Oleh: Idrus Abidin.
Argumentasi Rasional Ahlu Sunnah Atsariyah Seputar Rasio Sebagai Dasar Intelektual Kedua Setelah Fitrah Dalam Studi Akidah/Teologi (Mengenal Allah) – Bagian Kedua
Mengetahui masalah akidah secara detail tentu bukanlah wilayah jelajah akal. Tetapi dengan bantuan wahyu, hal tersebut bisa dipahami oleh rasio. Sekali pun secara umum, fungsinya sekedar menjelaskan kemungkinan dan keberadaannya. Adapun menyangkut masalah keberadaan dan bagaimana hakikat sebenarnya, tentu sama sekali tidak bisa dipertanyakan oleh akal. Karena ukuran-ukurannya tidak lagi menggunakan standar rasio manusia. Misalnya saja masalah asma wa shifaat, tentu tidak bisa kita mempertanyakan hakikat maknanya. Juga seperti masalah hakikat hari kiamat dan bentuk-bentuk kejadiannya.
Dalam rangka mengarahkan rasio, al-Qur’an mengawal langkah dan prosedurnya agar tidak menyimpang dan tidak melampaui wewenangnya dengan cara seperti berikut :
- Mengarahkan argumentasi dan pengarahannya kepada manusia yang berfungsi akalnya dengan baik (sadar dan rasional). Sebagaimana ditemukan dalam sunnah Rasulullah Saw., “Pencatatan amal tidak diberlakukan kepada tiga pihak : Orang yang tertidur hingga terbangun, orang yang sedang dalam pase anak-anak hingga mereka akil balig dan orang yang sedang mengidap penyakit gila hingga ia tersadar (sembuh) dari kegilaannya.”.[7]
- Memancing akal untuk memahami dan mengikuti serta mempelajari sesuatu dengan baik (al-Baqarah : 73 dan al-Hadid : 17)
- Menyebutkan beberapa fungsi rasio seperti, tadabbur, tazakkur, tafakkaur, taaqqul, seperti an-Nisa : 82, Ibrahim : 25,
- Perintah al-Qur’an untuk senantiasa memandang dan memikirkan sesuatu secara mendalam. Fungsi inilah yang merupakan tugas rasio dan signifikansinya yang begitu nyata, Yunus : 101, al-Ghasiyah : 17-20,
- Celaan terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya pada hal-hal yang dapat memberikan nilai lebih padanya, al-A’raf : 179.
- Mencela sikap taqlid karena mengandung pengekangan terhadap fungsi rasio dan peranannya dalam menjaring ilmu pengetahun, al-Baqarah : 170.
- Memperluas area berpikir yang tidak hanya mencakup alam semesta semata (afaq), tetapi juga meliputi tanda-tanda Allah yang tertulis (al-Qur’an), an-nisa : 82.
- Menuntut kaum muslimin agar mengenal sesuatu berdasarkan pada bukti-bukti rasional dan argumen yang benar dan tepat, yusuf : 108 dan an-Naml : 64.
- Penggunaan al-Qur’an terhadap beberapa argumen demonstratif yang sesuai dengan logika rasional sebagaimana firman Allah Swt, al-Anbiya : 22,
- Mencela orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, karena itu merupakan bentuk eliminasi rasio dari fungsi utamanya, al-Ruum : 29 dan al-An’am : 119.
- Indikasi tentang keterbatasan akal dan bahwa ia tidak bisa independen dalam memverifikasi kebenaran, al-Isra : 85, al-Kahfi : 109.
- Penjelasan tentang area yang tidak bisa dimasuki oleh rasio dan tidak boleh diakses secara mendiri dengan berlepas dari pengarahan wahyu.
Karena akal jika berani mengaksesnya, maka dipastikan ia tidak bisa menghasilkan standar yang dapat dijadikan ukuran dalam menetapakan putusan-putusannya. Karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang tidak tunduk kepada asumsi rasional yang biasanya mereka kenal dalam dunia nyata. Wilayah tersebut seperti :
- Wujud Tuhan (dzat ilahi), Thoha : 110.
- Hakikat asma dan Sifat Allah Swt, karena merupakan kelanjutan pengetahuan tentang wujud Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak bisa diketahui maka mengetahui hakikat nama dan sifatNya juga berada pada level dan frekwensi yang sama.
- Wilayah takdir. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam hanya mengarahkan masyarakat agar senantiasa menyikapinya dengan amal yang merupakan tugas wajib mereka dalam kehidupan ini. Beliau menegaskan, “Bekerjalah dan beramallah kalian. Semuanya akan dimudahkan sesui dengan tujuan penciptaanya”.[8]
- Wilayah ghaib secara mutlak. Yaitu wilayah yang steril dari kemampuan indera untuk menyoroti dan menyelidikinya. Sementara putusan rasio dalam hal ini biasanya berdasarkan pada infut indera yang dibantu dengan alat bantu lainnya.
- Kunci-kunci kegaiban yang tidak mungkin ada yang bisa mengenalnya kecuali Allah Ta’ala semata, luqman : 34.[9]
- Ayat-ayat yang berkategori mutasyabihat sebagaimana pada surat Ali Imran ayat 7.
Dengan fakta dan data seperti inilah saya yang fakir ilmu dan minim piknik kitab-kitab ini merasa bahwa persfektif Ahlu Sunnah Atsariyah sudah tepat. Sederhana, praktis dan menggunakan lafaz-lafazh syar’iyyah yang tidak global sehingga butuh tafsil karena mengandung makna ganda (baik dan buruk sekaligus); sebagai mana yang banyak kita lihat dalam kitab dan madrasah teologis lainnya; termasuk di internal Ahlu Sunnah sendiri. Semoga Allah memaafkan kita semua dan mereka. Mencerdaskan kita agar bisa mengambil faedah dari warisan keilmuan mereka (Turats) dengan bijak. Wallahu Yatawallas Shalihin.
Depok, 16 Oktober 2019.
Sumber:
[7] HR Abu aud dalam kitab sunan-nya, vol.2, hal. 227-228, Ibnu Majah dalam Sunan-nya vol.1, hal.658, no.hadits.2041, dan Ahamd dalam Musnadnya, vol.1, hal.140, 155, dll.
[8] HR Bukhari dan Muslim. Lihat Fath al-Bari, vol.13, hal.521 dengan no hadits 7552.
[9] Al-Buraikan, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah, Manhaj Ibn Taimiyah Fii Taqrir Aqidah al-Tauhid, (Riyadh (KSA) : Dar Ibnu Affan dan Dar Ibn al-Qayyim), cet.1, th.2004 M – 1425 H. vol.1. hal.324-327.