Jum’at siang tiga puluh menit menjelang waktu zuhur di sebuah masjid raya di kawasan timur Jakarta. Jamaah datang bergelombang untuk menunaikan sholat Jumaat. Ada yang berjalan kaki, umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar masjid. Tapi banyak pula yang naik sepeda motor dan mobil, umumnya para pekerja kantor di kawasan itu atau pengendara yang lewat. Maklum masjid itu memang berada di pinggir jalan raya yang ramai dan lebar.
Di dalam masjid jamaah sudah lumayan banyak. Tapi sayang komposisi duduknya tak seperti yang disunnahkan Nabi SAW ihwal keutamaan mengisi shaf terdepan. Tiga shaf terdepan masih terlihat lengang. Dalam satu shaf yang bisa menampung sampai tiga puluh lima orang lebih, hanya terisi belasan jamaah. Jamaah terkonsentrasi di shaf tengah dan belakang. Makin ke belakang makin padat. Bahkan tak sedikit yang memadati ruang sayap kanan dan kiri atau balkon atas, meski di ruang utama masjid masih tersedia banyak tempat. Yang sudah pasti terisi adalah ujung shaf yang berbatasan dengan dinding dan diantara tiang-tiang masjid. Akibatnya, jamaah yang datang belakangan, terpaksa harus melewati bahu demi bahu untuk bisa mendapatkan tempat.
Pemandangan di atas agaknya bukan khas terjadi di masjid itu saja, tapi bisa kita saksikan dimana-mana. Di masjid- masjid dan gedung-gedung yang diselenggarakan sholat Jum’at. Padahal setiap Jum’at sebelum khatib naik mimbar, pengurus selalu mengingatkan agar jamaah mengisi shaf yang di depan terlebih dahulu. Namun bak kata pepatah “Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, seruan itu tak banyak berarti. Entah karena suara si pengurus kurang keras hingga tak terdengar atau sebagian besar jamaah terkena sakit pekak. Wallahu a’lam.
Femonena serupa sesungguhnya juga kerap kita saksikan pada banyak momentum. Coba tengok acara seminar,diskusi,kajian,pengajian atau kegiatan lain sejenisnya. Dapat dipastikan yang lebih dulu terisi bagian belakang dan tengah, sementara barisan depan dibiarkan kosong. Hal sebaliknya terjadi jika ada pembagian sembako, zakat, daging qurban atau apa saja yang serupa itu. Orang berebutan ingin yang paling depan. Tak peduli saling dorong atau saling sikut. Bahkan tak mau tahu ada nenek-nenek yang tergencet atau anak-anak yang menangis ketakutan. Yang penting dapat jatah.
Perilaku ini sungguh jauh dari doa yang kerap kita lantunkan “Ya Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan (suami/istri) dan anak keturunan yang menjadi cahaya mata(hati)kami. Jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang bertaqwa”(QS Al Furqan/25:74). Sungguh doa yang luar biasa. Menjadi orang bertaqwa (muttaqin) saja susah seperti menempuh jalan yang terjal dan mendaki. Apatah lagi menjadi imam (pemimpin)nya. Tentu lebih sulit lagi. Namun, faktanya kita tak pernah putus membaca doa itu. Bagi seorang muslim doa adalah harapan dan sesuatu yang amat didambakan.
Maka, seharusnya sikap dan perilaku kita mencerminkan isi doa kita. Imam itu berada di depan, yang di belakang disebut makmum. Lucunya, kita selalu berdoa ingin jadi imam tapi yang kita lakukan adalah ciri-ciri dan karakter makmum. Imam berarti memimpin, mewarnai, membentuk, mempengaruhi dan seterusnya yang senada dengan itu. Di dalamnya tersirat jiwa pelopor, pionir, pemimpin, teladan dan aneka watak positif lainnya. Pendeknya dia menjadi subyek kebaikan dan kemuliaan. Namun, sikap dan perilaku keseharian kita justru kebalikannya. Jangankan aktif mengajak dan memimpin orang ke jalan kebaikan, bahkan di ajak pun susahnya minta ampun. Fenomena yang digambarkan diawal tulisan ini cukuplah menjadi bukti.
Kita sering berhenti pada verbalisme. Doa tak lagi jadi spirit dan energi yang menggerakkan, tapi sekadar untaian kata di bibir yang tak merasuk ke dalam jiwa. Berdoa begitu banyak dan panjang, tapi tak menyentuh hati sanubari. Padahal doa bagian integral dari iman. Tauhid sebagai dasar keimanan adalah keyakinan yang menggerakkan ( teologi emansipatorik). Ia kokoh dan bersih sekaligus aktif dan dinamis. Doa adalah instrumen yang disiapkan Allah untuk menjaga hal itu.
Boleh jadi nasib kita sebagai bangsa dan umat yang tak kunjung melesat saat ini lantaran doa kita tak lagi bertaut erat dengan spirit tauhid. Tauhid ada di satu kutub, sementara doa ada di kutub lainnya. Doa telah berubah bak mantra dan puisi yang indah dilafazkan, tapi tak membentuk watak, sikap dan perilaku.
Sudah saatnya kita memaknai kembali doa-doa yang diajarkan Allah dan RosulNya dengan penuh penghayatan dan pemaknaan. Jika satu doa saja yang diajarkan Allah diatas kita buktikan dalam sikap dan perilaku, niscaya kita akan menjadi umat yang berwibawa dan disegani. Padahal kita punya banyak stok doa yang hebat dan luar biasa. Jika semua itu kita panjatkan disertai penghayatan dan pemaknaan yang benar, pasti kita akan jadi bangsa/umat yang berjaya. Best of The Best of The Best. Yang Terbaik diantara yang paling baik diantara yang terbaik. Al Qurán menyebutnya, Al Mustofainal Akhyar (orang-orang terpilih diantara orang –orang pilihan).
M. Zainal Muttaqin