Jangan Terpesona dengan Istidraj

Jangan Terpesona dengan Istidraj

Dari Uqbah bin ‘Amir RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ” ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

“Jika kau lihat seorang hamba yang suka bermaksiat tapi malah Allah berikan kepadanya kesenangan dunia yang dia inginkan maka itu hanyalah istidraj.”

Kemudian beliau membaca firman Allah:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

“Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” — QS. Al-An’am:44

(HR. Ahmad dalam musnadnya nomor 17311).

Takhrij Hadits.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dengan sanad:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا رِشْدِينُ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ أَبُو الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ، عَنْ حَرْمَلَةَ بْنِ عِمْرَانَ التُّجِيبِيِّ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ

“Yahya bin Ghailan menceritakan kepada kami, dia berkata, Risydin bin Sa’d Abu Hajjaj Al-Mahri menceritakan kepada kami, dari Harmalah bin Imran At-Tujaibi, dari Ubah bin Muslim, dari Uqbah bin ‘Amir.

Risydin bin Sa’d perawi yang dha’if, sementara Imam Ahmad menilainya boleh dipakai untuk meriwayatkan hadits tentang adab dan fadhilah amal. Semua sepakat akan kelemahannya, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan tak boleh ditulis haditsnya. Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif mengatakan, “dia orang shalih, muhaddits tapi hafalannya buruk.”1

Risydin dikuatkan oleh Abdullah bin Shalih Abu Shalih sekretarisnya (katib) Laits bin Sa’d sebagaimana dalam riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 913), Mutthalib bin Syu’aib Al-Azdi menceritakan kepada kami, Abdullah bin Shalih menceritakan kepada kami, Harmalah bin Imran menceritakan kepadaku, dari Uqbah bin Muslim….

Setelah itu Ath-Thabarani mengeluarkan juga penguat bagi Harmalah yaitu dari Abdullah bin Lahi’ah dengan sanad masih dari Muththalib, dari Abdullah bin Shalih. Muththalib guru Ath-Thabarani sendiri adalah Muththalib bin Syu’aib bin Hayyan, dinilai tsiqah oleh para ulama dan hanya pernah dianggap keliru dalam satu haditsnya dari Abdullah bin Shalih. Maka Syekh Nayif Al-Manshuri dalam Irsyad Al-Qadhi menyimpulkannya tsiqah dan kemungkinan pernah salah.2

Muththalib dikuatkan oleh Walid bin Abbas Al-Addas sebagaimana dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, no. 9272. Walid ini dianggap dhaif oleh Ad-Daraquthni dan Al-Haitsami. Tapi sebagai penguat dia bisa dipakai karena tidak tertuduh berdusta atau mencuri hadits.

Abdullah bin Shalih katib Laits ini memang diperbincangkan, ada yang melemahkan ada yang menguatkan, sehingga Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan, (صَدُوقٌ كَثِيْرُ الْغَلَطِ) jujur tapi sering salah. Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif mengatakannya, shahib hadits (haditsnya banyak) padanya ada sedikit kelemahan.3

Sementara Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil menukil pernyataan dari ayahnya bahwa Abu Shalih ini tsiqah dan Amanah (makmun), sementara Abu Zur’ah menilainya hasanul hadits. Meski ada yang menuduhnya berdusta, gara-gara kesalahannya antara lain meriwayatkan dari Laits dari Ibnu Abi Dzi`b berupa kitab yang mungkin dia telah lupa sehingga terjadi kekeliruan.4

Intinya rawi seperti ini haditsnya masih terbilang hasan asalkan tidak bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Wallahu a’lam.

Penguat lain adalah riwayat Ath-Thabari dalam tafsirnya dengan sanadnya:

حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو السَّكُونِيُّ، قَالَ: ثنا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ ضُبَارَةَ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الصَّلْتِ، عَنْ حَرْمَلَةَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ

“Sa’id bin Amr As-Sukuni menceritakan kepadaku, dia berkata, Baqiyyah bin Walid menceritakan kepada kami, dari Abu Syuraih Dhubarah bin Malik, dari Abu Shalt, dari Harmalah bin Abdurrahman, dari Uqbah bin Muslim….”

Sanad ini dhaif karena Dhubarah di sini boleh dibilang majhul, bahkan Ibnu Adi mencatat ada tujuh hadits munkar darinya. Sementara Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, lalu Baqiyyah bin Walid adalah mudallis di sini dia menggunakan shighat ‘an’anah. Tapi untuk jadi penguat riwayat lain masih boleh dijadikan I’tibar. Wallahu a’lam.

Lalu Ath-Thabari menyebutkan penguatnya dengan mengatakan,

وَحُدِّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ، عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ

“Aku diceritakan hadits ini dari Muhammad bin Harb, dari Ibnu Lahi’ah, dari Uqbah bin Muslim, dari Uqbah bin ‘Amir…..”

Sanad ini jelas lemah karena Ath-Thabari terputus dengan Muhammad bin Harb (kemungkinan besar adalah Muhammad bin Harb bin Hirban An-Nasysya`iy guru Bukhari dan Muslim, tapi ini masih bisa dijadikan penguat sampai kepada Ibnu Lahi’ah.

Lalu ada lagi sanad penguat dari Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dan Ar-Ruyani dalam musnadnya nomor hadits 261,

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ، ثنا عَمِّي، ثنا حَرْمَلَةُ، وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ التُّجِيبِيِّ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ

“Ahmad bin Abdurrahman Abu Ubaidullah putra saudara Ibnu Wahb menceritakan kepada kami, Pamanku menceritakan kepada kami, Harmalah dan Ibnu Lahi’ah menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Muslim At-Tujibi…..”5

Lalu di tafsrinya pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanad yang sama tapi kali ini di tafsir surah Az-Zukhruf ayat 55. Ini juga dikeluarkan oleh Ar-Ruyani dalam musnadnya (no. 260) dengan sanad yang sama persis:

Baca Juga:  Rejeki Melimpah Karena Biaya Sekolah

نا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، نا عَمِّي ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ التُّجِيبِيِّ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ بِالْمُنَى وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ، فَإِنَّمَا ذَلِكَ اسْتِدْرَاجٌ مِنْهُ لَهُ» ثُمَّ تَلَى {فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ} [الزخرف: 55] إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

Kali ini Abdullah bin Wahb hanya meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah tanpa mengiringinya dengan Harmalah. Entahlah apakah ini tsabit atau ada kekeliruan mengenai ayat yang dibaca, karena kebanyakan riwayat menyebutkan ayat yang dibaca adalah surah Al-An’am ayat 44, bukan Az-Zukhruf seperti di riwayat ini. Kemungkinan yang keliru adalah Ibnu Lahi’ah mengingat hafalannya memang buruk. Wallahu a’lam.

Ahmad bin Abdurrahman keponakan Ibnu Wahb ini adalah guru Ibnu Abi Hatim dan Ar-Ruyani di sini disebut dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil penilaian Abu Hatim dan Abu Zur’ah yang menganggapnya tsiqah. Boleh dibilang sanad ini yang paling shahih karena semua perawinya terpercaya kecuali Ibnu Lahi’ah. Tapi dia dikuatkan oleh Harmalah, belum lagi kalau Abdullah bin Wahb yang meriwayatkan darinya maka haditsnya diterima.

Ada penguat lagi yang juga meriwayatkan dari Harmalah yaitu Syihab bin Khirasy sebagaiman dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Al-Qadha` wa al-Qadr, no. 322:

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ , وَأَبُو بَكْرٍ الْقَاضِي قَالَا: أنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ , أنا أَبُو عُتْبَةَ , أنا مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ , أنا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ , عَنْ حَرْمَلَةَ , عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ

“Abu Abdullah Al-Hafizh dan Abu Bakar Al-Qadhi mengabarkan kepada kami, mereka berkata, Abu Abbas Muhammad bin Ya’qub mengabarkan kepada kami, Abu Utbah mengabrkan kepada kami, Muhammad bin Jarir mengabarkan kepada kami, Syihab bin Khirasy mengabarkan kepada kami, dari Harmalah, dari Uqbah bin Muslim…….”

Sedangkan dalam Syu’ab Al-Iman Al-Baihaqi mengeluarkan hadits ini dari jalur Hasan bin Syamadzad Al-‘Adl, Abu Ismail Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami, dari Abu Shalih, dari Harmalah….

Di sanad ini disebut dari Muhammad bin Jarir, lalu sebagian muhaqqiq kitab memastikan itu adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari sang mufassir. Ini adalah mustahil, karena Abu Utbah yaitu Ahmad bin Faraj Al-Himshi bukan murid Ath-Thabari bahkan lebih tua darinya. Ada kemungkinan terjadi tash-hif dalam kitab Al Qadha` wa Al Qadr. Abu Utbah biasanya meriwayatkan dari Muhammad bin Himyar atau Muhammad bin Harb. Dugaan saya yang benar adalah Muhammad bin Himyar, wallahu a’lam.

Syihab bin Khirasy adalah Abu Shalt Al-Hausyabi yang disebut biografinya dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil Ibnu Abi Hatim dan dapat penilaian shaduq dari Abu Hatim dan “la aba`sa bih” dari Abu Zar’ah. Sementara Abdullah bin Mubarak menganggapnya tsiqah. Bisa jadi dia pula Abu Shalt yang ada dalam sanad Ath-Thabari di atas. Wallahu a’lam.

Jalur ke Ibnu Lahi’ah juga ada penguatnya lagi yaitu dari Marwan bin Muhammad Ad-Dimasyqi, dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq jilid 77 hal. 22:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْفَضْلِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْفُضَيْلِيُّ ، وَأَبُو الْفَتْحِ عَبْدُ الرَّشِيدِ بْنُ أَبِي يَعْلَى بْنِ أَبِي عُمَرَ الْمَلِيحِيُّ ، قَالا : أنا أَبُو عُمَرَ عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي الْقَاسِمِ الْمَلِيحِيُّ الْفَقِيهُ الْوَرَّاقُ ، أنا أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ حَفْصَوَيْهِ السَّرَخْسِيُّ التَّاجِرُ ، أنا أَبُو يَزِيدَ حَاتِمُ بْنُ مَحْبُوبٍ الشَّامِيُّ ، نا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ النَّيْسَابُورِيُّ , نا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدِّمَشْقِيُّ ، نا ابْنُ لَهِيعَةَ ، حَدَّثَنِي عُقْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعِبَادَ مَا يَشَاءُونَ عَلَى مَعْصِيَتِهِمْ إِيَّاهُ فَإِنَّمَا ذَلِكَ اسْتِدْرَاجٌ مِنْهُ لَهُمْ ، ثُمَّ قَرَأَ : فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ إِلَى قَوْلِهِ : أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ سورة الأنعام آية 44 .

Marwan bin Muhammad di sini adalah Ath-Thathari yang memang biasa meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah. Dia tsiqah sebagaimana penilaian Abu Hatim dan Ibnu Hibban juga dipuji oleh Imam Ahmad Dia juga perawi dalam shahih Muslim.6

Salamah bin Syabib An-Naisaburi dianggap stiqah oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/255, no. 2747).

Hatim bin Mahbub Asy-Syami Al-Harawi biografinya ditemukan di Tarikh Islam Adz-Dzahabi dan dia mengatakannya tsiqah dan orang shaleh.7

Terakhir penguat yang layak diperhitungkan adalah riwayat Ad-Duulabi dalam kitabnya Al-Kuna wa Al-Asmaa` di mana Ad-Duulabi kebetulan mengeluarkan hadits ini dengan sanad:

أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبٍ قَالَ: أَنْبَأَ أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الْوَزِيرِ قَالَ:، ثَنَا حَجَّاجُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرُّعَيْنِيُّ قَالَ:، ثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ عِمْرَانَ قَالَ: حَدَّثَنِي عُقْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ

“Ahmad bin Syu’aib mengabarkan kepadaku, Ahmad bin Yahya bin Wazir memberitakan kepada kami, dia berkata, Hajjaj bin Sulaiman Ar-Ru’aini menceritakan kepada kami, dia berkata, Harmalah bin Imran menceritakan kepada kami, dia berkata, Uqbah bin Muslim menceritakan kepadaku…”

Para perawinya tsiqah kecuali Hajjaj bin Sulaiman Ar-Ru’aini di mana Abu Zur’ah mengatakannya munkarul hadits, diiyakan oleh Ibnu ‘Adi dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al Mizan. Perawi yang munkarul hadits bila kebetulan ada orang tsiqah atau banyak orang menguatkannya maka dia bisa terangkat. Karena dalam hal ini riwayatnya tidak berada dalam kemunkaran.

Baca Juga:  Bolehkah Paket Sembako Dari Uang Zakat?

Riwayat Abdullah bin Mubarak dalam kitab Az-Zuhd

Ada satu riwayat yang bisa dianggap mencacat riwayat dari Harmalah secara marfu’, yaitu riwayat Abdullah bin Mubarak dalam kitab Az-Zuhd dari Harmalah, dari Uqbah bin Muslim berupa perkataan Uqbah bin Muslim dan tidak disebutkan dari Uqbah bin ‘Amir tidak pula dari Rasulullah. Apakah riwayat ini mencacat riwayat sebelumnya berdasarkan kaidah ilmu ilal? Entahlah, tapi dalam riwayat Abdullah bin Mubarak tidak disebutkan ayat yang dijadikan hujjah. Mari kita lihat riwayatnya

321 – أَخْبَرَكُمْ أَبُو عُمَرَ بْنُ حَيَوَيْهِ، وَأَبُو بَكْرٍ الْوَرَّاقُ قَالَا: أَخْبَرَنَا يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ: أَخْبَرَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ عِمْرَانَ قَالَ: سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ يَقُولُ: ” إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ – أَوْ قَالَ: عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ – فَأَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يُحِبُّ عَلَى ذَلِكَ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ فِي اسْتِدْرَاجٍ مِنْهُ”

“Uqbah bin Muslim berkata, “Jika seseorang berada dalam kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla, lalu Allah tetap memberikannya apa yang dia inginkan dalam kemaksiatan itu, maka ketahuilahbahwa itu adalah istidraj dari Allah.”

Hanya sampai di sini tapi menyebutkan ayat Al-Qur`an. Ada kemungkinan Harmalah sesekali menyampaikan kepada muridnya perkataan Uqbah bin Muslim, tapi di lain waktu membacakan riwayat bahwa ini marfu’ sampai kepada Rasulullah. Hanya saja jauh kemungkinan bila Abdullah bin Mubarak tidak meriwayatkan yang marfu’ itu. Maka ini masih menjadi tanda tanya besar untuk riwayat ini.

Kandungan Hadits

Isi hadits jelas sekali menjadi peringatan kepada banyak orang yang mudah terpana dan terpesona dengan keberhasilan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah. Betapa banyak pelaku maksiat, orang zalim, bahkan orang kafir yang hidupnya malah sukses, kaya raya, sehat sentosa, keluarga Bahagia sampai sebagian orang mengira mereka juga akan masuk surga. Itu semua hanyalah istidraj.

Istidraj secara bahasa artinya melepaskan sedikit demi sedikit, memberikan satu derajat ke derajat berikutnya sampai tercapai apa yang diinginkan . Secara istilah terminology agama artinya pemberian dari Allah bukan karena ridha tapi justru sebagai hukuman di dunia bagi perlakuan yang bertentangan dengan hukum agama. Ath-Thabari mengatakan “Asal dari istidraj itu adalah orang yang menerima pemberian ini akan merasa bangga sehingga dia merasa bahwa yang memberikannya karunia ini senang kepadanya sampai itulah yang membuatnya terlena dan mengalami hal yang tak dia sukai di akhirnya.”9

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” — QS. Al-A’raf:182

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, “Artinya dibukakan pintu-pintu rejeki kepada mereka dan berbagai kemudahan hidup di dunia dan merekapun berkeyakinan bahwa mereka telah mencapai sesuatu (berada di atas kebaikan).”10

Akibat istidraj ini para pelaku dosa akan makin tenggelam dalam dosanya karena merasa tidak dihukum, padahal itulah hukuman terberat yang ditimpakan Allah karena dosanya, yaitu ketika dia dibebaskan dari hukuman dunia dan hanya akan dibalas di akhirat kelak, atau menjelang akhir hidupnya. Lihatlah bagaimana para pemimpin dan penguasa zalim yang kejam terhadap rakyat. Mengambil apa yang bukan haknya, melakukan pelanggaran terhadap hukum Allah bahkan bangga dengan kekafiran. Banyak dari mereka seakan aman-aman saja hidup dan kekuasaannya, bahkan tak jarang mereka malah dianggap pahlawan atau teladan dalam kehidupan banyak orang.

Istidraj inilah yang menyebabkan Qarun dan Fir’aun tertipu, sehingga mereka melampaui batas fitrah keimanan dan nalar kemanusiaan. Bagaimana tidak, Fir’aun sampai merasa dirinyalah tuhan karena tak pernah gagal dalam pencapaian. Sementara Qarun merasa apa yang dia dapatkan hanyalah karena kepintarannya semata, tak ada campur tangan Allah pada dirinya. Celakanya, sebagian orang yang orientasi hidupnya memang dunia merasa kagum bahkan berharap seperti Qarun. Sedangkan orang-orang yang beriman dan bertakwa karena ilmu mereka menjaga iman mereka yakin betul bahwa pahala dari Allah ketika kita patuh pada syariat-Nya jauh lebih baik daripada apa yang didapatkan Qarun tersebut.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
7 Januari 2023


  1. Lihat Tahdzib Al-Kamal 9/193, Al-Kasyif 1/397, no. 1575, Al-Jarh wa At-Ta’dil 3/513.
  2. Lihat Irsyad Al-Qadhi wa Ad-Dani fii Tarajum Syuyuukh Ath-Thabarani, Nayif Al-Manshuri, hal. 648, no. 1066.
  3. Taqrib At-Tahdzib 1/336, no. 3752, Al-Kasyif 1/562, no. 2780.
  4. Al-Jarh Wa At-Ta’dil 5/86-87.
  5. Tafsir Ibnu Abi Hatim 5/231.
  6. Tahdzib Al-Kamal 27/401.
  7. Tarikh Islam karya Adz-Dzahabi tahiq At-Tadmuri 24/82-83.
  8. Al-Qurthubi dalam tafsirnya 4/283 (terbitan Dar Al-Hadits) ketika menafsirkan surah Al-A’raf ayat 182.
  9. Tafsir Ath-Thabari 10/600 ketika menafsirkan surah Al-A’raf ayat 182:
    وَأَصْلُ الِاسْتِدْرَاجِ اغْتِرَارُ الْمُسْتَدْرَجِ بِلُطْفٍ مِنْ حَيْثُ يَرَى الْمُسْتَدْرَجُ أَنَّ الْمُسْتَدْرِجَ إِلَيْهِ مُحْسِنٌ حَتَّى يُوَرِّطَهُ مَكْرُوهًا.
  10. Tafsir Ibnu Katsir (terbitan Dar Thiibah) 3/516.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.