yang terus update berita perjuangan di tengah hutan dengan radio Yankee Bravo Juliet-6 (YBJ-6) di frekuensi 3035 KC/8.
2. Luar Negeri
- Memberikan bukti kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis dan tidak “musnah” seperti yang diklaim oleh Belanda.
- Mempengaruhi opini dunia internasional yang kemudian mempercepat tekanan terhadap Belanda, termasuk dari PBB dan Amrik, agar Belanda segera kembali ke meja perundingan, sehingga menjadi momentum diplomatik yang akhirnya ikut mendorong terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Tet Offensive 30 Januari 1968
Ini adalah serangan militer besar-besaran yang dilancarkan oleh pasukan Vietnam Utara dan Viet Cong (nama ini adalah ejekan, karena aslinya namanya adalah: Mặt trận Dân tộc Giải phóng miền Nam Việt Namdan / National Liberation Front of South Vietnam) terhadap Vietnam Selatan dan pasukan Amrik yang bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek (Tet). Serangan ini mencakup lebih dari 100 kota dan pangkalan militer, termasuk serangan besar-besaran di kota Saigon dan kota Huế.
Tet Offensive yang dirancang oleh Jend Võ Nguyên Giáp, direstui oleh Lê Duẩn (SekJen Partai Komunis Vietnam), dan dipimpin di lapangan oleh Jend Văn Tiến Dũng, walau secara taktis Vietnam Utara dan Viet Cong menderita kekalahan karena berhasil dipukul mundur dan menderita kerugian yang sangat besar (≈90.000 prajurit tewas) namun secara strategis adalah kemenangan karena bisa dikatakan Tet Offensive adalah titik balik psikologis dalam Perang Vietnam, sebab secara strategis akibatnya:
- Di dalam negeri Vietnam:
- Semangat rakyat Vietnam Selatan jadi sangat turun karena kekacauan dan kerusakan yang terjadi sangat luas.
- Dukungan terhadap Viet Cong meningkat di beberapa daerah karena ketidakpuasan terhadap pemerintahan Vietnam Selatan.
2. Di Amrik:
- Meskipun secara militer AS berhasil memukul mundur serangan, namun media massa menampilkan intensitas serangan sebagai bukti bahwa perang yang terjadi tidak berjalan sebaimana yang didengung-dengungkan oleh rezim Presiden Lyndon B Johnson (LBJ) sehinga LBJ kehilangan dukungan politik dan ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali.
- Kepercayaan publik terhadap Pemerintah AS menurun drastis, terutama karena sebelumnya diklaim bahwa kemenangan sudah dekat.
- Meningkatkan gerakan anti-perang di Amrik yang menggoyang legitimasi politik perang, khususnya di mata publik Amerika.
Sebenarnya contoh “kalah di dalam pertempuran tetapi menang di dalam peperangan” ini pun ada di dalam Siroh Nabawiyyah, yaitu:
Pertempuran Mu’tah
Expedisi tempur Mu’tah itu tujuannya adalah pembalasan atas pembunuhan utusan kaum Mu’minīn oleh Ḥāriṫ ibn Ùmair (pemimpin kabilah Ġossān, vassal dari Byzantium) dan menjaga harga diri kaum Mu’minīn dan mencegah agresi Byzantiun di masa mendatang.
Sebenarnya secara taktis pertempuran, kaum Mu’minīn itu bisa dikatakan “kalah” dengan ṡahīdnya 3 pemimpin pasukan kaum Mu’minīn (Zaid ibn Ḥāriṫah al-Kalbiyy, Ja`far ibn Abī Ṭōlib, Àbdullōh ibn Rowāḥah رضي اللـه تعالى عنهم). Namun setelah kepemimpinan diambil alih oleh Ḳōlid ibn al-Walīd ibn al-Muġīroh al-Maḳzūmiyy رضي اللـه تعالى عنه berdasarkan keputusan kaum Mu’minīn, maka Ḳōlid ibn al-Walīd pun menunjukkan kualitasnya sebagai “one of the Greatest Military General in History of Mankind” dengan menggunakan manuver medan perang yang sangat brilyan dan siasat pengelabuan yang sangat cerdik, Ḳōlid berhasil menembus garis pertahanan musuh sehingga pasukan kaum Mu’minīn dapat mundur dengan selamat ke Madīnah dengan kerugian lebih lanjut yang sangat minimal mengingat dari awal saja jumlah kaum Mu’minīn yang ≈3.000 orang itu kalau jauh dibanding pasukan Byzantium yang diperkirakan antara 10.000 s/d 20.000 orang.
Ḳōlid ibn Walīd رضي اللـه تعالى عنه berhasil memberikan kemenangan strategis bagi kaum Mu’minīn berupa:
- Menunjukkan bahwa negara Muslim yang baru lahir sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan karena dapat menghadapi negara adikuasa Byzantium.
- Mengirim pesan yang sangat kuat dan jelas kepada Byzantium dan suku-suku Àrab yang bersekutu dengannya.
- Memberikan pengalaman kepada kaum Mu’minīn di dalam konflik internasional di luar Ḥijāz.
- Mempertahankan kendali atas sekutu-sekutu dan perbatasan Negara Islām.
Maka hendaknya kaum Muslimīn yang benar keīmānannya memandang Àmaliyyah Ṭoufānil-Aqṣō 7 Oktober 2023 sebagai suatu “KEMENANGAN STRATEGIS” kaum Muslimīn Palestina atas penjajahan Yahūdiyy Zionist.
Sebab:
Mayoritas penduduk Dunia tahu betapa kejam dan bengisnya penjajah koloni pemukim illegal Yahūdiyy Zionist Isra-Hell terhadap bangsa Palestina.
Janganlah sesat memandang dari sisi taktis jangka pendek saja dengan menganggap Mujāhiddīn Palestina itu kalah dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi rakyat Palestina, seperti yang dilakukan oleh kaum Munāfiqīn PENDAKU Salafiyy sekte Ṣohyūniyyah.
Demikian semoga dapat dipahami.
Rujukan:
- https://www.academia.edu/73154354/BUKU_NASKAH_AKADEMIK_SERANGAN_UMUM_1_MARET_1949_SEBAGAI_HARI_NASIONAL_PENEGAKAN_KEDAULATAN_NEGARA
- William Thomas Allison (ed), The Tet Offensive: A Brief History with Documents.
- James H Willbanks, The Tet Offensive.
- Philip K Hitti, History of the Arabs.
- David Nicolle, Armies of the Muslim Conquest.
M. Arsyad Syahrial SE, MF
Pengamat Ekonomi dan Pergerakan Islam
Alumni RMIT University, Melbourne, Australia