Dulu saya pernah menceritakan pengalaman melihat pengemis pakai hp, mungkin di masa itu melihat pengemis pakai hp masih langka dan terkesan aneh. Tapi sekarang makin banyak fakta terkuak, banyak topeng yang tersibak, siapa sangka ada pengemis yang keliling membawa gerobak, ternyata di gerobaknya sudah tertabung uang yang banyak.
Maka tak heran kalau wali kota Bandung ketika menawarkan pekerjaan penyapu jalan kepada pengemis malah mendapat tantangan sinis: “Boleh saja pak, asal kami bisa diberi gaji 4 sampai 10 juta perbulan. Wah kalau segitu gajinya mendingan saya juga daftar deh jadi penyapu jalan, hitung-hitung jaga kebersihan jalan yang juga sebagian dari iman sambil cari penghasilan.
Usut punya kusut karena yang kusut tak pernah diusut, ternyata angka segitu bukan tanpa hitungan atau berarti menolak mentah-mentah tawaran wali kota, melainkan memang itulah jumlah uang yang rata-rata bisa mereka raih dari hasil seharian menengadahkan tangan dalam waktu satu bulan. Oo… pantesan para pengemis tak tertarik ikut demo buruh menuntut kenaikan UMR, ternyata penghasilan mereka bisa dua kali lipat dari tuntutan itu.
Bayangkan ada seorang pengemis yang bisa mendapatkan 25 juta hanya dalam waktu dua minggu, bagaimana tidak menggiurkan, tak perlu sekolah tinggi atau keterampilan khusus untuk mendapatkan uang dengan syarat harus bermuka tebal ketika menengadahkan tangan.
- Hukum Mengemis
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hukum asal meminta-minta itu adalah haram baik di dalam masjid maupun di luar masjid, kecuali kalau darurat.”[1] Ya, memang begitulah adanya. Kita akan dapati banyak hadits yang melarang kegiatan meminta-minta bagi yang masih mampu bekerja dan masih punya jalan lain untuk usaha, antara lain:
- Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa yang meminta harta manusia demi memperbanyak harta maka sebenrnya dia hanyalah meminta bara api. Maka silahkan mempersedikit (bara api itu) atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim, no. 1041).
An-Nawawi menukil dari Al-Qadhi Iyadh menjelaskan maknanya adalah dia akan disiksa dengan neraka. Atau itu akan menjadi bara api yang akan menyetrika wajahnya sebagaimana halnya orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.[2]
- Hadits Sahl bin Hanzhalah yang mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ
“Siapa yang meminta-minta padahal berkecukupan berarti dia sama saja dengan memperbanyak bara jahannam.”
Sahl bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apa maksud (عَنْ ظَهْرِ غِنًى) (dari punggung yang berkecukupan), beliau menjawab, ”Yaitu ketika dia tahu bahwa keluarganya masih bisa memberinya makan siang dan makan malam.”
(HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil, no. 486 dan Syarh Ma’ani Al-Atsar no. 3026 dengan sanad yang shahih, juga oleh Abu Daud, no. 1631).
- Hadits Qabishah bin Mukhariq dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “
“Wahai Qabishah, meminta-minta tak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang yaitu;
- Orang yg mempunyai tanggungan (hutang) yg menjadikannya terpaksa meminta sehingga bisa ia melunasi tanggungannya, lalu ia menahan diri (tidak meminta),
- Seseorang yang tertimpa paceklik atau kerusakan tanaman membuat hartanya ludes sehingga ia terpaksa meminta demi memperoleh penopang hidup atau solusi kehidupan. Setelah itu, dia harus menahan diri dan tak boleh meminta lagi.
- Seseorang yang mengalami kemiskinan atau kebutuhan mendesak, dan dipersaksikan oleh tiga orang tokoh kaumnya yang mengatakan bahwa dia benar-benar membutuhkan, maka dia boleh meminta, sampai ia peroleh penopang kehidupan atau solusi kehidupan, selanjutnya ia menahan diri,
Adapun meminta-minta selain karena tiga alasan ini, wahai Qabishah, adalah suht (makanan haram) yang disantap oleh pelakunya.”
(HR. Muslim no. 1044).
Dan masih banyak lagi hadits maupun atsar yang mengecam perbuatan meminta-minta ini dan baru dihalalkan ketika terpaksa dan bukan dijadikan pekerjaan tetap atau profesi.
Mengemis sebagai profesi sudah ada sejak lama, bahkan rela menyewakan anaknya, atau merekayasa luka agar menimbulkan iba.
Al-Jahizh menuliskan dalam kitab Al-Bukhala` berbagai bentuk pengemis, dan salah satunya adalah Al-Musya’’ib yaitu orang yang menyiasati keadaan anak kecil ketika dilahirkan dengan membutakannya atau menjadikannya pengkor (mematahkan tulang kaki atau tangannya) agar bisa dijadikan alat mengemis bagi keluarganya. Bahkan kadang ibu dan ayahnya membawanya agar diurus dengan keuntungan yang berat karena saat itu dia adalah ikatan atau penghasilan. Caranya bisa dengan menjadikannya alat usaha atau menyewakannya dengan harga tertentu. Kadang mereka menyewakan anak-anak mereka kepada orang yang hendak pergi ke Afrika lalu dijadikan pengemis di jalanan dan dengan itu mereka mengumpulkan harta yang banyak, bila orang itu terpercaya dan bisa membayar. Kalau tidak maka dia meminta jaminan.”[3]
Selain itu ada pula yang dinamakan Al-Qarasi yaitu orang yang sengaja mengikat tangan atau kakinya sampai bengkak biar terlihat seperti orang yang terserang penyakit gatal-gatal.
Ini semua persis dengan yang sering dilakukan sebagian pengemis di negeri ini. Jadi, di masa Al-Jahizh yang wafat pada tahun 250 H saja fenomena orang-orang ini sudah pernah ada.
Orang-orang yang sebenarnya mampu atau berkecukupan atau menjadikan mengemis sebagai profesi dan bukan keterpaksaan seharusnya diberi pelajaran. Bahkan pihak berwenang dibenarkan untuk menangkap mereka dan memberikan hukuman ta’zir disertai pengarahan agar tidak lagi mengulang perbuatannya.
Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan,
وإن رأى رجلًا يتعرّض لمسألة الناس في طلب الصدقة، وعلم أنه غني إما بمال أو عمل أنكره عليه وأدّبه فيه، وكان المحتسب بإنكاره أخص من عامل الصدقة. قد فعل عمر -رضي الله عنه- مثل ذلك بقوم من أهل الصدقة، ولو رأى عليه آثار الغنى وهو يسأل الناس أعلمه تحريمها على المستغني عنها، ولم ينكره عليه لجواز أن يكون في الباطن فقيرًا، وإذا تعرّض للمسألة ذو جلد وقوة على العمل، زجره وأمره أن يتعرض للاحتراف بعمله، فإن أقام على المسألة عزره حتى يقلع عنها.
“Kalau dia (muhtasib) melihat ada seorang laki-laki yang meminta-minta sedekah kepada manusia padahal dia tahu bahwa orang itu sebenarnya berkecukupan baik dari segi harta maupun pekerjaan, maka dia harus mencegahnya dan memberinya pelajaran (adab). Pengingkaran muhtasib lebih khusus daripada petugas zakat. Umar RA pernah melakukan hal serupa terhadap para penerima zakat. Bila dia melihat orang itu ada tanda sebagai orang kaya tapi dia masih meminta kepada manusia maka dia harus menjelaskan kepadanya bahwa itu diharamkan atas diri orang berkecukupan. Tapi dia tidak mencegah dulu karena ada kemungkinan sejatinya orang itu memang miskin (hanya penampilan yang kaya –penerj). Apabila yang meminta-mint aini adalah orang yang terlihat kuat dan mampu bekerja maka dia harus melarangnya dan memerintahkannya untuk bekerja sesuai keahliannya. Kalau orang tersebut meminta-minta maka dia boleh memberinya hukuman takzir sampai dia menghentikan kegiatan mengemisnya itu.”[4]
- Lalu bagaimana memberi sedekah kepada pengemis?
Tentulah memberi sedekah kepada pengemis yang terlihat susah dan benar-benar membutuhkan merupakan kebajikan bahkan bisa jadi kewajiban bagi seorang muslim. Sebab, dalam setiap harta seorang muslim ada hak bagi yang meminta dan orang-orang yang kekurangan rejeki, sebagaimana firman Allah,
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
(Qs. Adz-Dzariyaat : 19)
Akan tetapi haruslah pandai-pandai memilah dan memilih mana yang berhak disedekahi mana yang tidak. Secara kasat mata rasanya tak perlulah kita bersedekah kepada yang terlihat sehat atau kuat persangkaan bahwa dia mengeksploitasi anak-anak untuk mengemis, atau terlihat berkecukupan ataupun dicurigai sebagai kelompok terorganisir.
Akan tetapi orang-orang yang memberi karena tertipu oleh penampilan pengemis tersebut insya Allah akan mendapatkan pahala utuh karena keikhlasannya seperti kisah orang yang sedekahnya jatuh ke tangan pencuri, pelacur dan orang kaya dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang terkenal. Dia salah sasaran tapi sedekahnya tetap diterima oleh Allah karena dia tidak tahu.
Sedangkan bila sudah tahu bahwa si pengemis itu sebenarnya menipu tentulah tidak boleh memberikan sedekah kepadanya karena itu berarti membantunya melakukan dosa.
Anshari Taslim,
Referensi:
[1] Majmu’ Al-Fatawa 22/206.
[2] Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 7/131.
[3] Al-Bukhala` hal. 52 terbitan Dar Al-Ma’arif.
[4] Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 361, terbitan Darul Hadits Kairo.