Hukum Makan Buah di Kebun Orang

Hukum Makan Buah di Kebun Orang

Tanya:

Oh ya ustadz, setelah ana selamat dari pengeboman di Tharthus kemarin ana harus berjalan jauh bersama seorang teman. Kami berdua hanya satu senjata karena senjata ana ketinggalan di mobil yang hancur. Lalu kami melewati kebun jeruk milik orang alawite di situ dan karena ana sudah kehausan ana ambil satu buah jeruknya. Apakah ini dibolehkan, karena saat itu tidak ada orang dan kami tidak berani memanggil dikhawatirkan kami dikepung, karena alawite ini menganggap kami ancaman bagi mereka.

AF, Idlib, Suriah.

Jawab:

Dibolehkan bagi musafir apalagi kelaparan untuk mengambil buah yang dilewatinya meski itu dimiliki oleh seorang muslim, maka tentu lebih boleh lagi bila dimiliki orang kafir seperti sekte alawite yang para ulama sudah sepakat akan kekafirannya.

Apalagi antum statusnya dalam jihad fii sabilillah yang punya beberapa dispensasi.

Para ulama memang berbeda pendapat tentang rinciannya, tapi kalau diperhatikan untuk kasus di atas sepertinya akan ketemu takhrij fiqhi (kesimpulan analisi fikih) bahwa itu dibolehkan. Penyebabnya adalah keadaan lapar atau haus serta safar.

Di antara madzhab yang tegas membolehkan orang lewat dan kelaparan untuk memetik buah atau memungut yang gugur untuk sekedar makan tapi tidak dibawa pulang adalah madzhab Hanbali. Dalam madzhab ini boleh diambil dan dimakan begitu saja tanpa harus mengganti dengan apapun.

Dalilnya adalah beberapa hadits:

  1. Hadits Abdullah bin Amr bin Ash Ra, dia menceritakan,

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَدْخُلُ الْحَائِطَ؟ قَالَ: ” يَأْكُلُ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً

“Rasulullah saw ditanya tentang seorang yang masuk kebun terpagar (ha`ith) (orang lain)

Maka beliau menjawab, “Dia boleh makan tanpa mengantongi.” (Musnad Ahmad, no. 1710, dianggap hasan oleh Al-Arnauth).

Redaksi lain dari sunan Abi Daud dan At-Trimidzi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ؟ فَقَالَ: مَنْ أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ.

“Bahwa Nabi saw ditanya tentang buah yang masih tergantung (di pohon) maka beliau menjawab, “Siapa yang punya keperluan (lapar dll –penerj) tanpa mengantongi maka tidak ada apa-apa atasnya.” (Sunan Abi Daud, no. 1710, Sunan At-Tirmidzi, no. 1289, dan dia mengatakan ini hadits hasan).

  1. Hadits Abdullah bin Umar bin Khaththab RA, Rasulullah saw bersabda,

مَنْ دَخَلَ حَائِطًا فَلْيَأْكُلْ، وَلاَ يَتَّخِذْ خُبْنَةً

“Siapa yang masuk kebun berpagar maka dia boleh makan (buahnya) tapi jangan mengantongi (dibawa keluar kebun).” (HR. At-Tirmidzi, no. 1287).

  1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah saw bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ عَلَى رَاعِي إِبِلٍ فَنَادِ: يَا رَاعِيَ الْإِبِلِ ثَلَاثًا، فَإِنْ أَجَابَكَ وَإِلَّا فَاحْلُبْ وَاشْرَبْ مِنْ غَيْرِ أَنْ تُفْسِدَ، وَإِذَا أَتَيْتَ عَلَى حَائِطِ بُسْتَانٍ، فَنَادِ: يَا صَاحِبَ الْحَائِطِ ثَلَاثًا، فَإِنْ أَجَابَكَ وَإِلَّا فَكُلْ

Baca Juga:  Bayar Fidyah Satu Kali Makan atau Tiga Kali?

“Jika kamu datang ke penggembala onta maka panggillah, “wahai pengembala onta!” sebanyak tiga kali. Kalau dia menjawabmu (maka tunggu) tapi kalau tidak maka boleh kamu perah susu ontanya dan kamu minum tanpa membuat kerusakan.

Jika kamu masuk ke kebun berpagar maka kamu juga memanggil, “Wahai pemilik kebun!” sebanyak tiga kali. Bila dia menjawab (maka tunggu), tapi bila tidak maka kamu boleh memakan buah yang ada di situ.” (HR. Ahmad, no. 11159).

  1. Hadits Rafi’ bin ‘Amir, dia berkata,

كُنْتُ أَرْمِي نَخْلَ الأَنْصَارِ، فَأَخَذُونِي، فَذَهَبُوا بِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَافِعُ، لِمَ تَرْمِي نَخْلَهُمْ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، الجُوعُ، قَالَ: لاَ تَرْمِ، وَكُلْ مَا وَقَعَ أَشْبَعَكَ اللَّهُ وَأَرْوَاكَ

“Aku pernah melempar buah kurma milik orang-orang Anshar maka mereka membawaku kepada Rasulullah, dan beliaupun berkata padaku, “Hei Rafi’ kenapa kau lempar kurma mereka?”

Aku jawab, “Karena lapar ya Rasulullah.”

Beliau berkata, “Jangan melempar, cukup kau makan saja apa yang gugur semoga Allah mengenyangkanmu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1288 dan dia katakana hasan gharib).

Di sini Rasulullah hanya melawang melempar, karena pastinya akan merusak buah tapi tidak melarang mengambil yang jatuh dari pohon. Itu menunjukkan bahwa kalau orang yang lapar mengambil hanya yang jatuh atau mudah dicapai maka tidak mengapa.

  1. Hadits Abbad bin Syurahbil Ra yang ada dalam Sunan Abi Daud, no. 2620 yang intinya Abbad ini kelaparan dan memetik bulir gandum dari ladang orang dan dia membawanya di bajunya. Dia ditangkap pemilik kebun lalu dibawa kepada Rasulullah dan bajunya disita. Maka Rasulullah setelah tahu bahwa Abbad melakukan itu karena lapar maka Rasulullah mengatakan kepada pemilik ladang,

«مَا عَلَّمْتَ إِذْ كَانَ جَاهِلًا، وَلَا أَطْعَمْتَ إِذْ كَانَ جَائِعًا»

“Tidak kalian beritahu dia kalau dia tak tahu tak pula kalian beri makan dia kalau dia lapar.”

Lalu beliau menyuruh melepaskan Abbad dan memberinya sewasaq bahan makanan.

Ini menunjukkan kalau orang lapar atau terpaksa maka boleh mengambil ala kadarnya sekedar untuk makan.

  1. Atsar Sahabat.

Ibnu Zanjawaih meriwayatkan dalam kitab Al-Amwaal hal. 372:

602 – حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، ثنا عَبَّادُ بْنُ عَوَّامٍ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي زَيْنَبَ، قَالَ: سَافَرْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ فَكَانُوا يَمُرُّونَ عَلَى الثِّمَارِ فَيَأْكُلُونَ فِي أَفْوَاهِهِمْ

“Ibrahim bin Musa menceritakan kepadaku, Abbad bin Awwam menceritakan kepadaku, dari ‘Ashim, dari Abu Zainab yang berkata, “Aku pernah safar bersama Anas bin Malik, Abu Hurairah dan Abdurrahman bin Samurah. Mereka ini biasa kalau melewati ada buah maka mereka makan di tempat dari pohonnya.”

Ibnu Qudamah juga mengutip riwayat ini dalam Al-Mughni. Syekh Al-Albani menyebutkan dalam Irwa` Al-Ghalil tapi beliau tidak tahu siapa itu Abu Zainab. Muhaqqiq kitab Al-Amwwal Dr Syaqiq Dzib Fayyadh juga tak bisa memastikan hanya mengira dia adalah Mawla Hazim bin Harmalah Al-Ghifari dan dia majhul.

Baca Juga:  Memberikan Daging Kurban Kepada Non Muslim

Referensi:

  1. At-Tirmidzi mengatakan dalam sunannya 3/575:

وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ لاِبْنِ السَّبِيلِ فِي أَكْلِ الثِّمَارِ، وَكَرِهَهُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ بِالثَّمَنِ.

“Sebagian ulama memberi keringan bagi musafir yang dalam perjalanan untuk makan buah ini, tapi sebagian lagi melarangnya kecuali dengan ganti uang.”

  1. An-Nafrawi salah satu ulama madzhab Maliki dalam kitabnya Al-Fawakih Ad-Dawani jilid 2, hal. 284 mengatakan,

وَقَعَ الْخِلَافُ بين الْعُلَمَاءِ في الْأَكْلِ مِمَّا يَمُرُّ عليه الْإِنْسَانُ في الطَّرِيقِ من نَحْوِ الْفُولِ وَالْفَوَاكِهِ وَلَبَنِ الْغَنَمِ بِغَيْرِ إذْنِ الْمَالِكِ وَمُحَصِّلُهُ الْجَوَازُ لِلْمُحْتَاجِ من غَيْرِ خِلَافٍ

“Terjadi beda pendapat antara para ulama tentang makan sesuatu di jalan yang dilewati berupa kacang atau buah atau susu kambing tanpa izin pemiliknya. Hasilnya adalah boleh bagi yang memerlukan tanpa perbedaan pendapat.”

Maksudnya bagi yang punya hajat karena lapar atau haus maka dibolehkan tanpa ada beda pendapat di kalangan para ulama Malikiyyah. Adapun bagi yang tidak berhajat, dalam arti hanya ingin menikmati atau coba-coba maka ada rinciannya dalam kitab tersebut dan An-Nafrawi menyimpulkan tidak boleh.

  1. Abu Ya’la dalam Al-Masa`il Al-Fiqhiyyah fii kitab Ar-Riwayatain wal Wajhain, tahqiq Dr. Abdul Karim Muhammad al-Lahim jilid 3, hal. 33:

22 – مسألة: إذا مر الإنسان ببستان غيره وفيه ثمرة معلقة وهو في الحضر ولا ضرورة به وليس عليه حائط فهل يجوز له أن يأكل من تلك الثمرة من غير إذن ولا ضمان أم لا؟
نقل صالح عنه أنه قال: أرجو أن لا يكون به بأس إذا كان مسافراً إنما الرخصة للمسافر، فظاهر هذا أنه ممنوع منه في الحضر.

“Jika seseorang melewati sebuah kebun orang lain dan di dalamnya ada buah yang tergantung sementara dia tidak dalam keadaan safar serta tidak ada darurat tapi kebun itu tidak berpagar, maka bolehkah dia mengambil buah itu tanpa izin dan adakah ganti yang harus dia bayar?

Shalih menukil dari beliau (Imam Ahmad) bahwa beliau berkata, “Aku harap tidak mengapa untuk musafir.” Jadi rukhshahnya hanya untuk musafir dan zahirnya terlarang untuk yang bukan musafir.”

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta

Bagikan Artikel:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *