Berikut beberapa kesaksian para ulama setelah era Syaikhul-Islām Ibn Taimiyyah rahimahullāh yang menyatakan bahwa Ibn Taimiyyah berlepas diri dari pemahaman tajsîm. Karena perkataan masing-masing ulama berikut cukup panjang, kami persingkat pada poin yang dimaksud.
- Al-Hāfizh Ibn Hajar al-‘Asqalāni (w. 852 H) berkata; “Dan karya-karyanya (Ibn Taimiyyah) penuh dengan bantahan terhadap orang yang berpemahaman tajsim. Dan beliau (Ibn Taimiyah) berlepas diri darinya.” (Taqrîzh Ibn Hajar pada al-Radd al-Wāfir)
- Al-Hāfizh Badruddîn al-‘Aini al-Hanafi (w. 855 H) berkata pula dalam taqrîzh-nya pada al-Radd al-Wāfir setelah menyebutkan akidah Ibn Taimiyyah yang tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; “Maka sang Imam ini (Ibn Taimiyyah) adalah sebagaimana engkau lihat akidahnya dan kepribadiannya. Maka barangsiapa berada di atas akidahnya ini, bagaimana bisa pelakunya disematkan kepada pemahaman hulûl, ittihād dan tajsîm serta apa yang dipahami oleh para ahlul-ilhād ?” (Dinukil pula oleh al-Ālûsi dalam Ghāyah al-Amāni fi al-Radd ‘alā al-Nabhāni 2/155)
Al-Hāfizh al-Sakhāwi dalam al-Dhau’ al-Lāmi’ (10/135) pada biografi al-‘Aini mengatakan, “Beliau memiliki taqrîzh terhadap al-Radd al-Wāfir karya Ibn Nāshiriddîn al-Dimasyqi yang begitu membela Ibn Taimiyyah”.
- Syaikhul-Islām Shālih bin ‘Umar al-Bulqînî al-Syāfi’i (w. 868 H) berkata; “Sampai sekarang aku tidak menemukan dari perkataan Ibn Taimiyyah yang menunjukkan kekufuran dan kezindiqannya setelah aku meneliti dan menyelidikinya. Justru yang aku dapat adalah bantahannya terhadap ahlul-bid’ah dan ahlul-hawā’ serta yang lainnya yang menunjukkan berlepas dirinya beliau (dari setiap tuduhan yang disematkan) dan tingginya kedudukannya dalam ilmu dan agama.” (al-Radd al-Wāfir hal. 232-235. Dinukil pula oleh al-Ālûsi dalam Ghāyah al-Amāni 2/161)
- Al-‘Allāmah Manshûr bin Yûnus al-Bahûti al-Hanbali (w. 1051 H) berkata; “Mereka menyematkan bid’ah dan tajsîm kepada beliau (Ibn Taimiyyah) padahal beliau berlepas diri darinya. Beliau merajihkan madzhab salaf di atas madzhab ahli kalam… Sebagian ulama baik yang dulu maupun kemudian telah menyusun keutamaan-keutamaan dan manaqibnya, dan kami mendapatkan manfaat darinya.” (Kasyf al-Qanā’ ‘an al-Iqnā’ 1/25)
- Al-Mullā ‘Ali al-Qāri’ al-Hanafi (w. 1014 H) berkata, “Keduanya (Ibn Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim) termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah dan merupakan walinya umat ini.”
- Lalu setelah menyebutkan perkataan Ibnul-Qayyim yang mengatakan makna-makna dari nushûsh Shifāt itu maklum dan kaifiyatnya majhûl, al-Mullā ‘Ali al-Qāri berkata; “Maka jelaslah bahwa akidahnya sesuai dengan para ahlul-haqq dari kalangan salaf dan jumhur khalaf. Maka celaan yang buruk dan hinaan yang keji tidaklah dapat dialamatkan dan ditujukan padanya. Karena perkataannya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imam yang teragung dan terkemuka dalam Fiqhul-Akbar (yaitu Imam Abu Hanîfah)… Begitu pula ternafikan darinya keyakinan tajsîm.” (Mirqāh al-Mafātîh Syarh Misykāh al-Mashābîh 7/2778)
- Al-Syaikh Ibrāhîm al-Kurāni al-Syāfi’i (w. 1011 H) berkata, “Ibn Taimiyyah bukanlah seorang yang berkeyakinan tajsîm.” (Dinukil oleh Nu’mān al-Ālûsi dalam Jilā’ul-‘Ainain hal. 389)
- Al-Syihāb Mahmûd al-Ālûsi al-Mufassir (w. 1270 H) berkata, “Bahkan ia (Ibn Taimiyyah) adalah orang yang paling berlepas diri dari kalangan mujassimah.” (Dinukil oleh putra beliau, al-Sayyid Nu’mān al-Ālûsi dalam Jilā’ul-‘Ainain hal. 389)
- Yakni putra beliau tersebut al-Sayyid Nu’mān al-Ālûsi menegaskan hal serupa ketika membantahan tuduhan Ibn Hajar al-Haitami. (Jilā’ul-‘Ainain hal. 388)
Al-‘Allāmah Mushthafā al-Rahîbāni (w. 1243 H) berkata; “Ia (Ibn Taimiyyah) adalah satu-satunya Imam yang dipuji oleh para ulama sezamannya maupun sesudahnya. Sampai-sampai biografinya disusun secara khusus. Beliau diuji dan orang-orang yang hasad menyerangnya serta menyematkan bid’ah dan tajsîm secara dusta kepada beliau. Karena beliau sendiri berlepas diri dari hal tersebut.” (Mathālib Ûlin-Nuhā fi Syarh Ghāyah al-Muntahā 1/22)
Al-‘Allāmah Jamāluddîn al-Qāsimi (w. 1332 H) berkata;
“Banyak yang menyangka bahwa perkataan mengenai shifat ‘Uluww dan Istiwā’ melazimkan tajsîm dimana banyak dari ahlul-hadîts dituduh demikian karena hal ini. Diantara orang yang menuduhkan hal tersebut kepada ahli hadits adalah Jalāluddîn al-Dawāni yang berkata dalam Syarh al-‘Aqā’id -semoga Allah memaafkannya- : “Kebanyakan kaum mujassimah adalah orang-oranh yang berpegang pada zhahir nash-nash Al-Qur’ān dan As-Sunnah. Dan mayoritas mereka adalah kalangan ahli hadits…(hingga perkataannya yang mengkritik Ibn Taimiyyah dan ahli hadits)”.
Perhatikan bagaimana al-Dawāni mengakui madzhab Ahlul-hadîts yang ia pahami sebagai madzhab Mujassimah!! Al-Qāsimi melanjutkan;
“Jika setiap orang semisal Imam ini (Ibn Taimiyyah) dituduhkan dengan tajsîm maka itu adalah dusta…” (Mahāsin al-Ta’wîl 5/82)
Dan masih buanyakkk lagi. Jadi, jika ada yang mencela Syaikhul-Islam dari anak-anak ingusan di fb ini, tak perlu dihiraukan.
Sang Faqih Syafi’i Mesir ahli lughah, tafsir dan adab, Bahā`uddîn Muhammad bin ‘Abdil-Barr al-Subki (w. 777H) berkata: “Demi Allah wahai fulan, tidak ada yang membenci Ibn Taimiyyah kecuali orang bodoh atau pengikut hawa nafsu. Orang bodoh tidak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan ahli hawa maka nafsunya menghalanginya dari kebenaran setelah ia mengetahuinya.”
Kembali Amîrul-Mu`minîn fil-Hadîts al-Hāfizh Ibn Hajar berkata (dan ini sudah sangat popular) : “Masyhurnya keimaman Syaikh Taqiyyuddin Ibn Taimiyyah lebih tersohor daripada matahari. Gelarannya dengan Syaikhul-Islam di zamannya senantiasa kekal hingga kini pada lisan-lisan yang suci dan akan terus demikian pada masa mendatang sebagaimana berlaku kemarin hari. Tidak ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak tahu (bodoh) terhadap kedudukannya dan jauh dari sifat inshaf…”
Semoga Allah Ta’ālā merahmati al-Imām al-Mujāhid al-Mujtahid Syaikhul-Islām Ibn Taimiyyah dengan Rahmat-Nya yang luas dan membalas beliau dengan sebaik-baik balasan.