Syubhat Rasional Seputar Kalamullah

Syubhat Rasional Seputar Kalamullah

Oleh: Ustadz Idrus Abidin

Sikap moderat dan proporsional Ahlu Sunnah Atsariyah seputar Kalamullah menegaskan bahwa berbicara merupakan karakter zatNya yang senantiasa melekat pada diri Allah (sifah dzatiyah) sejak zaman azali. Sehingga karakter Allah dalam pembicaraan ini bersifat qadim-azali secara asalnya. Walaupun per kata-kata ataupun kalimatnya terhitung baru ketika Allah sedang berbicara, demikian pula ketika Allah hendak berbicara di masa depan (qadimu an-nau’ hadits al-ahad). Itulah maksud ucapan Salaf yang berkata bahwa Kalamullah itu merupakan karakter pribadi yang dilakukanNya sesuai kehendak dan kemampuanNya; sehingga Allah senantiasa berbicara kapan pun Dia mau berdasarkan cara yang dipilih sendiri olehNya; sesuai tingkat kemuliaan dan keagungan Allah ta’alaa.

Itulah karakteristik ketuhanan Allah yang berkategori pilihan (sifat ikhtiyariah), yang banyak ditolak oleh kalangan ahlul Kalam akibat pengaruh rasional picik yang berkembang di luar ranah peradaban Islam dan berkembang pesat di dunia Islam masa lalu akibat futuhat. Sehingga, para teolog Ahlu Sunnah selain Atsariyah dan non Ahlu Sunnah terpengaruh oleh senjata lawan yang bersifat filosofis. Walaupun mereka tidak pernah merasa menyimpang akibat faktor filsafat rasional warisan kaum Yunani tersebut. Akhirnya, pandangan Ahlu Sunnah Atsariyah seperti di atas dianggap beraroma tasybih; terutama pembicaraan Allah yang juga mencakup huruf dan suara sekaligus, karena dianggap menyerupai makhluk dari sisi suara dan penggunaan huruf-huruf. Ujungnya para teolog non Ahlu Sunnah Atsariyah berusaha melakukan penafsiran baru via Takwil dan pengalihan makna dengan tahrif. Bahkan ada yang mengeliminasi makna ayat (ta’thil) yang secara langsung menunjukkan Allah berbicara dengan suara dan huruf sekaligus. Termasuk menyerahkan arti dan makna ayat-ayat (tafwid makna dan kaifiyah sekaligus) yang sebenarnya jelas, tapi dianggap masuk dalam keranjang ayat-ayat mutasyabihat. Padahal, sikap terakhir seolah menyatakan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tidak mengerti makna ayat-ayat tersebut. Padahal, yang tidak dimengerti oleh beliau dan para sahabat hanyalah sebatas hakikat tata cara Allah berbicara (tafwid kaifiyah); bukan karakteristik pembicaraan Allah yang bersifat pilihanNya (masyi’ah dan qudrah).

Memang sifat ketuhanan Allah yang berkategori pilihan (sifah ikhtiyariah), termasuk kalamullah ini; menjadi ajang perdebatan sengit oleh berbagai aliran dan sekte-sekte teologis di masa lalu antara Ahlu Sunnah Wal Jama’ah secara umum dengan grup teologis non Ahlu Sunnah seperti Jahmiyah dan Muktazilah. Bahkan masalah serupa juga tak luput meramaikan perdebatan di kalangan internal Ahlu Sunnah sendiri yang melibatkan Asy’ariyah, Maturidiyah dan Atsariyah. Substansi perdebatan itu bisa diringkas pada 2 poin utama berikut:

  • Pandangan Masing-masing kelompok seputar Kalamullah.
  • Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berawal dari perbedaan menentukan batasan dan cakupan makna “Kalam” dan siapa yang dimaksud “Mutakkalim” yang sesungguhnya.

Semoga dengan peta pembahasan di atas, tulisan ini bisa sedikit mengurai benang kusut yang membelit pemikiran Islam sekaligus berkontribusi secara sederhana untuk menjernihkan permasalahan besar ini.

  • Pandangan Masing-masing kelompok seputar Kalamullah.

Sebelum kita mencoba mencari sebab terjadinya silang pendapat dalam masalah ini, marilah kita melihat keragaman persfektif seputar Kalamullah atau al-Qur’an secara khusus di mata masing-masing kelompok (mazhab) teologis. Setidaknya di sini ada minimal 6 pendapat, ditambah 2 pandangan kalangan filosof yang sebenarnya berusaha direspon oleh kalangan ahlul Kalam:

  1. Muktazilah dan Jahmiyah.

Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk yang terpisah dari Allah. Diciptakan oleh Allah di tempat lain. Pendapat ini merupakan konsekwensi dari pandangan Jahmiyah dan Muktazilah yang menafikan seluruh atribut dan karakteristik sifat dari Allah ta’alaa dengan berkata, “Allah tidak hidup, tidak berpengetahuan, tanpa kemampuan, tidak berbicara. Intinya, mereka hanya mengakui keberadaan nama-nama Allah (Asmaul husnaa) tanpa mengakui konsekwensinya berupa sifat/karakteristik pribadi (sifah dzatiyah) dan sifat/karakteristik perbuatan (sifah fi’liyah).

  1. Asy’ariyah.

Mereka menyatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat azali yang melekat pada diri Allah selamanya. Mengandung perintah sesuai seruan Allah. Mencakup semua larangan yang dilarang olehNya. Termasuk informasi yang dikabarkan oleh Allah. Jika diungkapkan dengan bahasa Arab maka itulah al-Qur’an. Jika disampaikan dengan bahasa Ibrani maka ia adalah Taurat. Jika disampaikan melalui bahasa Suryani berarti ia adalah Injil. Perintah, larangan dan berita menurut kalangan Asy’ariyah bukanlah pembagian dan ragam Kalam. Tetapi hanya sebatas identifikasi (sifat idhafiyah) seperti ketika dikatakan bahwa Fulan adalah paman si Unyil atau Fulan adalah anaknya si Zaid. Menurut mereka, Allah tidak berbicara sesuai kehendak dan kemampuanNya (iradah dan qudrah). Demikian pula firmanNya, bukan dengan suara dan huruf. Ini substansi pendapat Ibnu Kullab dan Imam al-Asy’ari. Pendapat ini murni pandangan mereka berdua yang belum dikenal sebelumnya dalam sejarah Kalam. Bahkan, dengan pandangan seperti inilah seorang alim tertentu bisa diklaim dan diidentifikasi sebagai Asy’ariyah murni atau bukan. Adapun pandangan mereka lainnya, sudah disebutkan oleh kalangan teolog lain sebelumnya. Pendapat kalangan Asy’ariyah ini terbagi lagi secara internal ke beberapa persfektif:

  • Ada yang mengatakan bahwa firman Allah merupakan satu kesatuan sejak zaman azali. Sehingga sejak zaman azali Qur’an itu memuat perintah, larangan dan informasi. Ini kecenderungan imam al-Asy’ari rahimahullah.
  • Ada yang mengatakan, firman Allah mengandung beragam makna, berupa perintah, larangan, informasi dan permintaan informasi (istikhbar). Ini pendapat Ibnu Kullab.
  • Ada yang mengatakan, al-Qur’an itu otomatis menjadi perintah dan larangan sejak adanya perintah dan larangan di masa azali. Ini pendapat sebagian kalangan Asy’ariyah.
Baca Juga:  Hadits Hati Burung

Akibat adanya kontradiksi dan kelemahan dalam pandangan teologis Asy’ariyah senior, belakangan grup akidah Asy’ariyah yunior melakukan modifikasi pendapat dengan mengatakan bahwa firman Allah merupakan gabungan atau perpaduan antara makna qadim yang melekat pada diri Allah dengan suara yang diciptakan di luar diriNya. Modifikasi pendapat ini dipelopori oleh Abul Ma’ali al-Juwaini dan diikuti oleh kalangan Asy’ariyah yunior belakangan.

Catatan:

Mazhab Asy’ariyah seputar Kalamullah ini ditopang oleh beberapa prinsip dengan tetap menegaskan sifat kalam secara global beserta 7 sifat Allah lainnya, seperti penegasan prinsipil bahwa:

  • Al-Qur’an adalah makna yang melekat pada diri Allah tanpa huruf dan suara. Seringkali disebut sebagai kalam nafsi dalam internal grup teologis ini. Atas nama Kalam nafsi ini mereka menolak Kalamullah yang dibarengi suara dan huruf.
  • Firman itu bersifat qadim-azali yang melekat pada diri Allah seperti hidupNya dan ilmuNya. Karenanya, ucapan itu tidak terkait dengan kehendak dan kemampuanNya. Dan, Allah tidak berbicara sesuai kehendakNya kapan pun Dia kehendaki.
  • Ucapan itu satu makna yang tidak terbagi. Merupakan perintah dengan semua kandungan perintah. Larangan untuk semua yang dicegah oleh Allah. Informasi tentang semua yang diberitakan. Jika disampaikan dalam bahasa Arab maka itulah al-Qur’an. Jika disampaikan via bahasa Ibrani maka dia Taurat. Bila disampaikan dengan bahasa Suryani maka itulah Injil.
  • Al-Qur’an yang berbahasa Arab adalah ungkapan tentang Kalamullah yang berkategori makhluk, yang dibahasakan oleh Jibril atau nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Sehingga Jibril hanya mengerti makna al-Qur’an lalu dibahasakan sendiri olehnya ketika menyampaikannya kepada Rasulullah. Atau, Allah adakan di udara di Lauhin Mahfudz. Pandangan ini mereka kokohkan dengan Mazhab lafzhiyah yang menyatakan, pelafalan kami terhadap al-Qur’an adalah makhluk. Imam Ahmad mengingkari dua kelompok dalam hal ini; baik yang mengatakan, “pelafalan kami terhadap al-Qur’an adalah makhluk”, maupun yang mengatakan, “pelafalan kami terhadap al-Qur’an bukan makhluk”. Sebabnya, kedua ucapan itu mengandung kontradiksi akut (labs) yang berefek pada pencampuradukan antara makna yang benar dan makna yang batil. Dalam hal ini, kalangan Asy’ariyah menetapkan bahwa maksud imam Ahmad dengan kata pelafalan (lafaz) adalah makna kebahasaannya berupa lemparan kata-kata (nabz) dan penyampaian (tharh); sama sekali yang beliau maksud bukan tilawah Al-Qur’an. Beliau hanya berusaha mengingkari makna demikian kepada orang yang berucap, “Pelafalan saya terhadap al-Qur’an adalah makhluk”.
  • Pembicaraan Allah dengan kalangan malaikat, nabi Musa dan para hambaNya pada hari kiamat, seruanNya kepada yang diseru olehNya hanya berwujud pengetahuan (idrak) yang tercipta dalam benak para pendengar yang digunakan untuk memahami selama keberadaan mereka di akhirat.
  1. As-Salimiyah yang terpengaruh dengan konsep Asy’ariyah dan Kullabiyah, termasuk Ibnu az-Zagoni dan beberapa Kalangan Ahlul Hadits.

Mereka searah dengan pandangan al-Asy’ariyah dan Kullabiyah yang menyatakan bahwa Allah tidak berbicara dengan kehendak dan kemampuanNya. Tapi mereka menyatakan, Kalam Allah yang bersifat qadim itu adalah huruf. Atau, firman Allah merupakan huruf dan suara yang melekat pada diri Allah sejak zaman azali dan untuk selamanya; tidak diungkapkan berdasarkan kehendak dan kemampuanNya.

  1. Al-Karamiyah dan al-Hasyimiyah.

Mereka berpendapat, Allah berbicara dengan kehendakNya sejak zaman azali dengan pertimbangan tidak memungkinkan adanya kejadian baru tanpa ada pencetus awalnya (hawadits la awwala lahaa). Sehingga tidak mungkin perkataan Allah itu berkategori qadim karena tidak memungkinkan pula kemampuan Allah bersifat qadim. Mereka menyatakan, Allah berbicara dengan huruf dan dengan suara sekaligus.

  1. Al-Maturidiyah.

Mereka berpandangan bahwa al-Qur’an mengandung makna yang melekat pada pribadi Allah yang diciptakan di luar diriNya. Pandangan ini juga terpengaruh dengan pandangan Ibnu Kullab. Dan, ada juga kalangan Maturidiyah yang terpengaruh dengan pandangan kalangan filosof muslim yang berfaham bathiniyah dan cenderung kepada kelompok Syi’ah.

  1. Ahlu Sunnah Atsariyah.
Baca Juga:  Penegakkan Hujjah Menurut Ibnu Taimiyah

Mereka menyatakan bahwa Allah tetap dan senantiasa berbicara, jika Dia mau kapanpun, sesuai kehendakNya dengan ucapan yang melekat pada diriNya. Dia berbicara dengan suara yang terdengar. Jenis ucapanNya bersifat qadim-azali, walaupun mereka tidak menetapkan suara tersebut termasuk bernuansa qadim. Mereka menegaskan, al-Qur’an secara keseluruhan merupakan firman Allah; baik huruf dan maknanya. Tidak ada sedikit pun ucapan dalam Al-Qur’an yang boleh dianggap bukan ucapanNya. al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. al-Qur’an bukan sekedar istilah yang mencakup makna semata dan bukan pula sekedar huruf, tetapi mencakup keduanya sekaligus. Demikian pula yang dimaksud ucapan (Kalam), bukan sekedar huruf atau makna saja seperti halnya yang disebut manusia yang berbicara tentu bukan sekedar ruh saja, dan bukan pula sekedar fisik, tetapi mencakup semuanya secara keseluruhan. Allah berbicara dengan suara sebagaimana penuturan hadits-hadits shahih. Namun, suara itu tidak sama dengan suara makhluk. al-Qur’an bukanlah suara orang yang sedang membaca dan bukan pula suara orang lain. Sungguh tidak ada yang menyerupai Allah; baik pada sisi zat, sifat dan perbuatanNya. Sebagaimana ilmu, kemampuan, kehidupan Allah tidak pernah serupa dengan ilmu, kemampuan dan kehidupan makhluk. Demikian pula ucapan Allah, tak mungkin serupa dengan ucapan makhlukNya. Makna ucapanNya tidak mungkin sama dengan makna ucapan makhluk. SuaraNya tidak mungkin serupa dengan suara makhluk. Suara Allah tidak akan sama dengan suara makhlukNya. Siapa pun yang menyamakan Allah dengan makhlukNya maka dipastikan dia telah menyimpangkan nama-nama Allah dan ayat-ayatNya. Siapa pun yang mengingkari apapun karakteristik yang dijelaskan oleh Allah tentang diriNya, sungguh dia telah menyimpang dalam memaknai nama-nama dan ayat-ayatNya.

Lebih detil tentang dasar argumen kelompok ini bisa dilihat di sini :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213296869935191&id=1800833197

Demikianlah 6 pandangan mendasar kelompok teologis seputar Kalamullah. Di mana, kalangan Asy’ariyah dan yang terpengaruh dengannya serta Maturidiyah tampak menjadi kelompok yang mengantarai Jahmiyah dan Muktazilah. Artinya, secara kedekatan pandangan, tampak bahwa kalangan Asy’ariyah lebih dekat ke Atsariyah dibanding Maturidiyah. Walaupun, baik Maturidiyah dan Asy’ariyah tampak terpengaruh dengan pandangan Muktazilah dan Jahmiyah, terutama pada poin al-Qur’an sebagai makhluk. Sementara, pandangan Jahmiyah dan Muktazilah terpengaruh signifikan oleh Mazhab Filosof muslim seputar al-Qur’an yang minimal terbagi ke dalam dua kelompok besar berikut:

  1. Bahwasannya Kalamullah bukan sifat yang melekat pada diri Allah. Bukan pula makhluk yang terpisah dariNya. Tapi Kalamullah itu adalah sesuatu yang lumer (faidh) ke dalam jiwa dari akal aktif atau selainnya, sesuai konsep penciptaan yang diyakini kalangan filosof. Mereka meyakini bahwa sifat apapun tidak mungkin melekat pada diri Allah. Allah juga tidak mencipta berdasarkan pilihanNya. Tidak mengerti detil kejadian. Semua itu intisari dan substansi pandangan kalangan filosof muslim dan semua yang sepakat dengan mereka. Kalangan filosof terkadang menyebut kondisi lumernya ucapan kepada seseorang (faidh) ini sebagai ucapan atau bahasa tubuh. Terkadang juga mereka berpendapat, Allah berbicara secara simbolik-metaforis (majaz).
  2. Pendapat yang searah dengan pandangan kalangan filosof bahwa Kalamullah adalah sesuatu yang lumer ke dalam jiwa (faidh), yang berasal dari akal aktif atau yang lainnya. Hanya saja, mereka mengatakan bahwa lumeran itu hanya untuk kalangan para nabi dan para wali. Jika mereka termasuk kelompok yang terpengaruh signifikan dengan teori wahdatul wujud, maka mereka berpandangan, semua ucapan di dunia ini adalah Kalamullah; yang baik maupun yang buruk. Inilah pendapat kaum sufi ekstrim yang tergabung ke dalam kelompok tasawuf falsafi.

Demikianlah polarisasi Mazhab dalam isu kalamullah yang menular begitu serius, yang sebenarnya tidak hanya sebatas itu, tapi melebar ke semua sisi sebagaimana sunnatullah dalam perpecahan dan perselisihan. Apalagi di zaman modern, mazhab klasik ini diperparah oleh dukungan teori Hermeneutika yang makin mereduksi konsep Kalamullah menjadi benar-benar sebatas makhluk. Sehingga al-Qur’an dicurigai hanya sebagai hasil kekuasaan politik kaum Quraisy di masa lalu yang senantiasa terbuka untuk dikritisi layaknya karya manusia yang tidak memiliki nilai sakralitas apapun. Nauzubillah. Afwan, kepanjangan. Semoga tetap menginspirasi… 😊

Bersambung in syaa Allah ke bagian (B). Sebab terjadinya perbedaan tersebut di atas. Silahkan ditunggu dan diikuti serialnya.

Depok, 17 Juli 2020 (Jum’at Berkah, 24 Dzulqaidah 1421 H)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *