Oleh: Muhammad Valdy Nur Fattah
Santri Minhajut Tholibin – Pesantren Bina Insan Kamil
بسم اللّٰه و الصلاة و السلام على رسول اللّٰه
Sempat ada teman yang kasih sebuah link di komentar tentang seorang ustadz yang menulis akan tidak wajibnya wanita muslimah memakai jilbab.
Awalnya, cukup heran juga ada khilaf dalam masalah wajibnya berjilbab. Namun, setelah Ustadz Anshari حفظه اللّٰه تعالى suruh saya membaca lebih detail lagi, ternyata benar bahwa ada wajhul istidlal (cara pandang dalam menggunakan dalil) yang sengaja dicondongkan pada kekeliruan penafsiran di tulisan tersebut.
Saya coba kupas semampu saya, di mana saja fallacy yang menurut saya ada di dalam artikel Ust. Miftah itu.
Hal ini perlu saya sampaikan agar kesesatan pandangan akan tidak wajibnya berjilbab bagi wanita itu tidak menyebar ke tengah masyarakat awam yang mudah terpengaruh.
Terlebih tulisan ini seolah membela argumen Ibu Sina Nuryah dan Bapak Qurish Shihb tentang penggunaan hijab yang menjadi kontroversial di tengah kaum Muslimin.
Mencondongkan Dalil Pada Yang Diinginkan Penulis
Fallacy utama yang dilakukan sang penulis adalah mencondongkan dalil pada pemahaman apa yang ingin dia perlihatkan bagi pembacanya.
Contohnya saja pada masalah tafsir surat Al Ahzab ayat 59. Beliau menyebutkan bahwasannya kewajiban hijab itu adalah kekhususan bagi istri-istri Nabi saja.
Padahal jika kita membandingkan dengan tafsir lain seperti disebutkan Imam Ibnu Katsir,
يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا أَنْ يَأْمُرَ النِّسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ- خَاصَّةً أَزْوَاجَهُ وَبَنَاتِهِ لِشَرَفِهِنَّ- بِأَنْ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ لِيَتَمَيَّزْنَ عَنْ سِمَاتِ نِسَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ وَسِمَاتِ الْإِمَاءِ
[ابن كثير، تفسير ابن كثير ط العلمية، ٤٢٥/٦]
“AllaH ﷻ memerintahkan pada Rasulullah ﷺ agar menyuruh para wanita mukmin – terkhusus bagi istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya karena tingginya kemuliaan mereka – agar menjulurkan jilbab ke seluruh tubuhnya agar berbeda dari wanita-wanita jahiliyyah dan para budak.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/425)
Maka yang dimaksud khusus di sini adalah lebih dikhususkan, bukan benar-benar dikhususkan untuk istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi saja. Ini menurut Al Hafizh Ibnu Katsir رحمه اللّٰه تعالى. Hal itu (melebihkan kekhususan) karena kedudukan mereka yang lebih mulia dari wanita mukminah biasa.
Saya juga menemukan ada perbedaan antara hukum jilbab bagi wanita biasa dan para istri Nabi ﷺ . Dan ini yang sengaja dicondongkan oleh penulis tanpa menjelaskan rinciannya lagi.
Menurut beliau, mengutip perkataan Ibnu Baththal رحمه اللّٰه تعالى di dalam Syarh Shahih Bukhari dengan membawakan hadits berikut,
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ يَوْمَ النَّحْرِ خَلْفَهُ عَلَى عَجُزِ رَاحِلَتِهِ وَكَانَ الْفَضْلُ رَجُلًا وَضِيئًا فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنْ النَّظَرِ إِلَيْهَا
“Pada hari ‘Idul Kurban, Al Fadhlu bin Abbas pernah membonceng Rasulullah ﷺ di belakang hewan tunggangannya, Al Fadhlu adalah orang yang cakap wajahnya, lalu Nabi ﷺ berhenti sejenak untuk memberi fatwa di hadapan orang-orang. Ternyata ada seorang wanita berwajah cantik dari Khaitsam datang kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta fatwa, segera Al Fadhlu memandang wanita tersebut, ia merasa heran dengan kecantikannya, ketika Nabi ﷺ menoleh ke arah Al Fadhlu, dia masih saja memandangi wanita tersebut, akhirnya beliau memutar tangan ke arah belakang dan memegang dagu Al Fadhlu serta memalingkan wajahnya ke arah lain.” (HR. Bukhari no. 5760)
Dalam artikel yang beliau tulis, disebutkan bahwa shahabat Al Fadhlu bin Abbas رضي اللّٰه تعالى عنه ini melihat seorang wanita khaitsam yang sangat cantik. Jika disebutkan sangat cantik dengan kalimat ” husnuhaa” maka maksudnya itu karena wanita tersebut tidak memakai jilbab (sehingga terlihat rambut dan bagian kepalanya).
Padahal tak satupun syarh menyebutkan itu. Kemudian dia menyebutkan komentar Ibnu Baththal,
الحجاب ليس بفرض على نساء المؤمنين وإنما هو خاص لازواج النبي صلى الله عليه وسلم…وفيه أن نساء المؤمنين ليس لزوم الحجاب لهم فرضا في كل حال كلزومه لازواج النبي لو لزم جميع النساء فرضا لأمر النبي الخثعمية بالاستتار
“Hijab atau jilbab itu tidak wajib bagi perempuan beriman, sesungguhnya hak itu dikhususkan kepada istri-istri Rasulullah saja…Pada Hadits di atas menunjukkan bahwa jilbab itu tidak wajib atau ditekankan kepada para wanita dalam segala kondisi sebagaimana keharusan berjilbab khusus kepada istri Rasulullah. Kalaulah seluruh wanita wajib menggunakannya, sudah pasti Nabi menyuruh wanita Bani Khats’am itu menutup atau memakai jilbab tersebut.” (Syarh Shahih Al Bukhari libni Baththal: 9/11)
Apa yang disebutkan Ibnu Baththal ini sebetulnya tidak utuh beliau bawakan. Karena justru qarinah (indikasi) perbedaan maksud Ibnu Baththal dengan yang diinginkan si penulis ada di situ.
Saya kutipkan ulang,
وفيه: أن نساء المؤمنين ليس لزوم الحجاب لهم فرضًا فى كل حال كلزومه لأزواج النبى، ولو لزم جميع النساء فرضًا لأمر النبى الخثعمية بالاستتار، ولما صرف وجه الفضل عن وجهها، بل كان يأمره بصرف بصره، ويعلمه أن ذلك فرضه، فصرف وجهه عليه السلام وقت خوف الفتنة وتركه قبل ذلك الوقت. وهذا الحديث يدل أن ستر المؤمنات وجوههن عن غير ذوى محارمهن سنه، لإجماعهم أن المرأة أن تبدى وجهها فى الصلاة، ويراه منها الغرباء، وأن قوله: (قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم (على الفرض فى غير الوجه، وأن غض البصر عن يع المحرمات وكل ما يخشى منه الفتنة واجب.
[ابن بطال، شرح صحيح البخارى لابن بطال، ١١/٩]
“Di dalamnya mengandung pengertian bahwa: Wanita-wanita Muslimin tidak dilazimkan (diwajibkan) bagi mereka untuk ber-hijab di setiap keadaan sebagaimana diwajibkan bagi para istri Nabi ﷺ. Seandainya itu diwajibkan kepada seluruh wanita pasti Nabi ﷺ menyuruh sang wanita asal Khats’iym tersebut (untuk ber-hijab). Karena sang wanita tidak menutupnya (ber-hijab), maka Rasulullah ﷺ memalingkan wajah Fadhlu dari wajah wanita tersebut, seolah memerintkannya memalingkan pandangan dan memberitahukan padanya bahwa hal itu wajib. Beliau memalingkan wajahnya saat itu juga karena khawatir terkena fitnah dan kemudian meninggalkannya setelah itu.
Dan hadits ini menjadi dalil bahwa menutup wajah bagi kaum mukminah adalah sunnah (tidak wajib), dan sudah menjadi ijma’ bagi wanita agar membuka wajahnya di kala shalat serta membiarkannya (meski) bisa terlihat oleh orang asing. Maka dari itu ALLAH berfirman, ‘Katakanlah pada orang-orang beriman agar mereka menundukkan pandangannya.’ Menundukkan pandangan dari non-mahram dan setiap yang bisa mengundang fitnah adalah wajib!” (Syarh Shahih Al Bukhari libni Baththal: 9/11-12)
Jadi bagi selain istri Nabi ﷺ, hukumnya sunnah menutup wajah dari non-mahram. Bagi istri-istri Nabi ﷺ, itu wajib (menutup wajah). Bukan maksudnya ber-hijab secara umum adalah tidak wajib bagi Muslimah, hanya menutup wajahnya (dan telapak tangan) saja yang tak wajib.
Ini yang menjadikan keyakinan saya memerhatikan tulisan Ibnu Baththal tersebut.
Kawan saya, Ustadz Abdul Aziz Al Hafizh حفظه اللّٰه تعالى juga menguatkan pendapat saya ini dengan memberikan nukilan dari Umdatul Qari: Syarh Shahih Bukhari. Yakni pernyataan dari Al Qadhi Iyadh رحمه اللّٰه تعالى – sebagaimana penukilan Al ‘Aini,
وقال عياض أما الحجاب الذي خص به زوجات النبي فهو فرض عليهن بلا خلاف في الوجه والكفين فلا يجوز لهن كشف ذلك لشهادة ولا لغيرها ولا إظهار شخصهن إذا خرجن كما فعلت حفصة يوم مات أبوها ستر شخصها حين خرجت وبنيت عليها قبة لما توفيت
“Qadhi Iyadh berkata, ‘Adapun hijab yang dikhususkan bagi istri-istri Nabi ﷺ, maka hijab tersebut diwajibkan atas mereka pada wajah dan kedua telapak tangan –tanpa adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Maka tidak diperbolehkan bagi mereka membuka wajah dan kedua telapak tangan mereka untuk persaksian dan lainnya. Dan juga tidak diperbolehkan menampakkan fisik mereka jika mereka keluar. Sebagaimana yang diperbuat oleh Hafshah ketika ayahnya (Umar ibn Khaththab رضي اللّٰه تعالى عنه) meninggal dunia. Ia menutupi bentuk fisiknya ketika keluar dan dibangunkan kubah atasnya ketika ia wafat.” (Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari: 6/386)
Jadi memang ada perbedaan antara memakai jilbab biasa dan hijab. Bagi kaum Muslimah seluruhnya, diwajibkan untuk memakai jilbab biasa. Di mana bagian wajah dan tangan tidak perlu ditutupi, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Klaim bahwa yang dilihat Al Fadhlu bin Abbas رضي اللّٰه تعالى عنه adalah wanita tanpa jilbab yang menutupi kepalanya (sebagaimana kita ketahui saat ini) tidak lah berdasar. Ibnu Baththal tak menyebutkan seperti yang disebutkan penulis. Hanya saja, penulis membuat pembaca berpandangan demikian dengan mencampuradukkan perkataannya sendiri dengan perkataan ulama.
Apa Yang Boleh Tampak Dari Wanita Biasa
Dalam Surat An Nur ayat 31, Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi ﷺ,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (QS. An Nur: 31)
Para mufassir memang berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa tampak dari seorang wanita ini. Namun tak satupun yang menyinggung bahwasannya rambut itu boleh ditampakkan.
Berdasarkan Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir رحمهما اللّٰه تعالى – yang boleh ditampakkan adalah baju gamis yang biasa mereka kenakan dan hal-hal yang biasa tampak dari mereka serta hal-hal yang sulit untuk disembunyikan.
Disebutkan oleh Imam Ath Thabari,
وقوله: (وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ) يقول تعالى ذكره: ولا يُظهرن للناس الذين ليسوا لهن بمحرم زينتهنّ، وهما زينتان: إحداهما: ما خفي وذلك كالخلخال والسوارين والقرطين والقلائد،
“Perkataan ALLAH (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya) maksudnya: tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada manusia yang bukan Mahram-nya, di mana ada dua perhiasan, salah satunya: apa yang tersembunyi seperti gelang kaki, gelang tangan, anting dan kalung.
والأخرى: ما ظهر منها، وذلك مختلف في المعنيّ منه بهذه الآية، فكان بعضهم يقول: زينة الثياب الظاهرة.
“Pendapat lain mengatakan: maksud dari apa yang biasa tampak darinya, hal itu terdapat perselisihan dalam memaknai ayat ini. Sebagian mengatakan, perhiasan itu adalah pakaian/gamis yang biasa nampak.”
Beliau (Imam Ath Thabari رحمه اللّٰه تعالى) lalu menyebutkan beberapa pendapat ulama.
عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاهرة منها الثياب، وما خفي: الخَلْخَالان والقرطان والسواران.
[الطبري، أبو جعفر، تفسير الطبري = جامع البيان ت شاكر، ١٥٥/0]
“Dari Ibnu Mas’ud رضي اللّٰه تعالى عنه, ia berkata: Perhiasan yang dimaksud ada 2, – Apa yang biasa terlihat dari baju/gamisnya dan apa yang tersembunyi adalah: Gelang Kaki, Anting dan Gelang Tangan.”
Juga pendapat-pendapat ulama lain yang menunjukkan bahwa yang biasa terlihat maksudnya adalah tsiyab (jama’ dari tsaub = pakaian/gamis). (Tafsir Jami’ul Bayan atau Tafsir Ath Thabari: 19/100)
Jadi bukan rambut atau bagian kepala lainnya yang biasa terlihat.
Sementara itu di dalam tafsir Ibnu Katsir رحمه اللّٰه تعالى, beliau menyebutkan,
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْها أَيْ لَا يُظْهِرْنَ شَيْئًا مِنَ الزِّينَةِ لِلْأَجَانِبِ إلا ما لا يمكن إخفاؤه. قال ابْنُ مَسْعُودٍ: كَالرِّدَاءِ وَالثِّيَابِ يَعْنِي عَلَى مَا كان يتعاطاه نِسَاءُ الْعَرَبِ مِنَ الْمِقْنَعَةِ الَّتِي تُجَلِّلُ ثِيَابَهَا وَمَا يَبْدُو مِنْ أَسَافِلِ الثِّيَابِ. فَلَا حَرَجَ عليها فيه لأن هذا لا يمكنها إخفاؤه
[ابن كثير، تفسير ابن كثير ط العلمية، ٤١/٦]
“Dan jangan memperlihatkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak dari mereka maksudnya tidak boleh menampakkan SEMUA perhiasannya (terlebih aurat-nya, penj) pada orang asing kecuali apa yang tidak mungkin disembunyikannya. Ibnu Mas’ud رضي اللّٰه تعالى عنه berkata: Seperti Rida’ (selendang/kerudung) dan baju/gamisnya, yakni apa yang biasa dipakai wanita-wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara tidak mengapa (bila) terlihat bagian bawah dari gamisnya. Tak ada dosa baginya dalam hal ini dikarenakan hal ini tidak memungkinkan untuk ditutupi.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/41)
Ini (kata beliau) merupakan pendapat dari Ibnu Mas’ud, Al Hasan, Ibnu Sirin, Abul Jauza’, Ibrahim An Nakha’i dan yang lainnya.
Sedangkan menurut beliau pendapat lain mengatakan bahwa maksudnya adalah bagian wajah, telapak tangan dan cincinnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/42)
Ada pula yang berpendapat bahwa yang boleh terlihat adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana pendapat jumhur ulama. Hal ini berdasarkan sebuah hadits,
Diriwayatkan dari ‘Aisyah رضي اللّٰه تعالى عنها, beliau berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah ﷺ dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah ﷺ pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud no. 3580)
Namun menurut Ibnu Katsir, riwayat ini Mursal karena Ibnu Duraik tak pernah mendengar hadits dari ‘Aisyah رضي اللّٰه تعالى عنها (Tafsir Ibnu Katsir: 6/42). Meski dalam Al Irwa’ Al Ghalil (6/203) Syaikh Al Albani رحمه اللّٰه تعالى berkata, “hasan dengan keseluruhan jalannya.”
‘Alaa kulli haal, tak ada mufassir yang mengatakan boleh memperlihatkan rambutnya. Allahua’lam..
Kedudukan Wanita Biasa Dengan Budak Itu Berbeda
Imam Ibnu Abi Hatim (W 327 H) dalam kitabnya Tafsirul Quranil ‘Adzhim Musnadan ‘Anir Rasulillah Saw Wash Shahabah Wat Tabi’in bab Surat Al-Ahzab jilid 12, hal. 3,
كَانَ نَاس مِنْ فُسَّاق أَهْل الْمَدِينَة يَخْرُجُونَ بِاللَّيْلِ حِين يَخْتَلِط الظَّلَّام إِلَى طُرُق الْمَدِينَة فَيَعْرِضُونَ لِلنِّسَاءِ وَكَانَتْ مَسَاكِن أَهْل الْمَدِينَة ضَيِّقَة فَإِذَا كَانَ اللَّيْل خَرَجَ النِّسَاء إِلَى الطُّرُق يَقْضِينَ حَاجَتهنَّ فَكَانَ أُولَئِكَ الْفُسَّاق يَبْتَغُونَ ذَلِكَ مِنْهُنَّ فَإِذَا رَأَوْا الْمَرْأَة عَلَيْهَا جِلْبَاب قَالُوا هَذِهِ حُرَّة فَكَفُّوا عَنْهَا فَإِذَا رَأَوْا الْمَرْأَة لَيْسَ عَلَيْهَا جِلْبَاب قَالُوا هَذِهِ أَمَة فَوَثَبُوا عَلَيْهَا
Maknanya : “Sebab turunnya ayat ini, di kota Madinah banyak manusia berandalan, ketika malam tiba dan berselimutkan kegelapan mereka orang-orang jahat itu menelusuri jalan-jalan kota Madinah, mereka melecehkan para wanita yang lewat. Para wanita yang lewat itu adalah wanita-wanita yang miskin, mereka melintasi jalan itu karena mencari kebutuhan hidup. Para berandalan itu selalu mengikuti mereka. Makanya jika mereka melihat wanita tersebut mengenakan jilbab, mereka berkata, ini wanita merdeka, tahanlah diri kalian untuk tidak menggangu mereka. Tapi kalau ada wanita yang tidak memakai jilbab, mereka berkata ini wanita budak lalu mereka melompat untuk memperkosanya.”
Perhatikan kembali kalimatnya,
فَإِذَا رَأَوْا الْمَرْأَة عَلَيْهَا جِلْبَاب قَالُوا هَذِهِ حُرَّة فَكَفُّوا عَنْهَا فَإِذَا رَأَوْا الْمَرْأَة لَيْسَ عَلَيْهَا جِلْبَاب قَالُوا هَذِهِ أَمَة فَوَثَبُوا عَلَيْهَا
“Makanya jika mereka melihat wanita tersebut mengenakan jilbab, mereka berkata, ini wanita merdeka, tahanlah diri kalian untuk tidak mengganggu mereka. Tapi kalau ada wanita yang tidak memakai jilbab, mereka berkata ini wanita budak lalu mereka melompat untuk memperkosanya.”
Jelas di sini bahwa yang tak wajib memakai jilbab itu adalah seorang budak. Karena yang terbiasa tidak memakainya hanya budak di kala itu.
Ini yang menjadi titik tekan Firman Allah ﷻ,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ
“Hal itu agar mereka lebih (mudah) dikenali dan tidak diganggu.” (QS. Al Ahzab: 59)
Jadi apa yang si penulis bawakan, menjadi bantahan tersendiri buat tulisannya. Jangan dikira manusia tak ada yang menperhatikan masalah ini.
Lihat lagi apa yang si penulis kutipkan di artikelnya. Misal,
=== Kutipan ===
Demikian Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyebutkan dalam kitab Fathul Baari Bi Syarhi Shahihil Bukhari bab qauluhu ta’aala ya ayyuhalladzina aamanu laa tadkhuluu buyuutan jilid 8, hal. 530 menyatakan,
قال عياض فرض الحجاب مما اختصصن به فهو فرض عليهن بلا خلاف فى الوجه والكفين
Maknanya : “‘Iyadh berkata, kewajiban hijab hanya dikhususkan tersendiri untuk istri-istri Rasulullah Saw baik wajah dan kedua telapak tangan mereka tanpa adanya perbedaan.”
=== Selesai ===
Sekali lagi, nukilan ini adalah bantahan bagi pendapatnya sendiri. Hanya saja cara beliau menerjemahkan perkataan ini sengaja dibuat samar.
Harusnya,
فرض الحجاب مما اختصصن به فهو فرض عليهن بلا خلاف فى الوجه والكفين
“Kewajiban hijab yang mana dikhususkan bagi mereka (istri-istri Rasulullah), yakni pada wajah dan kedua telapak tangannya, tanpa ada perselisihan pendapat.”
Jadi maksudnya yang jadi ijma’ adalah wajib bagi para istri Nabi untuk ber-hijab dengan pula menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Sementara untuk wanita Muslimah biasa, menutupi wajah dan telapak tangan itu tidak lah wajib sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Jadi kesalahan fatal beliau adalah menyamakan hukum bagi wanita Merdeka dengan wanita budak.
Coba perhatikan lagi yang dia nukil sendiri.
=== Kutipan ===
Ketika ayat 59 surat Al-Ahzab ini turun, Umar langsung bereaksi, sebagaimana yang saya ambil keterangannya dalam Kitab Ad-Durrul Mantsur Fi Tafsiril Quran Bil Ma’tsur bab 59, jilid 6, hal, 660 Imam As-Suyuthi menyebutkan sebuah atsar,
وأخرج ابن أبي شيبة وعبد بن حميد عن أنس رضي الله عنه قال رأى عمر رضي الله عنه جارية مقنعة فضربها بدرته وقال ألقي القناع لا تشبهين بالحرائر
Maknanya: “Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abd bin Humaid dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, Umar melihat seorang budak wanita memakai jilbab lalu ia memukul budak tersebut dengan tongkatnya, sembari berkata : tanggalkan jilbabmu dan janganlah berpakaian seperti wanita merdeka.”
=== Selesai ===
Lagi-lagi apa yang dia tulis malah menjadi boomerang. Umar justru memukul seorang budak wanita karena jilbab itu adalah identitas bagi kaum Muslimah yang sudah merdeka.
Saya kasih lagi nukilan beliau yang justru mematahkan argumennya sendiri.
=== Kutipan ===
Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab kitabush shalah, jilid 3, hal. 175 menjelaskan,
قال الشيخ أبو حامد وغيره : وأجمع العلماء على أن رأس الأمة ليس بعورة مزوجة كانت أو غيرها إلا رواية عن الحسن البصري أن الأمة المزوجة التي أسكنها الزوج منزله كالحرة والله أعلم
Maknanya : “Syeikh Abu Hamid dan para ulama selain beliau mengatakan, Telah sepakat (ijma’) ulama bahwa kepala seorang budak wanita bukanlah aurat baik yang telah menikah atau yang tidak. Kecuali riwayat Imam Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa budak wanita yang dinikahi maka kedudukannya sama dengan wanita yang merdeka.”
=== Selesai ===
Imam Ath Thabari juga menyinggung hal ini dalam tafsirnya,
لا يتشبهن بالإماء في لباسهن إذا هن خرجن من بيوتهن لحاجتهن، فكشفن شعورهن ووجوههن.
“Tidak boleh (istri-istri Nabi) menyerupai para budak wanita dalam berpakaian. Jika mereka (para budak wanita) keluar dari rumah-rumah mereka karena ada keperluan, maka mereka menampakkan rambut-rambut dan wajah-wajah mereka.”
ثم اختلف أهل التأويل في صفة الإدناء الذي أمرهن الله به فقال بعضهم: هو أن يغطين وجوههن ورءوسهن فلا يبدين منهن إلا عينا واحدة.
[الطبري، أبو جعفر، تفسير الطبري = جامع البيان ت شاكر، ٣٢٤/٢٠]
“Kemudian ada ikhtilaf di kalangan ahli ta’wil (tafsir) akan batasan minimum dari karakter hijab yang diperintahkan ALLAH bagi mereka (istri-istri Nabi). Sebagian mengatakan, yakni menutup wajah, dan seluruh kepala mereka serta tak boleh menampakkannya sama sekali kecuali hanya pada salah satu matanya saja.” (Tafsir Ath Thabari: 20/324)
Maka jelas sudah bahwa kedudukan jilbab atas Muslimah merdeka dan tidak itu berbeda menurut ulama. Tapi semua perkataan ini dia bawakan untuk membenarkan wanita-wanita Muslimah yang tidak memakai jilbab.
Jelas kurang tepat alias salah alamat. Zaman sekarang, terkhusus di Indonesia, tak ada budak wanita. Sama seperti kasus Abdul ‘Aziz yang sempat heboh dengan desertasinya mengenai bolehnya berhubungan badan di luar nikah melalui konsep Milkul Yamin ini. Padahal perbudakan sudah tak ada di negeri ini.
Syubhat Lemah
Di dalam tulisannya juga disebutkan salah satu pernyataan beliau yang mencoba memalingkan urgensi ber-hijab bagi wanita. Padahal dia ber-hujjah dengan hujjah yang lemah.
Beliau mengemukakan tentang asbab nuzul (sebab turun) ayat 31 di surat An Nur (dari kitab tafsir yang disusun Imam Ibnu Abi Hatim) bahwasannya saat itu pada zaman Nabi s di kota Madinah banyak berandalan berkeliaran yang seringkali mengganggu para wanita, terutama yang tidak berjilbab, karena dianggap sebagai budak (kedudukannya rendah).
Beliau menyebutkan bahwa ayat ini hanya sebagai anjuran, bukan perintah, karena saat itu kota Madinah sedang tidak aman, banyak pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Bahkan beliau menukil dari Imam Syuja’ (wafat : 592 H) dalam kitabnya Taqwimun Nadzhar bab Al-Lauhah jilid 4, hal. 362,
تغير الأحكام لاختلاف حال المحل
“Berubahnya hukum karena perbedaan situasi tempat.”
Maka hal ini bisa kita bantah dalam dua sisi:
- Dalam ushul fiqh, setiap kata perintah memiliki faidah bahwasannya itu adalah wajib, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari kewajibannya.
Syaikh Al Utsaimin رحمه اللّٰه تعالى mengatakan,
صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فورا
“Kata perintah secara muthlaq (umum) memiliki konsekuensi: wajibnya melaksanakan perintah tersebut dan bersegera dalam melakukannya.” (Al Ushul Min ‘Ilmil Ushul, hal: 18, Bab Perintah)
Maka perintah memakai jilbab pada asalnya wajib hukumnya bagi setiap mu’minah. Kecuali ada qarinah (indikasi) lain yang memalingkan kewajiban tersebut. Akan tetapi, tak ada urgensi dan indikasi akan adanya pemalingan akan kewajiban tersebut, sehingga kembali pada hukum asalnya, yakni wajib.
- Beliau mengatakan bahwa surat An Nur ayat 31 itu lebih cocok diberlakukan di masa Madinah pada zaman Nabi ﷺ karena saat itu kondisinya tidak aman.
سبحان اللّٰه
Justru ini adalah hujjah paling lemah yang diajukan. Karena pada kenyataannya, kondisi saat ini di masa sekarang, wanita-wanita muslimah lebih tidak aman dari zaman dulu.
Di masa Rasulullah ﷺ yang telah diatur oleh hukum Islam saja, bisa rawan terjadi pelecehan seksual dan pemerkosaan, apalagi di zaman sekarang di mana banyak aurat wanita diumbar begitu saja.
Jangankan yang membuka aurat, yang telah menutup aurat saja masih bisa jadi incaran pelecehan seksual dan pemerkosaan di zaman ini.
Bahkan belum lama, ratusan laki-laki jadi korban pemerkosaan sesama lelaki di Manchester, Inggris. Ini membuktikan bahwa di zaman ini, kondisi semakin tidak aman bagi wanita. Maka lebih wajib lagi bagi mereka untuk mencegahnya dengan menutup aurat dengan ber-hijab.
Menyikapi Hadits Hadits Tentang Wudhu Bersama Dalam Satu Bejana
Saya akui, beliau ini sangat jeli dan tak sembarangan juga dalam memberikan argumen meski sebagiannya adalah sebuah fallacy.
Beliau mengemukakan hadits-hadits sebagai berikut,
=== Kutipan ===
Mari kita lihat Dalil-Dalil berikut ini,
ابن عُمَرَ أَنَّهُ أَبْصَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ يَتَطَهَّرُونَ وَالنِّسَاءُ مَعَهُمْ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كُلُّهُمْ يَتَطَهَّرُ مِنْهُ
Maknanya : Ibnu ‘Umar melihat secara langsung Rasulullah Saw dan para sahabatnya berwudhu bersama-sama para wanita dari satu bejana, masing-masing mereka berwudhu dengan satu bejana itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya bab dzikrud dalil No. 121)
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ : كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعاً
Maknanya : “Abdullah bin ‘Umar berkata, para pria dan para wanita berwudhu bersama-sama di masa Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari bab Wudhu’ir rajul ma’a imra’atihi).
Mereka berwudhu secara bersama-sama dalam satu wadah, sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadits,
كُنَّا نَتَوَضَّأُ نَحْنُ وَالنِّسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نُدْلِي فِيهِ أَيْدِيَنَا
Maknanya : “Kami berwudhu bersama-sama para wanita di masa Rasulullah Saw dalam satu bejana yang kami timbakan air di dalamnya.” (HR. Abu Dawud bab Al-Wudhu bifadhli wudhu’il mar’ah No. 73)
=== Selesai ===
Mari kita kupas satu per satu. Hadits,
ابن عُمَرَ أَنَّهُ أَبْصَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ يَتَطَهَّرُونَ وَالنِّسَاءُ مَعَهُمْ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كُلُّهُمْ يَتَطَهَّرُ مِنْهُ
Maknanya : Ibnu ‘Umar melihat secara langsung Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya berwudhu bersama-sama para wanita dari satu bejana, masing-masing mereka berwudhu dengan satu bejana itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya bab dzikrud dalil No. 121)
Saya belum cek, apakah hadits ini shahih atau tidak. Namun terlepas dari itu, let say, hadits ini shahih dari Nabi ﷺ. Lalu apa yang janggal?
Sebetulnya hadits ini sama dengan hadits yang beliau bawakan setelahnya,
كُنَّا نَتَوَضَّأُ نَحْنُ وَالنِّسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نُدْلِي فِيهِ أَيْدِيَنَا
Maknanya : “Kami berwudhu bersama-sama para wanita di masa Rasulullah Saw dalam satu bejana yang kami timbakan air di dalamnya.” (HR. Abu Dawud bab Al-Wudhu bifadhli wudhu’il mar’ah No. 73)
Kedua hadits ini hanya menjelaskan bahwasannya para pria dan wanita di zaman Rasulullah ﷺ itu berwudhu’ dalam satu bejana. Belum tentu berarti mereka berwudhu’ bersama-sama.
Kata ma’a yang ada dalam hadits, belum tentu bersama-sama dalam suatu waktu yang sama. Ini mirip dengan “ma’a” di surat Al Insyirah,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama (setelah) kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy Syarh: 5)
Di dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menyebutkan satu riwayat (dengan sanad dha’if),
لَوْ جَاءَ الْعُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ هَذَا الحجر لَجَاءَ الْيُسْرُ حَتَّى يُخْرِجَهُ
[ابن كثير، تفسير ابن كثير ط العلمية، ٤١٧/٨]
“Andaikata datang sebuah kesulitan hingga ia masuk ke dalam sebuah lubang, maka akan datang pula kemudahan hingga ia (mendorong kesulitan) keluar.” (Tafsir Ibnu Katsir: 8/417)
Sebetulnya aneh, mengapa ma’a yang artinya bersama itu bisa banyak dimaknai dengan “sesudah” di dalam Qur’an terjemahan. Tapi bila ditelusuri, maka maknanya bisa meluas. Contohnya ketika Imam Ibnu Katsir menyebutkan riwayat ini. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan akan datang setelah kesulitan, namun ia yang mengeluarkannya.
Hal ini bila dikaitkan dengan hadits-hadits wudhu antara lelaki dan wanita di atas, bisa dimaknai bahwa para wanita wudhu’-nya adalah setelah para lelaki, tidak serta merta berbarengan waktunya.
Terlebih ketika beliau menukil dari Imam An Nawawi رحمه اللّٰه تعالى,
وَأَمَّا تَطْهِيرُ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فَهُوَ جَائِزٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ لِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي فِي الْبَابِ وأما تطهير المرأة بفضل الرجل فائز بالإجماع أيضا وأما تطهير الرجل بفضلها فهو جائز عندنا
“Adapun berwudhu’nya laki-laki dan perempuan dalam satu bejana, hukumnya boleh menurut Ijma berdasarkan hadits-hadits yang tersendiri dalam babnya. Berwudhu’nya wanita dengan bekas wudhu’ laki-laki maka itu boleh menurut ijma’, demikian pula berwudhu’nya pria dengan bekas air wudhu’ny perempuan juga boleh menurut kami dalam mazhab Syafi’i.” (Syarh Shahih Muslim: jilid 4, hal 2)
Maka, Imam An Nawawi hanya menjelaskan tentang ijma’ akan bolehnya bekas wudhu’ pria dipakai kembali oleh wanita. Bukan karena mereka berwudhu’ bersamaan. Justru karena pria memakai air di bejana terlebih dahulu, maka sisanya digunakan oleh para wanita sehingga disebutkan redaksinya sebagai bekas wudhu’ laki-laki.
Wanita berwudhu’ itu tak lama setelah selesainya para pria berwudhu’.
Untuk hadits riwayat Bukhari,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا
“Pada masa Rasulullah ﷺ, laki-laki dan perempuan semuanya minta diajari berwudhu.” (HR. Bukhari no. 186 dan di Fathul Bari no. 193)
Jika ia menerjemahkannya dengan berwudhu’ bersama-sama, maka di banyak artikel lain dan juga di aplikasi-aplikasi terjemahan hadits, maksud dari yatawadhdha’un di sini adalah minta diajari wudhu’ SEMUANYA. Jadi makna jamiy’an di sini bukan berkumpul bersama, tapi makna keseluruhan.
Baik, katakan lah aplikasi dan situs-situs artikel Islam banyak yang salah mengartikan, tapi kita bisa melihat juga ke judul Bab yang dibawakan oleh Imam Al Bukhari di sini. Judul beliau adalah, وضوء الرجال مع إمراته و فضل وضوء المرأة (wudhu’-nya para suami dengan istri-istri mereka dan bekas air wudhu’ wanita).
Al Mar’ah di sini bisa diterjemahkan sebagai istri. Ini sebagaimana bisa kita lihat pada ayat Qur’an,
وَقَالَ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْ مِصْرَ لِامْرَأَتِهِ
“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya..” (QS. Yusuf: 21)
Dan di ayat ke 30,
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ
“Dan berkata para wanita di kota: Istri Al ‘Aziz menggoda pembantu mudanya untuk menundukkan dirinya padanya.” (QS. Yusuf: 30)
Jadi makna mar’ah atau imra’ah di sini adalah istri menurut Qur’an. Meski secara umum, mar’ah adalah mufrad (bentuk tunggal/singular) dari wanita, di mana Nisa’ adalah bentuk jama’nya.
Maka seluruh dalil yang beliau kemukakan itu sebenarnya – maaf – kurang nyambung.
Sudah Tetap Ijma Akan Kewajiban Wanita Muslimah Menutup Aurat Dengan Berjilbab
Kemarin saya sempat meminta bantuan pada para asaatidzah untuk mengumpulkan sebagian kecil pernyataan ijma’ akan hal ini. Dan الحمد لله saya mendapatkan beberapa keterangan yang cukup sharih (jelas) akan adanya ijma’ tersebut.
Di dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
إتفق الفقهاء على عدم جواز النظر إلى شعر المرأة الأجنبية، كما لايجوز لها إبداؤه للأجانب عنها
“Bersepakat para ahli fiqh atas tidak bolehnya melihat rambut wanita asing (bukan mahram -penj), sebagaimana tidak dibolehkan bagi para wanita melihat bagian tubuh/aurat lelaki asing (bukan Mahram-nya).”
Hal ini dikutip dari Hasyiyah Ibnu Abidin: 5/238, Fathul Qadir: 1/182, Ar Raudhah: 7/26, Hasyiyah Ad Dusuq: 1/214, dan lain-lain.
Masih dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
اتفق الفقهاء على وجوب حجب عورة المرأة والرجل البالغين بسترها عن نظر الغير الذي لا يحل له النظر إليها. وعورة المرأة التي يجب عليها حجبها عن الأجنبي هي في الجملة جميع جسدها عدا الوجه والكفين.
“Sepakat para fuqaha atas wajibnya menutup aurat bagi perempuan dan laki-laki yang sudah baligh dengan menutupnya dari pandangan orang lain yang mana tak dihalalkan baginya. Dan aurat wanita yang harus ditutupi dengan hijab dari (pandangan) orang asing adalah keseluruhan dari tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.”
Disebutkan juga dalam kitab yang sama,
اتفق الفقهاء على أن الأذن في المرأة من العورة ، ولا يجوز إظهارها للأجنبي.
“Bersepakat para fuqaha’ akan kewajiban menutup aurat wanita dan tak boleh memperlihatkannya pada lelaki asing (non-mahram – penj).”
Imam An Nawawi رحمه اللّٰه تعالى mengatakan,
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَسَتْرُ الْعَوْرَةِ عَنْ الْعُيُونِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
[النووي، المجموع شرح المهذب، ١٦٦/٣]
“Hukum dalam masalah menutup aurat dari pandangan mata manusia adalah wajib berdasarkan ijma’ (kesepakatan).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab: 3/166)
Maka jelas menutup aurat sebagaimana telah berlalu penjelasannya, adalah wajib menurut ijma’ ulama ahlussunnah. Tak ada perselisihan di antara mereka seperti yang coba disamarkan oleh orang-orang liberal belakangan ini.
Dan konsekuensi menilai ijma’ yang sudah jelas, bisa menyebabkan seseorang jatuh pada kekafiran. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه اللّٰه تعالى mengatakan, “Ijma’ yang sudah maklum diketahui, maka orang yang menyelisihinya dikafirkan. Sebagaimana dikafirkan orang yang menyelisihi nash yang ditinggalkan.” (dikutip dari Ensiklopedia Ijma’ karya Muhammad Al Fatih Ahmad Khairuddin, hal: 46)
Semoga kita bisa menjalankan perintah Allah ﷻ semaksima yang kita mampu, serta kita dijaga melalui hidayah dan inayah-nya dari kesesatan.
و الله أعلم
بارك اللّٰه فيكم جميعًا