“Mas, Mas.. Tolong, Mas..!”
Tiba-tiba rombongan santri Bina Insan Kamil Jakarta yang sedang turun dari puncak Gunung Sindoro mendengar suara pemuda yang sedang terduduk di tepian trek pendakian dengan kondisi pergelangan kaki terkilir dan tak mampu lagi berjalan. Rupanya ia habis jatuh terpeleset dan kakinya membentur batu cukup keras.
Jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung memang tergolong ekstrim. Hampir sepanjang trek yang dimulai dari Pos 1 berupa tanah dan bebatuan licin karena bercampur dengan kerikil-kerikil yang membuat sulit sepatu menapak dengan baik. Sedikit saja salah posisi bisa berakibat terpeleset, apalagi di musim kemarau yang berdampak pada timbunan debu sangat tebal. Banyak pendaki yang pasrah memilih turun dengan cara merosot duduk bertumpu pada pantat. Memang agak lebih aman dari pada ragu-ragu harus tetap berjalan meski resiko celana kotor dan mungkin robek juga bisa saja didapat.
Malah ada beberapa pendaki yang rada protes kepada pihak pengelola. Mereka mengeluhkan jalur pendakian yang terlalu susah dan membahayakan bagi para pendaki. Dan memang ada wacana pihak pengelola akan membuat jalur baru. Mereka menjelaskan bahwa jalur sekarang yang ada memang jalur lama yang sering terjadi longsor bila musim hujan hingga mengakibatkan rusaknya trek.
“Teman-temannya mana, Mas?”
Tanya salah seorang santri bernama Yusuf yang merasa heran kenapa bisa sendirian mendaki karena pada umumnya jarang sekali ada pendaki solo hiking.
“Teman-teman saya sudah jalan duluan, Mas.”
Terangnya dengan muka meringis menahan rasa sakit.
“Kok bisa ninggalin? Kan bahaya kalau kaya gini!”
Eko, temannya Yusuf pun kesal mendengar jawabannya.
“Ya sudah, Mas, gini aja… Mas tunggu aja di sini dan kita semua turun. Kami usahakan jalan secepatnya buat ngabarin petugas Pos Pantau di Selter sekalian kalau ketemu sama teman-teman, Mas, biar kita kasih tau.”
Giliran Fujiyanto bicara dan mencoba menenangkan si Mas yang jatuh.
“Tolong, Mas.. Tolong jangan tinggalin saya sendiri.”
Dengan memohon dan memelas si Mas meminta rombongan santri agar tetap menemani.
Akhirnya semuanya bingung. Karena kalau tetap ditemani di sini lalu siapa yang menghubungi Pos?
Sepertinya si Mas kena mental karena kakinya terkilir dan tak bisa jalan, dan terbayang akan sendirian meringkuk hingga malam tiba.
Memang malang benar si Mas yang jatuh ini. Bekal makanan dan air minum buat jalan sudah habis, lalu tak membawa alat pendakian apapun, ditambah jaket penahan dingin tidak ada pula. Lengkap sudah kekonyolannya. Lebih parahnya ternyata setiap ada pendaki yang turun pun ketika ditanya dan sedikit dimintai sisa-sisa bekal logistik pun sudah habis semua.
Sebenarnya bisa saja rombongan santri ini nekat meninggalkan si Mas demi mempercepat jalan untuk menyampaikan ke Pos Pantau, apalagi sebenarnya mereka juga beradu waktu dengan jadwal kepulangan bus travel yang telah disewa. Namun hati nurani tidak bisa dipaksa, tetap ada rasa kasihan dan rasa kemanusiaan.
“Yaah.. susah juga ternyata jadi orang baik. Kita pengen bantuin tapi kita sendiri diburu waktu.”
Ujar Yusuf kepada sesama santri. Terlihat Rimba, Wibi, dan Taslim pun bingung.
Sebenarnya di situasi-situasi darurat dalam pendakian ada beberapa hal memang harus dipahami, yaitu fikih pendakian (ini fikih baru dan bisa dianggap bid’ah. haha),
Bahwa keselamatan nyawa adalah paling utama, maka tetap tidak boleh dikalahkan bahkan atas nama rasa kasihan dan rasa kemanusiaan sekalipun jika ternyata rasa tersebut tak mampu menyelamatkan apapun. Tetap pilihan melakukan usaha penyelamatan nyawa harus dilakukan meskipun dengan sementara meninggalkan korban. Kecuali bila ada yang turun dan ada yang menemani.
Berikutnya adalah memastikan apakah ada bekal makanan dan air minum yang bisa buat mengisi perut?
Lalu adakah perlengkapan jaket penahan dingin dan juga thermal atau blangket untuk mengatasi kedinginan bila sewaktu-waktu ada gejala hypothermia?
Bila semua itu ada maka sementara meninggalkan korban untuk menyampaikan kabar kecelakaan pendakian harus dilakukan, dan tidak boleh hanya menemani karena rasa kasihan. Apalagi bila tak memungkinkan melakukan tindakan apapun buat mengatasi kondisi kaki terkilir.
Namun bila kondisi korban sudah parah maka tak ada jalan lain selain tetap menemani seraya melakukan tindakan survival semampunya.
Bagaimana kalau tak mampu melakukan tindakan survival karena tidak tahu caranya, sedang situasi sudah sama-sama darurat bila semuanya tetap tinggal di tempat?
Kalau sudah seperti itu maka situasinya bukan lagi emergency, tapi disaster. Mau tidak mau harus memilih menyelamatkan yang berpotensi selamat dari pada hilang nyawa semua karena kedinginan atau tak bisa makan apapun. Di sini tak boleh lagi mempertahankan perasaan kasihan dan kemanusiaan karena menjaga nyawa adalah kewajiban. Dan hilangnya satu nyawa lebih ringan dari pada semua nyawa harus melayang. Sekali lagi itu adalah fikihnya dan teorinya seperti itu, namun faktanya mengorbankan perasaan kadang tak semudah yang dibayangkan.
Bersyukur santri yang mendapati korban ada beberapa sehingga ada satu orang santri bernama Eko yang berinisiatif turun dengan agak berlari, namun harus dibayar mahal karena ia pun terjatuh beberapa kali hingga pergelangan tangan kanannya sedikit bengkak karena membentur batu.
Sebelumnya Eko bertanya siapa nama teman-temannya kepada si Mas yang terjatuh, siapa tahu bertemu di jalan atau di tempat camping.
Sedang beberapa santri yang menemani si Mas sudah makin gelisah karena diburu waktu kepulangan. Bila sampai telat pulang maka bisa dipastikan mereka semua akan terlambat tiba di Jakarta. Resiko bolos kerja sudah di depan mata karena memang tak ada yang mengambil cuti. Seluruhnya sudah direncanakan dengan matang bahwa akan berangkat pulang sore hari supaya Ahad malam atau dini hari Senin sudah sampai.
Kembali cerita ke Eko, salah seorang santri senior dari Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta dan sudah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Sesampainya di area camping dia pun berteriak-teriak mencari teman-temannya si Mas korban. Dan walhasil bertemulah dengan mereka yang sedang asyik berkemas membongkar tenda dan merapikan tas tanpa ada rasa bersalah, minimal bertanya-tanya kepada setiap pendaki yang sampai apakah melihat kawannya yang tertinggal.
“Mas-mas ini temannya si Mas yang masih tertinggal di atas ya?”
Tanya Eko dengan napas tersengal, juga mulai menampakkan rasa kesal.
“Iya, Bang. Dia sudah sampai mana?” Tanya mereka santai.
Di situlah rasa kesal Eko akhirnya menemukan salurannya. Dengan menumpahkan kekesalan dan kemarahannya ia berkata dengan sedikit keras,
“Kalian gimana sih, ngga ada tanggung jawabnya sama sekali dengan teman sendiri! Tau ngga, dia jatuh, kakinya terkilir dan ngga bisa jalan. Kalau satu rombongan jangan tinggalin teman sendirian!” Semprot Eko.
“Abang, bisa minta tolong sampein ke petugas Pos, ngga, Bang?”
Tanya salah seorang dari mereka tetap seperti tidak ada situasi mengkhawatirkan.
Ditanya seperti itu makin kesal dada Eko,
“Ya kalian lah yang hubungi, kok saya?!”
Habis ngomel Eko pun berlalu menuju tendanya. Yang penting pesan sudah tersampaikan dan kewajiban sudah selesai. Merekalah yang bertanggung jawab atas keselamatan temannya yang terjatuh dan masih tertahan di area Watu Tatah.
Singkat cerita, setelah hampir tiga jam rombongan santri pun terlihat sampai di area Sunrise Camp, dan ada kabar bahwa korban sudah kembali bisa berjalan pulang. Rupanya ada seorang pendaki berpengalaman yang membantu tindakan urut kaki kepada korban dan berhasil mengatasi masalah kakinya yang terkilir. Semua bersyukur, namun tetap ada masalah baru yang dihadapi para santri, ada kabar Pak Supir travel yang mulai sewot karena terlambat jalan pulang. Terbukti saat menjalankan bus terasa seperti kesetanan. Tancap gas layaknya perlombaan NASCAR, dan sekali hampir kecelakaan bertabrakan dengan bus dari arah berlawanan. Rupanya pak supir terlalu bernafsu menyalip tiga mobil sekaligus tapi tak berhasil. Akibatnya harus mengerem mendadak dan membuyarkan mimpi para santri yang baru saja tertidur pulas.
Sepanjang perjalanan pun berubah. Pak supir tetap memacu kendaraan tanpa ampun. Para santri dibuat cemas. Pasrah sudah dengan cara pak supir menjalankan kendaraan. Walhamdulillah sampai Jakarta dalam keadaan selamat, dan yang penting tidak terlambat pulang.
Memang susah jadi orang baik, niat menolong tapi harus menunggu resiko. Benar kata Orang Jawa bilang.
“Nulung Kepentung”.