Oleh: Idrus Abidin.
Salah satu permasalahan pelik yang sempat membuat peradaban Islam babak belur di masa lalu adalah isu seputar al-Qur’an; apakah ia Kalamullah, sebagaimana pandangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah secara umum. Ataukah al-Qur’an adalah makhluk seperti persfektif Jahmiyah dan Muktazilah. Ketika itu, secara politik Muktazilah berhasil menguasai tampuk kekuasaan Bani Abbasiyah sehingga pandangan seputar kemakhlukan al-Qur’an dipaksakan sebagai Mazhab resmi kerajaan. Para pemuka Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang berkeyakinan berbeda harus melewati screening pendapat dan merasakan tribulasi keras, terutama imam Ahmad rahimahumullah.
Bagi kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah, al-Qur’an adalah Kalamullah atau firman Allah yang sesuai keagungan dan kemuliaan Allah ta’alaa. Firman atau perkataan Allah merupakan karakteristik yang melekat pada zat Allah secara pribadi (sifah dzatiyah). Di mana Allah berbicara berdasarkan keinginan (masyi’ah=iradah) dan kemampuanNya (qudrah). Dengan demikian, Allah senantiasa berbicara dan akan terus berbicara sesuai kemauanNya kapan pun Dia mau. Pembicaraan Allah ini tentunya dengan huruf dan dengan suara sekaligus. Dengan suaraNya, Dia menyeru nabi Adam dan Hawa. Dan, dengan suaraNya pula Dia memanggil nabi Musa alaihissalam. Demikian pula di akhirat kelak, Dia akan berbicara menyeru hamba-hambaNya dengan suara. Karenanya, al-Qur’an adalah firmanNya yang mengandung huruf dan makna sekaligus. Diturunkan dari langit dan sama sekali bukan makhluk. DariNyalah al-Qur’an berasal dan nantinya al-Qur’an akan kembali lagi kepadaNya.
Pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah ini disimpulkan secara khusus berdasarkan dukungan petunjuk argumentatif al-Qur’an dan as-Sunnah serta argumentasi rasional yang searah dengan kedua sumber primer tersebut. Belum lagi pandangan di atas telah melewati beragam ujian dan berbagai benturan dengan bermacam isme-isme yang terpengaruh dengan argumen luar yang berkembang pesat dalam tradisi dan lingkup Kalam (teologi) sepanjang sejarah pemikiran Islam.
Sejumlah ayat Al-Qur’an secara tegas dan langsung menunjukkan bahwa Allah berbicara dengan para nabi dan beberapa kalangan hambaNya. Misalnya dengan menggunakan kata:
- Kallama yang artinya berbicara, sebagaimana Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 253, minhum man kallamallahu. “Diantara mereka ada yang diajak langsung berbicara oleh Allah.
- Demikian pula Firman Allah QS an-Nisaa ayat 164, wakallamallahu Musa taklimaa. “Sungguh Allah berbicara langsung kepada nabi Musa.”
- Qoala yang artinya berkata, seperti firman Allah QS Fusshilat ayat 11, Faqala laha walil Ardhi i’tiyaa thauan aw karhaa. “Maka Allah berkata kepada langit dan bumi “Tunduklah dengan penuh ketaatan atau dengan penuh keterpaksaan.”
- Nadainaa yang artinya adalah menyeru, seperti firmanNya pada surat Maryam ayat 52, Wanadainahu min janib at-Thuril aimani waqarabnahu najiyaa”. Lalu kami seru Musa dari sisi kanan gunung Thur Sina dan kami dekati dengan pembicaraan berupa bisikan. Keterangan: Nidaa untuk pembicaraan jarak jauh, dan Najwa untuk pembicaraan jarak dekat.
- Yaqul, yang artinya adalah berkata, seperti firmanNya pada surat Yasin ayat 82 “Innama amruhu idza arada sysi’an an yaqula lahu Kun fayakun”. Sungguh perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu, maka dia berkata, “Jadilah”, maka pasti terjadi.
Sedang argumentasi rasional yang searah dengan substansi ayat-ayat di atas disampaikan oleh imam ad-Darimi. Beliau berkata, “Sungguh Allah ta’alaa yang mengajari makhlukNya berbicara, bagaimana mungkin Dia tidak mampu berbicara. Padahal berkata dan berbicara merupakan identitas kesempurnaan yang diperoleh sang makhluk dari sang penciptanya. Allah lah yang mengajari mereka tata cara berbicara dan membekali mereka kemampuan berkomunikasi lisan. Jika demikian faktanya, tentu sang pemberi karunia jauh lebih pantas memiliki identitas kesempurnaan tersebut, sesuai dengan nilai kemuliaan dan keagunganNya”. Inilah yang selama ini dikenal dengan sebutan analogi keutamaan (Qiyas Aulawi).
Sedang pembicaraan-Nya yang disertai dengan huruf dan suara, juga disimpulkan dari beragam petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti:
- Firman Allah pada surat Thaha ayat 13, Fastami’ lima yuhaa. “Dengarkanlah Wahyu yang disampaikan kepadamu”. Dengan tegas ayat ini menyebut kata istimaa yang berarti menyimak secara seksama yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya suara.
- Demikian pula firmanNya pada surat an-Naziat ayat 15-16, hal ataka haditsu Musa idz nadahu rabbuhu bil wadil muqaddasi thuwa. “Apakah engkau telah mendengar kisah tentang Musa. Yaitu tatkala ia diseru oleh Tuhannya di lembah suci Thuwa.” Kata nidaa dalam tradisi bangsa Arab tidak menunjukkan kecuali suara. Tidak ditemukan keterangan sedikit pun dalam Al-Qur’an maupun dalam penuturan hadits yang menunjukkan seruan itu tanpa suara.
Hadits yang menunjukkan bahwa Allah berbicara dengan suara adalah riwayat yang disampaikan oleh imam Bukhari secara muallaq dari Abdullah bin Anais al-Juhani, ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,
يحشر الله العباد، فيناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب: أنا الملك، أنا الديان
“Allah akan menggiring para hamba, lalu Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh jaraknya sebagaimana terdengar oleh orang yang dekat: “Aku adalah Al Malik, Aku adalah Ad Dayyan. (HR Bukhari dalam kitab Shahihnya, juga dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad).
Sedang penegasan bahwa pembicaraan Allah menggunakan huruf ditegaskan oleh hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, beliau bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ (الـم) حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
“Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al Qur’an maka ia akan memperoleh satu kebaikan. Satu kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya sampai 10 kali lipat. Saya tidak mengatakan ‘alif laam miim’ itu sebagai satu huruf, akan tetapi ‘alif’ 1 huruf, ‘laam’ 1 huruf, dan ‘miim’ 1 huruf”. (HR. Tirmidzi).
Keterangan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah dengan huruf beserta maknanya didukung oleh firman Allah pada surat at-taubah ayat 6.
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.
Hadits pun menegaskan hal yang sama
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُ نَفْسَهُ عَلَى النَّاسِ فِي الْمَوْقِفِ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُونِي أَنْ أُبَلِّغَ كَلَامَ رَبِّي
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah menawarkan diri dalam sebuah kondisi dan berkata, “Tidak adakah diantara kalian yang mau mengantarkanku kepada kaumnya? Sesungguhnya masyarakat Quraisy telah melarangku menyampaikan pesan Tuhanku.” Shahih. HR. An-Nasa’i.
Adapun penegasan Ahlu Sunnah Atsariyah bahwa al-Qur’an berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya hanyalah penegasan bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk sebagaimana pendapat Jahmiyah dan Muktazilah. Jahmiyah dan Muktazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan oleh Allah di suatu tempat sehingga sangat pantas dikoreksi dengan ucapan bahwa al-Qur’an diturunkan langsung dariNya dan akan kembali kepadaNya. Sehingga huruf-huruf al-Qur’an yang terdapat pada jiwa makhlukNya dan tercatat di berbagai media dan lembaran mushaf akan menguap begitu saja di akhir zaman kelak.
Adapun argumentasi rasional yang diberdayakan Ahlu Sunnah Atsariyah demi mendukung pandangan mereka tersebut juga tak lepas dari penuturan dalil-dalil syar’i. Sehingga di samping bernuansa Wahyu, argumentasi tersebut juga sekaligus bernilai rasional. Misalnya, firman Allah:
أَفَلَا يَرَوْنَ أَلَّا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلًا وَلَا يَمْلِكُ لَهُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan?” — QS. Thaha:89
وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَىٰ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ ۚ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيهِمْ سَبِيلًا ۘ اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ
“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” — QS. Al-A’raf:148
Imam ad-Darimi menjelaskan, “Pada kedua ayat di atas, Allah mencela sapi betina karena tidak bisa berbicara dan berkomunikasi. Di sini terdapat penegasan bahwa Allah ta’alaa berbicara dan berkomunikasi. Karena mustahil Allah mengejek sesuatu yang Dia sendiri memilikinya”. Senada dengan penegasan ini, Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkomentar, “Ini merupakan dalil rasional yang berfungsi sekaligus sebagai Wahyu yang menegaskan bahwa Allah ta’alaa mestilah berkata-kata dan berbicara, serta mampu memberikan mereka beragam kebaikan dan berlipat keburukan. Karena jika Allah tidak demikian tentunya Dia tidak pantas jadi Tuhan.
Selain dukungan dalil-dalil Al-Qur’an, as-Sunnah, dan argumentasi rasional di atas, sebenarnya ijma’ dan pandangan para Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat pilihan juga tersebar di berbagai kitab-kitab atsar. Hanya saja, keterbatasan tempat dan waktu membuat kami merasa cukup dengan apa yang sudah terangkum.
Demikianlah intisari pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah seputar al-Qur’an sebagai Kalamullah. Adapun pendapat lain bahwa al-Qur’an hanyalah sebatas lafaz atau hanya murni makna atau makhluk serta pandangan serupa; syubhat rasional demikian akan diulas pada status selanjutnya in syaa Allah.
Depok, 14 Juli 2020 (Senin, 22 Dzulqaidah 1441 H)