Kaum Musyrikin Yang Meyakini Tauhid Rububiyah Lolos

Kaum Musyrikin Yang Meyakini Tauhid Rububiyah, Lolos Di Alam Kubur?

Oleh: Ustadz M. Ode Wahyu

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembagian tauhid yang dilakukan oleh para ulama menjadi beberapa jenis dimaksudkan agar manusia mudah memahaminya dan agar orang-orang tidak terjatuh dalam kesyirikan. Pembagian ini bukanlah sesuatu yang bersifat tauqifiyah. Ia, hanyalah hasil ijtihad dari para ulama untuk memudahkan manusia memahami istilah tauhid, bagaimana seharusnya seorang manusia mentauhidkan Allah.

Ada yang membaginya menjadi 2, ada yang membaginya menjadi 3 dan adapula yang membagikan menjadi 4. Semua itu kembali pada pengistilahan yang disebutkan oleh seorang ulama, dengan tujuan agar orang bisa benar-benar mentauhidkan Allah Azza Wajalla.

Sebagian ulama, ada yang membagi tauhid itu menjadi 3, yaitu tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma Wasifat.

Dalam masalah pengesaan Allah sebagai pencipta, pemberi rezki, yang mematikan, menghidupkan, pencipta hukum, pengatur alam semesta, ini disebut sebagai Tauhid Rububiyah, oleh sebagian ulama.

Maksudnya, seorang manusia harus mentauhidkan Allah dan tidak boleh menduakanNya dalam hal ini dengan sesuatupun. Ia harus meyakini bahwa satu-satunya yang menciptakan alam semesta hanyalah Allah, yang mematikan hanyalah Allah, yang menghidupkan hanyalah Allah dan seperti itu pada perkara yang lain dari sifat Rububiyah Allah Azza wajalla.

Keyakinan ini diakui oleh kaum musyrikin jahiliah, tapi dengan ini saja tidak cukup menjadikan mereka sebagai ahli tauhid. Untuk menjadikan mereka sebagai muwahhid, mereka harus menjadikan Allah Azza wajalla sebagai satu-satunya Ilah yang berhak disembah dan satu-satunya Rabb yang dipanjatkan doa padaNya. Inilah yang kemudian disebut sebagai tauhid uluhiyah oleh sebagian ulama.

Pembagian tauhid seperti ini disebutkan oleh beberapa ulama seperti imam al-Qadhi Ibnu Abi al-Izz rahimahullah, dan imam ath-Thabari rahimahullah mengisyaratkannya dalam tafsirnya.

Pengakuan kaum musyrikin terhadap Rububiyah Allah Azza wajalla dan hal itu belum dapat disebut sebagai muwahhid hingga mereka mengesakan Allah Azza wajalla dalam penyembahan dan doa, dapat dipahami dari firman Allah Azza wajalla sebagai berikut:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu; atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” — QS. Az-Zumar:38

Pada ayat ini, Allah Azza wajalla menjelaskan sikap kaum musyrikin jahiliah yang meyakini dan mengimani Rububiyah Allah Azza Wajalla, bahwa Dia sebagai pencipta alam semesta. Tapi dengan keyakinan mereka itu, mereka juga tetap berdoa pada selain Allah Azza wajalla, sehingga keimanan mereka bahwa Allah sebagai Pencipta alam semesta tidak bermanfaat karena mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah kepadaNya.

Baca Juga:  Menguburkan Di Dalam Masjid Tidak Diperbolehkan

Para ulama salaf memang memahami bahwa ayat-ayat seperti ini menunjukkan keimanan kaum musyrik jahiliah terhadap Allah Azza wajalla sebagai pencipta. Mereka tidak ingkari itu. Tapi dengan itu saja tidak berarti mereka sudah menjadi mukmin atau muwahhid. Mereka tetap disebut sebagai musyrik.

Mengenai firman Allah Azza wajalla:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” — QS. Yusuf:106

Dalam menjelaskan ayat ini, imam ath-Thabari rahimahullah menukil beberapa perkataan para salaf diantaranya:

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

من إيمانهم، إذا قيل لهم: مَن خلق السماء؟ ومن خلق الأرض؟ ومن خلق الجبال؟ قالوا: الله . وهم مشركون.

“Bentuk keimanan mereka adalah jika dikatakan kepada mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, siapa yang menciptakan gunung, mereka akan mengatakan, Allah lah yang menciptakannya. Tapi mereka masih tetap melakukan kesyrikan”.

Perkataan Ikrimah rahimahullah:

تسألهم: مَن خلقهم؟ ومن خلق السماوات والأرض , فيقولون: الله . فذلك إيمانهم بالله , وهم يعبدون غيره.

“Engkau bertanya pada mereka, siapa yang menciptakan mereka dan yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Allah yang menciptakan mereka, namun mereka menyembah selainNya. — Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk, jilid 6, hal. 733, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1431 h

Dari sini jelas, bahwa dari sisi Rububiyah Allah orang-orang musyrik jahiliah zaman dahulu mengimaninya, dan para ulama mengakui itu. Hanya saja, dalam penerapan tauhid Rububiyah ini mereka salah sehingga terjadi kesalahan fatal dalam tauhid uluhiyah, yaitu dengan menyembah dan berdoa pada selain Allah Azza wajalla. Oleh karena itu, keimanan mereka pada Rububiyah Allah itu tidak bermanfaat dan tidak bisa menjadikan mereka sebagai mukmin. Karena dalam praktek tauhid, mereka tidak benar. Sebab mereka tetap menyekutukannya dalam doa dan ibdah.

Pertanyaan yang kemudian muncul, di alam kubur nanti, malaikat akan bertanya, siapa Rabbmu? Apakah musyrikin yang bertauhid Rububiyah akan lolos dari pertanyaan ini?

Jawabannya, tidak!

Sebab pertanyaan “siapa Rabbmu” tidak hanya berkaitan dengan Rububiyah Allah, tapi juga berkaitan dengan uluhiyah Allah Azza wajalla.

Rabb adalah salah satu nama Allah Azza wajalla yang jika disebut sendirian, maka mencakup seluruh nama Allah Azza wajalla yang lainnya. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya nama ini (Ar-Rabb) jika disebut sendiri, maka ia mencakup seluruh nama-nama Allah yang paling baik dan sifat-sifatNya yang agung.”
(Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, Fiqh al-Amaa al-Husna, hal.98, Daar Ibnu al-Jauzi-Damam, cet. 3, 1441 H.)

Baca Juga:  Baik Buruk dalam Internal Ahlu Sunnah dan Muktazilah

Sehingga, jika ditanyakan siapa Rabbmu, maka terkandung makna siapa Rabb yang engkau sembah. Tidak hanya berkaitan dengan yang mencipta, yang mematikan, menghidupkan dan lain sebaginya. Sebab, menyembah kepadanya merupakan konsekuensi dari keimanaan kepadaNya.

Azza wajalla berfirman:

وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku.” — QS. Al-Anbiya:96

Allah Azza wajalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) }

“Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” — QS. Al-Baqarah:21-22

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata:

أي لا تشركوا بالله غيرَه من الأنداد التي لا تَنفع ولا تضرّ, وأنتم تعلمون أنه لا ربّ لكم يرزقكم غيره, وقد علمتم أن الذي يدعوكم إليه الرسول من توحيده هو الحق لا شك فيه

“Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan selainNya dari tandingan-tandingan yang tidak memberikan manfaat dan mudharat, sedang kalian mengetahui bahwa tidak ada Rabb yang memberi Rezki kepada kalian selainNya, dan kalian mengetahui bahwa yang didakwahkan kepada kalian oleh rasul agar kalian mentauhidkanNya. Itulah yang benar dan tidak perlu ragu terhadapnya.” — Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk, jilid 1, hal. 276, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1431 H

Konsekuensi dari mengetahui Rububiyah Allah adalah mentauhidkanNya dalam penyembahan (uluhiyah). Dan seorang yang tidak menyembah pada Allah, maka tidak benar tauhidnya, sekalipun ia mengetahui dan meyakini Allah sebagai pencipta.

Dari sini, kita bisa pahami maksud dari pertanyaan “Siapa Rabbmu” adalah makna yang terkandung dari Rabb itu yaitu Ilah yang seharusnya disembah. Sehingga maksudnya yaitu siapa Rabbmu Tuhan yang kamu sembah.

Jika bukan makna itu yang dimaksud, maka sungguh percumalah pengutusan para Rasul pada tiap umat.

Sekali lagi, pembagian jenis tauhid hanyalah upaya ulama untuk memudahkan manusia memahami makna mentauhidkan Allah Azza wajalla dengan benar dan agar orang tidak terjatuh dalam kesyrikan. Baik itu pada Rububiyah Allah, Uluhiyah Allah dan Asma Wasifatnya.

Wallahu a’lam.

Ustadz M. Ode Wahyu
Da’i Wahdah Islamiyyah Sulawesi Tenggara, pengasuh Pesantren An-Nail

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *